Kasus Keduapuluhenam

86 18 2
                                    


 

Langkah kami terhenti di depan sebuah rumah yang cukup luas. Dari luar, sepertinya ini lebih mewah dibanding rumah dari warga yang lain.

“Ayo masuk.” Dia masih menggandengku.

Memang seramah itu orangnya. Usut punya usut, dia adalah anak dari lurah di sana. Beberapa abdi dalemnya menyambut nona muda ini.

Mbok de, ambilin bajuku yang baru kemarin. Yang kepanjangan itu. Biar dipakai sama temenku. Terus, kerudungnya ibu sekalian.”

Aku diam saja, tak banyak bicara. Dia menarikku masuk ke sebuah kamar.

“Tunggu dulu ya, setelah ini kamu bisa mandi terus kita makan bersama.”

Aku mengangguk.

“Kamu… kenapa baik banget?” tanyaku kemudian.

Dia terkikik. Sungguh cantik senyum itu. Dia benar-benar seperti boneka, kulit putihnya dan bibirnya merah natural. Kalau aku laki-laki, aku pasti sudah jatuh hati padanya.

“Kerudungmu bagus, Io.”

Pujian itu seolah mengalihkan pembicaraan

“Ha? Kerudung?”

Gadis itu mengangguk. Dia menatap kagum padaku. Well, setidaknya pandangan matanya terlihat seperti itu.

“Tipe cewek Mas Jay pasti kayak kamu.”

“Ha? Mas Jay? Siapa?”

Phia tersenyum sekilas. “Yang tadi.”

“Dek! Kamu dari mana? Kenapa pergi nggak pamit, ha? Kan Mas udah bilang kalau kamu mau pergi kamu harus sama Mbok Parmi, sama Mas, atau sama Jay.”

Sosok laki-laki lain muncul. Ia berteriak tegas. Dari postur dan gaya rambutnya, jelas terlihat ia kaum hallo deck.

“Sssst! Mas, ada temenku. Nggak usah teriak. Aku tadi sama Io. Sama Mas Jay juga. Kenalin, ini temenku, Io.”

Aku memberi salam ala anak santri yang malu-malu kucing. Ya, entah kenapa aku lebih nyaman seperti itu sekarang. Aku membuang jauh-jauh karakter Cleopatra yang selama ini kumunculkan. Si gadis trengginas itu tak lagi terlihat dari gerak-gerikku.

“Oh. Maaf. Ajak makan kalau gitu.”

“Den, ada Mas Jaya di depan.”

“Jay? Oh, ya Mbok.”

Fix. Benar. Mereka memang bukan orang sembarangan.

“Maaf ya, Io. Tapi kamu nggak usah takut. Itu kakakku, namanya Aban. Muhammad Nurus Sya’ban. Tapi biasa aku panggil Aban. Dia baru selesai pendidikan. Jadi tantara sekarang, sama kayak Mas Jay.”

Aku hanya ber-ooo saja. Tak lama ada seorang wanita datang dan membawakanku seperangkat baju.

Di jaman seperti ini, ternyata sudah ada fasilitas luar biasa yang Phia punya. Kolam dengan air yang mengeluarkan asap. Ya meski sedikit bau belerang tercium.

“Kamu bisa berendam di sana, tapi kalau di situ jangan lama-lama, nanti lemes. Bilasnya di sana. Itu biliknya aman. Cuma aku sama keluarga intiku yang bisa akses.”

“Kamu anak presiden?” celetukku.

Phia terbahak. “Bapakku Cuma lurah. Ini semua, peninggalan buyutku. Beliau orang belanda yang pro pribumi, kemudian menikah dengan nenek buyutku yang masih keturunan keraton.”

Kembali aku hanya mengangguk-angguk. Beruntungnya aku bertemu dengan Phia.

“Mau aku temani?” tawarnya.

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang