Kasus Ketigabelas

81 18 1
                                    

“Ummi, aku ke lapangan dulu ya. Kalau sampai nanti di sana susah sinyal, Ummi jangan khawatir. Doain aku ya, Mi. Insyaallah, sepulang dari sana, aku langsung ke rumah Ummi.”

“Le, kamu mau ke mana? Boleh Ummi tahu?”

“Ke salah satu tempat yang tadi aku dapatkan jalannya dari sujud terakhirku. Doanya, ya Mi. Salam untuk Abi.”

“Semoga selalu dimudahkan ya, Le. Ummi hanya bisa mendoakan kamu. Ummi tidak punya hak apapun atasmu, karena kita semua milik Allah. Allah yang berhak menentukan apa-apa yang terbaik untuk kita. Restu dan doa Ummi selalu menyertaimu.”

“Jazakillahu khoir, Ummi. Uhibukki fillah, Ummi.”

Bumantara, tetaplah Bumantara. Ya, meski ia garang di lapangan, jiwanya tetap anak manis jika sedang berbincang dengan sang ibu. Salam menutup perbincangan ibu dan anak itu. Kini, Buma menggeber motor trailnya memasuki wilayah perbukitan di sisi tenggara kota leluhurnya.

Semakin lama, jalanan itu semakin hijau. Aspal yang awalnya membentang perlahan berganti dengan jalan khas pedesaan dengan tanah berbatu.

Deru motor itu membelah lahan perbukitan. Semakin lama, semakin jauh Buma masuk. Beberapa kilo di belakang sana, ia masih menjumpai orang-orang yang tengah menggarap ladang-ladang mereka. Namun, kini hanya suara burung berkeok di langit yang seolah menuntun langkahnya.

Buma melirik ke arah jam tangannya. Sudah waktunya ia menunaikan salat ashar. Perjalanannya ia mulai bakda dzhuhur dan tanpa terasa waktu ashar tiba. Ia menepikan motornya di salah satu surau tua yang meski sepi, tetapi sangat bersih dan terjaga.

 Buma mencari-cari sumber air terdekat. Ia berjalan mengitari surau. Tidak ada kran di sana, ia pun memutuskan untuk mengikuti suara gemericik air yang sayup-sayup terdengar dari arah selatan.

Sebuah air terjun ia dapati, ada jalanan setapak yang sepertinya terbentuk secara alami untuk sampai ke dasar sungai. Di sana kanan kirinya terdapat pohon-pohon bamboo yang cukup lebat tetapi rapi tertata.

Segar angin di sana menyentuh kulit Buma. Ia melepas sepatunya di salah satu batu. Bibirnya tak henti mengucap kalimat-kalimat thoyyibah, memuji akan kebesaran Allah.

“Seindah ini ciptaan-Mu, Ya Allah.”

Ada bias pelangi di tempat jatuhnya air. Ia tidak bisa menggambarkan cuaca di sana. Dibilang panas, tak panas, dibilang mendung, tetapi tak ada awan kelabu. Buma merasa seolah awan berada di atas kepalanya, menanunginya dari terik.

Segera ia berwudhu dan menunaikan salat di surau yang ia temukan tadi. Dari jendela surau, ia bisa melihat ke arah seberang. Orang-orang berjalan membawa bakul-bakul besar di punggung mereka. Apakah mereka pulang dari ladang? Ataukah justru sedang ingin menuju ke suatu tempat di sebalik bukit? Namun, Buma menepis segala tanyanya untuk menjumpai Sang Pencipta.

Khusyuk, ia bersujud. Ia begitu menikmati setiap gerakan dan bacaan serta doa dalam salatnya. Seolah-olah di sini hanya ada dirinya dan Sang Tuhan.

***

Mobil berwarna silver yang mengantar gadis cantik bergamis serba hitam itu berhenti pada ujung jalan.

“Mbak, yakin ke sini? Ini jalan buntu, Mbak.”

“Iya Mas, saya ma uke bumi perkemahan di atas sana.”

Sopir taksi online itu mengegrutu. “Mbak, jangan gila. Itu bumi perkemahannya sudah tutup lama. Mbak mau ngapain di sana? Pengelolanya saja sudah meninggalkan tempat itu sejak longsor beberapa tahun lalu. Kita kembali saja ya, Mbak. Saya nggak bisa kalau naik ke sana. Nanti mobil saya selip. Tanah di sini rawan longsor.”

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang