Kasus Keduapuluhtujuh

83 17 3
                                    

"Vin?"

Suara itu parau. Kompres terletak di atas keningnya. Ia mencari-cari sosok gadis yang merawatnya sejak subuh tadi.

Gadis itu ternyata tengah sibuk di dapur. Namun, matanya tak tertuju pada kompor di depannya. Justru malah menerawang jauh ke arah jendela.

"Vin?"

Zidan sedikit terhuyung hingga menabrak kursi. Sang gadis menoleh.

"Abang."

Davina setengah berlari ke arah Zidan. Ia memapah pemuda itu.

"Kenapa bangun?"

"Bang Faraz telpon. Aku harus ke lokasi. Aku harus lanjut nyari Bang Buma."

Davina mengembus napas pelan. Zidan sudah duduk di kursi dekat meja makan.

"Kalau aku yang hilang... Apa Abang juga akan nyari aku sampai kayak gini?"

Pertanyaan itu seperti sindiran. Zidan ingat, ia telah melakukan kesalahan semalam. Tanpa sengaja, ia yang tengah berbincang dengan rekannya di teras, membahas tentang Davina.

"Cewek lu beneran?"

"Bukan. Mantan gue. Dia bisa jadi alat kita mengungkap semua kegilaan yang ada ini."

"Alat? Lu gila Dan."

"Bapak tirinya dia anggota sekte. Kita bisa dapet sesuatu dari dia."

Zidan, tak mengira jika Davina berdiri tak jauh darinya sembari membawa nampan berisi kopi untuk suguhan.

Dan, sejak saat itu Davina tak bicara lagi, meski tetap membantu merawat Zidan yang demam tinggi.

Wajah Davina terlihat dingin. Ia menertawai dirinya sendiri dengan kekonyolannya yang sempat percaya jika Zidan benar-benar tulus padanya.

"Semua yang aku tahu, udah aku tulis di buku yang aku tinggal di kamarku."

"Maksudmu?"

"Udah sana kalau mau berangkat."

Zidan menyadari jika Davinanya sudah berubah. Ya, semua ini akibat ulahnya sendiri.

Tangan sang pria meraih jemari lentik dara di depannya.

"Janji tetap di sini selama aku pergi?"

"Aku kan sudah bilang, semua yang aku tahu ada di sana. Semuanya. Aku sudah menulisnya semalaman. Semuanya. Tidak ada sedikitpun yang aku tutupi."

"Vin, maksudku bukan itu. Oke, aku salah. Aku manfaatin kamu awalnya tapi bukan kayak gini juga."

Davina menatap Zidan. "Terus gimana? Oh... kamu mau aku bawa kamu ke tempat sekte itu? Aku nggak tahu tempat itu di mana tapi mungkin aku bisa cari tempat itu biar kamu puas. Toh, mereka pasti butuh tumbal kan? Aku yakin mereka akan senang dengan kedatanganku."

"Davina! Apa-apaan kamu, ha?! Jangan sembarangan bicara!"

Zidan mendadak membentak Davina.

Si korban pembentakan menyipitkan mata sebelum tersenyum.

"Aku bakal bantuin Abang. Sebagai ganti kebaikan Abang selama ini. Aku cuma anak yatim piatu yang berharap punya tempat untuk pulang. Tapi, nyatanya... aku memang ditakdirkan sebatang kara. Tidak bisa bersandar ke mana pun. Rumahku sudah kembali ke tempat yang jauh lebih indah. Dan... tidak ada tujuan lain untukku selain bisa pulang ke rumah yang dihuni bunda dan ayahku sekarang."

Penuh kiasan tetapi Zidan paham maksud Davina.

"Nduk, Cah Ayu. Temenin mama pengajian yuk?"

Suara seorang wanita menginterupsi.

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang