Kasus Kesepuluh

140 18 3
                                    

Dengkuran halus terdengar dari sosok pasien di atas ranjang. Sementara si penunggu tak jadi bisa tidur akibat perutnya keroncongan. Ketukan di jendela terdengar. Cleo segera bangkit dan membuka pintu perlahan.

“Paket.”

Sosok itu terlihat lebih fresh dengan jaket hoodie barunya. Cleo tak langsung menerimanya. Ia malah menatap si kurir dengan tatapan penuh puja.

“Cleopatra,” panggil Buma.

Dalem, Kangmas.”

“Ini, makannya. Buruan dimakan.”

“Bentar, aku baru kena sirep. Duh, pesonamu. Kangmas pakai susuk atau apa sih? Susah banget mau kedip kalau udah natap kamu.”

Buma mengembus napas. Ia ingin menepis rasa malu yang diakibatkan oleh pujian sang kekasih bayaran.

“Buruan. Aku mau makan juga di sa-“

“Sini, duduk. Makan sama aku. Davina udah tidur. Barusan dikasih obat yang katanya emang efeknya bikin tidur, Pereda nyeri juga sih katanya.”

Buma tak menolak. Ia duduk di sofa bed yang tadi sempat menjadi tempat rebahan kekasihnya.

“Davina ini anak tiri dari orang yang kemarin hampir ngelecehin dia. Katanya mamanya meninggal waktu melahirkan. Sebelumnya juga beberapa kali keguguran. Ayah tirinya punya banyak istri siri, salah satunya pembantu Davina yang juga teman SMA Davina dulu. Mereka tinggal di apartemen deket kampusnya Bening.”

Buma mengerutkan kening.

“Aku lihat ada ikatan batik di ikat pinggangnya. Makanya aku tahu kalau orang itu anggota sekte. Tapi, biasanya kalau orang-orang yang kelas atas ini, mereka hanya memanfaatkan untuk kekayaan dan tahta saja sih. Bisa jadi, ibunya ditumbalkan.”

Cleo bisa menerangkan dengan tenang tanpa rasa takut sedikitpun. Bahkan, ia masih bernafsu makan. Padahal, Buma saja yang sudah terbiasa dengan darah dan mayat-mayat, kadang berpikir ulang untuk makan saat membicarakan hal-hal mengerikan seperti itu.

“Buka mulut.”

“Kamu nggak suka  ebi furai?” tanya Buma.

“Suka, tapi aku tahu Mas juga suka. Jadi, mending Mas aja yang makan.”

Buma menggeleng. “Kamu aja yang makan.”

Cleo tersenyum dengan mata menyipit. “Cie, nggak tega ya sama Ayank?”

Mendengarnya, Buma langsung menggigit udang tepung khas jepang itu. Cleo paham cara membuat Buma untuk menurutinya, yaitu dengan memancing ketertarikan Buma pada dirinya. Ia paham, Buma tidak benar-benar menyukainya. Namun, demi membangun chemistry, mereka harus saling belajar untuk membuat semua senatural mungkin.

“Kamu cocok banget pake warna ini. Dari pada hitam. Kalau hitam tuh kayak kaku banget, kalau yang ini lebih casual sih. Aura manusiamu lebih terasa.”

“Kamu juga cocok pakai jilbab. Cantik.”

Cleo tersenyum, Buma menyadari jika dirinya salah ucap. Ya, ia keceplosan.

“Kalau gitu, besok aku lepas deh jilbabnya.”

“Kenapa?” Buma heran.

“Takut. Takut salah niat. Jangan sampai aku niat berjilbab bukan karena ketaatanku pada Allah tetapi karena pujian dari makhluk tampan ini.”

Lagi dan lagi, Buma seperti tengah menyusuri labirin penuh kejutan. Ia tak pernah menemukan orang yang bisa membuat perasaaannya berubah-ubah seperti ini.

“Diam, dan makan.” Buma meminta Cleo menyudahi pembicaraannya.

Cleo menurut. Ia selalu ingin membuat Buma nyaman di sampingnya. Ia tak mau terlalu mendebat jika memang tak perlu.

“Tolong.”

Setelah hampir selesai memakan paket bento itu berdua, Cleo bersuara. Ia yang serba kuat mendadak tak bisa membuka tutup botol sendiri.

“Manja.”

“Akan ada waktunya, Mas kangen sama hal-hal seperti ini. Makan bareng sambil aku suapin, bukain botol minumku, duduk bareng ngobrolin hal random. Aku yakin, nanti kamu bakal kangen masa-masa ini.”

Buam terdiam. ia menyodorkan botol itu pada Cleo. Cleo memintanya tetapi Buma menolak. Ia memberi kode agar Cleo menerima langsung dengan bibirnya, sehingga Cleo tak perlu melepas sumpit di tangan kanannya.

Perlahan Cleo menyecap air mineral dari botol di tangan Buma.

“Dan kalau waktu itu tiba, aku harap Mas nggak nangis ya.”

Buma mengembus napas. “Jangan terlalu banyak halusinasi.”

“Kenapa? Takut.”

“Jalani saja yang ada. Siapa tahu kamu yang akan menangis. Karena aku sudah pergi lebih dulu.”

Cleo tersenyum. “Kalau kamu yang pergi lebih dulu, aku pastikan aku akan tetap menyimpan namamu di sini dan menunggu waktu kekal kita di akhirat nanti.”

Buma tersenyum miring. “Nggak jelas.”

“Loh, gini-gini aku punya cita-cita kalau aku hanya akan menikah dengan satu orang pria dan akan melanggengkannya sampai di surga nanti.”

“Memangnya aku bakal nikahin kamu?”

Cleo meringis. “Pilihannya hanya ada dua, kita menikah lebih dulu atau aku menghilang lebih dulu.”

Buma berdiri setelah menenggak air minumnya. Ia ingin menyudahi obrolan mengerikan itu. Namun, kakinya tersangkut karpet yang digelar oleh Cleo di depan sofa bed. Ia pun kembali terjatuh di saat Cleo juga tengah berusaha berdiri.

Keduanya pun akhirnya jatuh bersamaan dengan posisi saling tindih. Bibir Buma menyentuh yang bukan haknya. Masih ada sisa saus teriyaki di sana.

“Astagfirullah! Bang!”

Zidan ternyata mengintip di balik jendela.

Cleo segera mendorong tubuh Buma untuk menjauh. “Ih! Sana keluar. Jaga di depan pintu situ. Awas kalau masuk lagi1”

Mendadak Cleo menjadi galak karen salah tingkah. Buma menggumam maaf. Pemuda itu merutuki kecerobohannya sendiri.

"Halalin dulu, Bang. Abang sendiri yang bilang eh abang yang melanggar. Saya laporan ke Umi Dianty loh Bang."

Buma memelototkan matanya pada Zidan yang masih melongokkan kepala di jendela yang terbuka.

"Udah sana tugas. Keluar sana. Nih kalau mau selimut. Tidur anteng di situ, okay? Soalnya pintu sebelah situ nggak bisa dikunci."

Cleo mendorong Buma keluar ruangan dan menyerahkan selimut berlogo rumah sakit.

Dua orang itu akhirnya menurut. Duduk di kursi tunggu dekat pintu samping ruangan tanpa suara.

Cleo mematikan lampu utama. Membiarkan lampu redup di tengah menjadi penerang.

Sejak kematian sang kakak, ia tak berani tidur dalam kondisi gelap gulita. Karena seolah jiwanya bisa berpindah alam saat raganya tertidur lelap.

✨✨✨✨✨✨✨✨✨

Selamat pagi.  

Up ketiga yaaa...

Insyaallah 1 lagi... Tapi nggak janji hhe

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang