Kasus Tigapuluhdua

98 14 0
                                    

Aroma tembakau tercium. Si penghisap benda berwarna putih itu terbatuk seiring asap keluar dari mulutnya.

“Astagfirullah, Bang. Makruh Bang.”

Tatapan netra Buma nyalang ke arah juniornya. Ia membanting rokok itu dan menginjaknya.

“Sini.”

Titah itu membuat sang junior segera mendekat. Zidan sudah paham dengan apa yang akan dilakukan oleh seniornya. Ia membuka jaketnya, menyisakan kaos berwarna abu-abu dengan lambang kepolisian di dada.

Buma meninju perut juniornya. Zidan sudah kebal. Ia paham dengan kondisi sang senior. Zidan merelakan tubuhnya menjadi samsak.

Setelah puas, Buma mendorong Zidan hingga juniornya itu terjungkal. Bukannya menolong, Buma malah bersiap menyepak tubuh juniornya.

“Hentikan!”

Teriakan seorang gadis membuat Buma menghentikan tindakannya.

“Cukup Pak! Jangan bapak lanjutkan agi atau saya akan bawa tindakan bapak ke kantor.”

Davina segera menolong kekasihnya. Matanya sudah memerah, ia takut Zidan kenapa-kenapa hingga diam-diam mengikuti pria itu dan benar saja, sampai di tempat di mana Buma meminta Zidan datang, kekasihnya itu sedang dipukuli dan hampir ditendang oleh seniornya.

“Abang,” isak Davina.

“Sayang, aku nggak apa-apa. Nggak usah nangis. Cup, cup. Kamu ngapain ikut ke sini? Sama siapa?”

“Aku ngikutin Abang, soalnya aku punya feeling nggak bagus. Jadi aku nyusul.”

Buma menatap sejoli itu. Zidan mengelus puncak kepala gadis yang akan ia ajak pengajuan nikah itu.

Aku nyusulin Mas ke sini.”

Kalimat itu kembali terngiang di telinga Buma. Ya, ia ingat dengan gadis yang menyusulnya saat ia melakukan penyeiidikan atas dasar insting minggu lalu. Dan perjalanan itu berujung nestapa. Ia harus kehilangan gadis yang ia cintai.

Cleo… kamu di mana.

***

Aroma parfum maskulin tercium. Laki-laki yang sudah tak diinfus lagi itu baru selesai mandi. Sudah jauh lebih segar. Luka jahitan di atas dahi kanannya sedari tadi ia lihat.

“Ck… codet,” gumamnya.

“Masih ganteng kok.”

Ucapan gadis yang baru saja selesai merapikan baju kotor miliknya membuat Angkasa terganggu.

“Sana pulang.”

“Mas nggak mau makan disuapin dulu?”

“Aku bukan bayi!”

Bening sudah mulai terbiasa dengan Angkasa yang sekarang. Tunangannya itu berubah drastis pasca kecelakaan.

“Aku pulang kalau Mas udah makan.”

Angkasa menatap Bening tajam. “Aku kan udah bilang, aku nggak butuh kamu. Aku bisa nyewa ART yang jauh lebih cantic dan menarik dari kamu. Yang jauh lebih kompeten.”

“Aku memang bukan ART, aku calon ibu dari anak-anakmu. Aku menantu kesayangan orang tuamu dan asal kamu tahu, kamu dulu bucin banget sama aku.”

Angkasa mendekati Bening. Ditatapnya lekat-lekat gadis itu. Bening mendadak menyirat ketakutan.

“M-mas ke-kenapa?”

Angkasa semakin memangkas jarak. Matanya tak ia pindah dari sosok lugu yang menurutnya biasa saja itu. Ekspresi ketakutan Bening justru membuatnya senang.

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang