08. peek a boo

393 75 0
                                    

"Aku menyerah. Kasus ini akan kuserahkan kepadamu."

Sebuah berkas-berkas yang menumpuk begitu tebal berpindah tangan. Jasver Rune, perwira polisi yang sedang berusaha mencari keberadaan adiknya itu menatap berkas-berkas yang mulai dibuka oleh atasannya.

Foto lima anak remaja laki-laki yang telah hilang sebelas tahun lalu.

Terlihat atasannya–Andrew menghela napas frustasi ketika melihat berkas kasus yang telah dikumpulkan sejak sebelas tahun yang lalu.

"Bebanku bertambah lagi," gumamnya sambil melepas topi polisinya. "Jasver, letakkan ini di meja tim. Nanti malam kita akan rapat mengenai kasus ini—"

"Bagaimana dengan adikku—"

"Ya, adikmu juga."

Setelah mengatakan itu, Jasver pergi keluar dari ruangan sang atasan menuju ruang kedap udara yang digunakan untuk rapat tim seperti biasa.

Sesampainya disana, perwira berambut cokelat terang itu langsung duduk, menyandarkan punggungnya pada kursi putar dan mulai membuka berkas-berkas itu.

Baru setengah halaman dilihat, Jasver langsung menutup berkas-berkas itu. Memegang batang hidungnya saking frustasinya ia.

Sudah tujuh hari lamanya Alerina tak kunjung ditemukan. Berbagai cara Jasver lakukan seperti menempelkan poster berisi wajah Alerina di sepanjang jalan sampai ke luar kota, menyebarkan foto Alerina ke semua platform bergengsi bahkan sampai membayar orang berjuta-juta hanya untuk menemukan adiknya.

Jasver memejamkan matanya sembari memijat batang hidungnya. "Al, kemana kau? Tolong, kembalilah."

Jasver sangat frustasi, bahkan hampir depresi karena adiknya hilang di tempat yang sama seperti teman-temannya sebelas tahun yang lalu.

Ia frustasi, karena sampai sekarang lima temannya tak kunjung ditemukan dan diberi nama kasus sebagai misteri anak hilang sejak beberapa tahun yang lalu.

The lost boys.

Ia takut terjadi apa-apa kepada adiknya. Ia takut—ia takut adiknya tidak akan kembali seperti lima temannya.

Jasver takut.

•••

"Ibu! Aku akan mengajak Al pergi berkeliling! Aku dan Alerina pergi dulu, Bu!" suara lembut anak laki-laki itu terdengar sampai ke dapur, membuat seorang wanita yang tampak sedang mencuci piring itu berbalik.

Mavi menarik tangan Alerina, antusias untuk mengajak gadis itu berkeliling.

Rencananya, hari ini ia akan mengajak Alerina berkeliling ke rumah Valir, karena Valir yang meminta. Valir sangat senang jika mereka akan bertamu ke sana.

"Vi, tunggu dulu!" Sang Ibu menahan keduanya, membuat keduanya seketika berhenti melangkah.

Mavi berbalik, begitupun juga dengan Alerina. Sosok peri di hadapan mereka terlihat sangat cantik dengan dress kuning yang bawahnya mengeluarkan serbuk-serbuk peri berkilau.

"Ada apa, Bu?" tanya Mavi dengan mata bonekanya. Matanya hitam legam dan besar, seperti mata boneka.

"Apakah kau akan mengajak Alerina pergi dengan keadaan rambut seperti itu?"

Mendengar ucapan sang ibu, Mavi pun seketika menatap rambut Alerina yang terurai. Rambut cokelat yang rapi dan sehat itu terlihat tidak ada masalah di mata Mavi. Begitupun juga dengan Alerina, seketika ia melihat keadaan rambutnya yang menurutnya tampak baik-baik saja.

"Kenapa, Bu? Rambut Al bagus, kok. Tidak ada masalah sama sekali," jawab Mavi merasa tidak ada yang salah dengan rambut Alerina.

Rambut lurus kecokelatan seperti air itu benar-benar tidak ada masalah di mata Mavi maupun Alerina.

Sang Ibu menggeleng pelan dan tertawa kecil. "Biarkan Ibu mengepang rambut, Alerina. Apakah tidak apa-apa, Alerina?" tanya peri cantik itu, meminta persetujuan Alerina.

Seketika Alerina mengangguk antusias. Raut wajah bingungnya seketika terganti dengan senyuman mengembang penuh kebahagiaan. Alerina langsung berlari ke arah Dahlia dengan sederet gigi rapih nya. Ia sangat senang.

"Yahh Ibu, kenapa harus dikepang? Al sudah cantik dengan rambut seperti itu—"

Seketika sang ibu langsung memicingkan matanya jahil mendengar ucapan putranya barusan, membuat Mavi menghela napas sedikit dan terlihat salah tingkah dengan tersenyum dan menggaruk lehernya.

"Jangan aneh-aneh, Bu. Aku kan hanya memuji," kata Mavi dengan senyuman yang tidak bisa ia tahan, karena ibunya terus menatapnya dengan senyuman jahil.

"Ibu akan mengepangnya agar Al tidak kepanasan, apalagi kalian akan mengunjungi rumah Valir, bukan?"

Melihat Mavi tersenyum mengembang, peri cantik itu kemudian mulai menyisir rambut Alerina yang sangat halus dan lembut. "Rambutmu sehat sekali, ya."

Alerina tersipu malu dan membiarkan wanita itu mengepang rambutnya.

"Ibu, jangan lama-lama, ya. Aku dan Alerina akan terlambat nantinya," kata Mavi yang sudah duduk menyilangkan kaki di lantai kayu, menonton sang Ibu yang sedang mengepang rambut Alerina.

Sang Ibu tersenyum. "Iya, Vi. Kau ini cerewet sekali—"

"Bukan cerewet, Bu. Aku ingin mengajak Al berkeliling, nanti keburu malam. Nanti suasananya akan menyeramkan jika aku dan Al pergi malam. Akan berbahaya juga untuk Alerina—"

"Iya, Vi. Iya. Ibu akan cepat." Wanita itu dengan telaten namun cepat mengikat sebelah rambut Alerina. "Oh iya, Al. Ibu bernama Dahlia. Tapi Al bisa memanggil Ibu saja."

Tiba-tiba senyuman sumringah itu luntur. Sebuah memori lama mendadak masuk ke otaknya, menunjukkan sebuah tulisan dalam buku yang pernah ia baca.

"Aku mempunyai teman bernama Dahlia. Dia adalah peri bunga yang sangat baik hati."

Tulisan itu dan dunia ini seperti sangat tidak asing.

"Nahh, Al. Sudah selesai. Tapi tunggu sebentar, Ibu akan mengambilkanmu sebuah bunga yang sangat cantik."

Alerina yang tadi terdiam kaku pun seketika menoleh saat Ibu Mavi—Dahlia beranjak dari belakangnya. Dahli berjalan menuju jendela dan memetik sebuah bunga-bunga kecil berwarna ungu.

Bunga-bunga ungu itu kemudian ditempelkan di beberapa bagian rambut Alerina. Dahlia yang menempelkannya tersenyum ceria.

"Ini adalah bunga Florence. Sangat cantik bukan?"

Florence

Florence

Florence

Nama itu, benar-benar mengganggu pikirannya.

Fae CircleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang