Malam yang gelap. Suara-suara burung hantu terdengar di seluruh penjuru kawasan peri Bulan. Kunang-kunang yang beterbangan kesana-kemari, seperti sedang mencari tempat yang nyaman untuk ditinggali itu terpancar melalui jendela.
Di dalam sebuah rumah jamur yang besar, tepatnya di lantai atas—seorang anak laki-laki berambut hitam lurus tertidur pulas dengan sebuah lilin menyala di samping tempat tidurnya.
Namun, tak lama kemudian matanya yang tadinya terpejam tenang, mendadak bergetar, merasakan ada suara langkah kaki yang sedang menuruni anak tangga kayu rumah Cyrus, juga ia terbangun karena ada sekelebat bayangan yang melintas begitu saja tepat di depan pintu kamarnya yang terbuka.
Daniel, salah satu anak Cassius itu perlahan membuka matanya yang terpejam. Buram. Ia tidak bisa melihat apapun.
Matanya ia kedip-kedipkan beberapa kali dan ia gosok menggunakan tangannya, agar pandangannya kembali jernih. Saat indra penglihatannya sudah bisa melihat dengan sempurna, ia tidak mendapati siapapun disana yang membuat dahinya mengkerut.
Daniel mendudukkan badannya, berusaha mencerna dengan apa yang baru saja ia rasakan.
Ia yakin ia mendengar suara langkah kaki, juga ia merasakan ada bayangan hitam yang melintas di depan pintu kamarnya.
Daniel bukan tipe orang penakut. Sudah bertahun-tahun lamanya ia hidup di dunia ini, ia tidur dimanapun, bahkan di hutan sekalipun bersama empat teman lainnya dan tidak pernah melihat atau terjadi hal-hal mistis. Membuka pintu saat tidur?
Pemuda itu merasa sedikit gerah dengan kamar ini, jadi ia membuka pintu.
Dengan bibir tebal mengerucut seperti bebek dan kening mengkerut, Daniel mengambil lilin yang tinggal separuh itu dan mulai melangkahkan kakinya menuju luar kamar.
Kosong. Tidak ada siapapun.
Daniel, pemuda tinggi dengan kulit seputih susu itu mengecek satu-persatu kamar yang berada di lantai dua. Semuanya tertidur pulas.
Terkecuali kamar Alerina. Gadis kecil itu tidak berada di kamarnya.
Dengan helaan napas berat, Daniel buru-buru menuruni anak tangga kayu milik Cyrus dan ia langsung bernapas lega begitu melihat Alerina yang sedang berdiri memandangi luar jendela, ditemani lentera yang berisi dua kunang-kunang besar.
"Al? Apa yang kau lakukan di tengah malam seperti ini?" tanya Daniel dengan mata yang terasa sangat berat. Ia masih mengantuk.
Alerina spontan membalikkan badannya terkejut. "Eh? Daniel? Apakah aku membangunkanmu?"
Dengan mata berat setengah mampus, Daniel kembali menuruni anak tangga terakhir dan berdiri di depan sofa kumuh. "Apakah kau tidak bisa tidur, Al?"
Alerina mencebikkan bibirnya ke dalam. "Aku rasa iya. Tiap kali aku memejamkan mata, mataku selalu bergetar, seperti ingin terbuka."
Daniel kemudian mengangguk mendengar ucapan Alerina. Pemuda jangkung itu duduk di sofa empuk yang penuh dengan debu milik Cyrus. Tangannya yang putih memanggil Alerina untuk duduk di sampingnya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Daniel ketika gadis berumur tiga belas tahun itu sudah duduk di sampingnya.
Alerina terdiam. Ia memandang kosong lentera berisi kunang-kunang yang ia letakkan di meja.
"Apa ada hal yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya lagi dan kali ini gadis itu mengangguk. "Oh iya? Apa itu? Kau bisa menceritakannya kepadaku dan aku akan memberikanmu solusi."
Alerina diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya bibirnya mengkerucut sedih. "Aku merasa bersalah meninggalkan Lucy dan Mavi di kapal bajak laut itu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fae Circle
Teen FictionBerawal dari mencari sebuah jamur melingkar saat sedang melaksanakan perkemahan, yang konon katanya merupakan jalur masuknya para peri ke dunia mereka. Alerina, gadis yang sama sekali tidak mempercayai mitos itu tiba-tiba masuk ke dalam dunia peri...