Sore menjelang malam. Matahari yang tadinya begitu bersinar perlahan memudarkan warnanya, menenggelamkan dirinya, membuat sekitarnya terlihat mulai menggelap.
Seorang anak laki-laki dengan kemeja putih kebesaran di bagian lengannya, serta celana pendek hitam selutut berlari memasuki rumah pohon yang menjulang begitu tinggi itu. Rambutnya yang bergelombang terlihat sangat lucu—seperti bantal.
Mavi berlari memasuki rumahnya dengan napas yang menggebu-gebu. Saat masuk ke dalam rumahnya, matanya melirik kesana-kemari. Ia mencari seseorang.
Tak melihat orang yang dicari, Mavi pun langsung berlari cepat menaiki anak tangga. Saat tiba di lantai dua, ia membuka pintu kamarnya dan kamarnya kosong. Tempat tidurnya masih rapi, pertanda tidak ada orang.
Pemuda itu kemudian mulai mencari ke tiap sudut rumah, namun orang yang ia cari tak kunjung ditemukan.
"Kau mencari apa, Mavi?" Suara lembut seorang wanita terdengar saat Mavi berjongkok untuk melihat ke bawah kulkas.
Sosok wanita dengan rambut disanggul muncul, terbang pelan ke arah Mavi menggunakan sayapnya. Warna sayap wanita cantik itu sama seperti sayap milik Mavi. Baju dress kuning yang bawahnya mengeluarkan serbuk-serbuk peri berwarna kuning itu terlihat sangat cantik.
Mavi yang mendengar suara sang Ibu pun langsung seketika berdiri tegak. Bahunya naik-turun, pertanda ia habis berlari.
"Bu, apakah kau melihat Al?"
Sang Ibu yang sedang memegang secangkir teh pun langsung meletakkannya pelan di atas meja kayu yang ada di dapur.
Kening sang Ibu mengkerut. "Al?" tanyanya, kemudian menggeleng pelan. "Tidak. Ibu tidak melihatnya. Bukankah kalian pergi bersama tadi pagi?"
"Iya, Bu. Kami bermain petak umpet. Tapi sejak siang tadi kami bermain, Al, Sage dan Er belum kutemukan. Aku berpikir, barangkali Al bersembunyi disini, jadi aku bertanya kepada Ibu."
Mavi tampak ngos-ngosan saat menjelaskan kejadian ini.
Keningnya dipenuhi peluh-peluh keringat. Anak rambut depannya terlihat basah. Sekitar pipinya berwarna kemerahan pertanda ia kelelahan.
Bukannya tertawa atau apapun, sang Ibu—Dahlia malah menaikkan kedua alisnya. Matanya yang menyorotkan keteduhan itu sedikit membulat.
"Apa?"
"Baiklah, Bu. Aku akan pergi mencari mereka lagi—" Mavi mulai mengepakkan sayap kuning transparannya. Ia akan terbang. Ia lelah berlari.
"Mavi, tunggu!"
Mavi yang baru terbang sedikit jauh itupun menghentikkan jalannya. Sayapnya terus mengepak, namun tetap diam di tempat.
"Iya, Bu? Ada apa?"
"Cepat temukan mereka dan langsung pulang. Jika kau tak kunjung menemukan mereka, lebih dari dua puluh menit, pulanglah—"
"Yah Ibu, kalau begitu aku kalah, dong? Karena tidak bisa menemukan mereka—"
"Vi, apakah kau tidak ingat ini hari apa? Ini sudah tujuh tahun—"
Mendadak sorot matanya kosong. Pikirannya seperti menemukan sebuah titik terang atas perkataan sang Ibu. Ia ingat.
Wajah Mavi terlihat pucat. "Oh, tidak. Forestone..."
•••
"Huu dasar Mavi payah! Aku mati kebosanan menunggu Mavi menemukan kita!" Sage, anak laki-laki berambut hitam legam melempar-lempar sejumput pasir ke depannya.
Er yang paling tua disana pun mendongakkan kepalanya, melihat langit senja yang telah berubah warna menjadi hitam, alias malam. Kurang lebih mereka berdiam diri disana selama dua jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fae Circle
Teen FictionBerawal dari mencari sebuah jamur melingkar saat sedang melaksanakan perkemahan, yang konon katanya merupakan jalur masuknya para peri ke dunia mereka. Alerina, gadis yang sama sekali tidak mempercayai mitos itu tiba-tiba masuk ke dalam dunia peri...