Kasus Kelima

97 14 5
                                    


Dor!

Bunyi itu tak nyaring. Entahlah, semuanya terjadi begitu saja dan si pelaku melarikan diri. Cleo keluar dari kamarnya.

“Mbak!”

“Aku udah telfon dia.”

Hanya itu yang keluar dari bibir Cleo. Setelahnya, si korban menatap orang yang kini menangkap tubuhnya.

“Abang nggak apa-apa?”

“Kamu tolol atau apa? Kamu yang tertembak kenapa kamu tanya hal bodoh seperti itu!”

Bola mata Cleo bermain pingpong sejenak sebelum ia berinisiatif untuk menitahkan kalimat lantang pada Zidan.

“Bang Zi, buruan ke rumah sakit! Aku nggak kuat kalau bopong dia.”

Zidan bergerak cepat. Sejatinya ia ingin sekali mengejar si pelaku tetapi, nyawa korban yang terkulai di tangannya lebih utama. Beruntung saat Zidan berhasil melewati lorong di pinggir kafe, Buma sudah sampai.

“Bawa ke mobilmu,” titahnya pada Zidan.

Sementara itu Buma mengode Cleo. Tangannya bergerak mengibas, menandakan ia menyuruh Cleo untuk berputar arah. Cleo menggeleng, ada ekspresi kepanikan di wajahnya. Buma pun setengah berlari mendekati Cleo.

“Setidaknya ganti dulu bajumu, Nona.”

Cleo menatap bayangan dirinya sendiri di kaca jendela kafe. Ia meringis, benar juga, dirinya masih mengenakan mukena.

“Ya memang benar sudah niat hijrah, tapi tidak diartikan harus pakai mukena ke mana-mana, kan?”

Ucapan Buma membuat Cleo mencebik. Pria yang tak pernah bercanda itu mendadak mengeluarkan sindiran berupa lelucon.

“Bang! Darurat!” teriak Zidan.

Buma pun tersadar. Ia segera mengulurkan kunci motornya pada Cleo. “Susul kami di rumah sakit. Ganti bajumu dulu.”

Cleo menerimanya. Ya, dia tidak punya kendaraan pribadi sejak tiga bulan ini. Demi menghindari kemungkinan tertangkap lebih cepat, ia menjual semua asetnya termasuk dengan rumah tinggal sebelumnya. Kini, ia hanya menyewa kamar sempit di belakang kafe pinggir kota.

Cleo tak banyak bertanya, ia paham apa yang harus ia lakukan sementara Buma pergi lebih dulu membawa korban penembakan serta satu rekannya tadi.

***

Dua pria berjaket kulit itu duduk berhadapan. Ah, tidak, salah satunya tengah berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran, sementara yang lain duduk dengan tangan terlipat di dada. Netra Buma menembak tepat sasaran. Sudah dua menit seperti itu tetapi masih belum direspon oleh korbannya, hingga di detik berikutnya si korban bereaksi.

“Saya pikir itu pelecehan, Bang. Posisi mereka… lalu saya coba ajak bicara dulu. Tapi orang itu tiba-tiba ambil senjata. Untung amatir. Benar-benar payah. Jaraknya hanya tiga lima meter, tetapi pelurunya meleset.”

“Baguslah. Kalau tepat sasaran, itu justru malah membuatmu kerja dua kali kan?”

Zidan mengembus napas berat.

“Lalu, kenapa dia? Bukan kamu?”

Ya, ada yang aneh. bukannya harusnya Zidan yang tertembak jika memang benar si pelaku ingin memberikan gertakan atau marah karena diganggu oleh Zidan saat ingin melakukan tindakan tak senonoh pada korbannya.

“Dia pasang badan, Bang.”

“Pasang badan?”

Zidan menyugar rambutnya sebelum mengangguk. “Davina tiba-tiba menubruk saya setelah tembakan peringatan pertama diletuskan.”

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang