Kasus Ketujuh

89 17 1
                                    

Dinginnya air malam itu membawa kesegaran tersendiri. Buma menyudahi sujudnya saat suara batuk Zidan terdengar. Pemuda itu baru saja membelu baju baru di distro terdekat.

"Ada titipan dari Bang Faraz, katanya cuma-cuma. Tapi, besok dia mau nitip anaknya sebentar."

Buma mengangguk. Ada gumam terima kasih terdengar tak jelas. Tangan pria itu terulur. Ia mengambil benda di dalam tas kertas di sana.

Sebuah jaket berwarna navy berada di dalamnya.

Tau aja dia, batin Buma. Tanpa kata, ia mengenakan jaket berhoodie tersebut. Keduanya kini duduk bersandar dinding masjid di area rumah sakit.

"Hati-hati kalau melibatkan perempuan."

Kalimat itu terdengar sembari keduanya membuka kopi kalengan yang tadi dibeli oleh Zidan.

Si junior menatap seniornya dengan tatapan penuh makna. "Maksudnya, Bang?"

Buma menyeruput kopi instannya sebelum menjawab. "Pacarmu."

"Oh. Saya belajar dari Bang Buma." Zidan kemudian menenggak kopinya.

"Masalahnya, gadisku beda dengan gadis lain di luar sana. Dia tidak akan tumbang meski diseruduk baraccuda."

Zidan terkekeh. Ia tak mengira seniornya akan memilih kalimat itu untuk menggambarkan betapa spesialnya Cleo.

"Mbak Cleo itu memang berjiwa baja. Tapi, gadisku yang ini juga sama. Dia bukan spesies wanita biasa."

Buma menaikkan satu alisnya. "Benarkah?"

Zidan mengangguk. "Intinya, saya harus usut tuntas semuanya Bang. Saya yakin ada yang tidak beres dengan ayah tirinya. Soal kepemilikan sajam dan tindakannya tadi yang tak patut dilakukan oleh seorang ayah pada putrinya. Menjijikkan sekali."

Kaleng Zidan kini menumpahkan sedikit isinya karena si empunya meluapkan emosi di sana. Buma tersenyum tipis.

Zidan, kamu benar-benar cinta dengan gadis itu? Ekspresimu tak biasa, batin Buma.

Ya, ia bisa mengenali dengan baik semua orang yang ada di sekelilingnya. Ia paham dengan baik setiap gelagat kolega dan keluarganya. Meski tak pernah ia ungkapkan secara gamblang.

Ponsel milik Buma bergetar. Ada nama Angkasa di sana.

"Assalamualaikum, Brother. Dimana? Mabar kuy?"

"Wa alaikumussalaam. Di masjid."

"Masyaaallah, adikku tersayang, adikku tercinta, tanpamu apa jadinya aku."

"Intinya?" Buma segera memotong nyanyian random sang kakak.

"Makan yuk? Klik lokasimu send ke masmu ini dan aku susul kamu ke sana."

Buma meneguk kopinya. "Di masjid RSI. Jaga orang."

"Masjid RSI? Kok nggak di RS Bhayangkara?"

"Jadi atau enggak? Kalau nggak aku tidur."

"Sepuluh menit. Buruan bilang mau makan apa. Berapa anggotamu di sana?"

"Bento aja lah, deket sini. Mas Asa bisa order terus ngambil, langsung bablas ke sini. Orangku ada 3, 4 sama aku."

"Wait, kamu panggil aku apa?"

"Mas Asa?" Buma membuang mata jengah.

Suara teriakan kegirangan terdengar. "Tunggu ya adek manisku, Bumantara ichikiwir!"

Seheboh itu Angkasa mendengar panggilan sang adik. Ia benar-benar senang, Buma memanggilnya Mas, menganggapnya sebagai kakak.

Pria itu menutup telponnya dan memakai kembali earphone yang sempat ia lepas saat shalat tadi.

"Jadi ibumu nikah lagi?"

"Iya, Mbak. Dan, Bunda nikah lagi. Tapi, belum setahun, Bunda meninggal. Aku nggak punya siapa-siapa lagi."

Ada suara seperti kain-kain bergesekan. Buma memperkirakan jika keduanya tengah berpelukan.

"Kamu tahu, kita sejatinya sendirian itu bukanlah hal yang menyedihkan. Aku belajar dari seseorang, jika yang terlihat utuh tidak selamanya sempurna."

"Maksudnya?"

"Mmm... Ada orang yang aku kenal. Orangtuanya ada, adiknya juga banyak sekali, mereka terlihat seperti keluarga cemara, tapi produk dari keluarga itu nyatanya malah tak nampak seperti orang bahagia. Dia justru seperti robot tanpa hati yang hanya bisa bekerja dan bekerja. Hanya menurut dan menurut saja, tanpa mengenal cinta."

"Memangnya ada orang seperti itu?"

"Ada... Calon suamiku... Dia... Orang yang tadi."

Buma hampir tersenyum, hampir.

"Pasti dia sekarang sedang tersenyum karena mendengar percakapan kita ini."

"Ha? Kita cuma berdua, Mbak di sini."

"Menurutmu? Apa iya? Calon suamiku itu akan membiarkan kekasihnya bermalam di rumah sakit bersama korban tindak kekerasan sendirian? Mereka pssti ada di luar, entah di luar kamar ini atau di tempat yang bisa dengan mudah mengakses kita."

Buma mengembus napas. Nyatanya, Cleo sepintar itu. Dia bukan gadis biasa. Dia tahu jika Buma tetap berada di sekitar rumah sakit, entah dari membaca pola maupun menganalisis hal lain, sehingga ia bisa menyimpulkan hal sedetail itu.

"Kamu tidurlah, aku jaga di sini."

"Mbak juga tidur ya? Pintunya aman, kan?"

"Pintu keluar samping, sebelah selatan nggak bisa dikunci. Deket kamar mandi itu. Mungkin aku tutup pakai kursi saja ya. Biar aman. Setidaknya kita bisa istirahat."

"Kakak mau sharing bed sama aku?"

"No, sofa bed ini lebih nyaman dari pada kasur pesakitanmu."

Buma kini paham, tentang kondisi kamar rawat kekasih Zidan.

Tak lama ponselnya begetar.

[Ndan, ijin bobok cantik ya.
Capek banget.
Si adek cantiknya juga udah istirahat.
Kangmas nggak balik kantor kan?
Kami di A103
Dekat masjid, paling ujung.]

Buma melongokkan kepala. Ia bisa melihat deretan kamar paviliun dari tempat duduknya sekarang.

Boom

[10 menit lagi aku datang.
Paket bento combo 3?]

Nyonya

[Ih, ih, mau bikin aku gendut?
Jahat! Aku jadi batal ngantuk.
🥺🥺🌚🌚]

Boom

[Bilang saja kamu doyan.]

Nyonya

[Nggak boleh nolak rejeki
Makasih ya
Udah perhatian
Sama anak yatim piatu ini?]

Buma hanya memberi tanda jempol saja untuk balasannya.

Kamu benar ,Cle. Yang utuh belum tentu sempurna. Justru darimu aku punya alasan untuk tertawa.

*****************

Assalamualaikum

Hai hai hai...

Insyaaallah akan marathon pada waktunya hehe

✨✨✨✨





Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang