ALANA||SELALU DI ABAIKAN

8.7K 97 1
                                    

Diabaikan Orangtua.
Diabaikan sahabat kecil.
Diabaikan keluarga.
Diabaikan semua orang.
Dijadikan pelampiasan.
Disakiti secara halus.
Selalu dikecewakan.
Selalu merasa terpuruk.
Tak pernah dihargai.
Tak pernah dianggap ada.
Selalu disalahkan.
Mencintai orang yang mencintai kembarannya.

“Terkadang terlalu banyak harapan yang ingin disampaikan, namun tak ada satupun yang ingin mendengar. Sadar akan posisi itu jauh lebih baik daripada harus memaksa seseorang untuk menghargai posisimu.”

- Alana Zealinne Artharendra

•••

Alana tersenyum miris saat melihat ketiga sahabat kecilnya begitu perhatian pada Alona—Saudara kembarnya. Diperlakukan bak seorang ratu dan disayangi oleh semua orang. Sedangkan Alana, selalu diabaikan dan tak dianggap posisinya.

Gadis itu hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Netranya beralih menatap sepotong pizza yang masih hangat dihadapannya. Tangannya terulur untuk mengambil pizza tersebut, namun, tangan kekar seseorang menghentikannya.

“Buat Alona aja, ya? Sesekali Lo harus ngalah. Kan Lo udah makan banyak,” ucap Zevandra sambil tersenyum manis.

Sesekali? Bahkan Alana sudah mengalah beribu-ribu kali! Namun tak ada satupun yang menyadari. Miris, bukan? Orang tua, sahabat, dan kakak, Alona sudah mengambil semua itu. Namun, tak ada yang menyadari.

“T—tapi itu makanan kesukaan gue ...,” lirih Alana. Namun, tak ada yang menghiraukan. Semua sibuk menyuapi Alona dan memanjakannya seakan tak melihat ada Alana disamping gadis itu.

“Kak Lana bisa minggir dikit, gak? Alona sesek.” Alona mengadu.

Alana menghela nafas berat. Baru saja gadis itu ingin menggeser posisinya, tangan seseorang sudah terlebih dahulu mendorong lengannya hingga Alana hampir tersungkur.

“Ck! Lelet banget! Cuma geser dikit doang padahal!” cibir Keano.

Mata Alana mulai berkaca-kaca. Ada rasa sesak didadanya saat sahabatnya sendiri tak memperlakukannya dengan baik. Bukan hanya kali ini saja. Namun, sering! Alana sudah sering diperlakukan tak adil oleh sahabatnya, bahkan semua orang. Dari kecil, hingga sebesar ini. Tak ada satupun orang yang mengetahui dukanya.

“Gak usah nangis! Cengeng banget, sih! Kekanakan banget sih lo!” Rassya ikut mencibir.

“Apaan, sih, Rassya! Gak boleh gitu! Semua orang berhak nangis!” balas Alona sambil mengerucutkan bibirnya.

“Yaudah, iya. Sesuai perintah Queen Lona!” Rassya tersenyum lebar sambil mencubit kedua pipi Alona gemas.

Lagi-lagi Alana hanya bisa menghembuskan nafasnya. Memang sudah seperti itu. Jika Alona yang meminta, maka semua akan menuruti. Jika Alona yang menangis, semua akan membujuk. Jika Alona kesakitan, semua ikut panik. Dan jika Alona kesepian, semua berusaha menghibur. Sedangkan Alana, disaat sedih dan terluka pun tak ada yang peduli. Dan disaat ia kesepian, hanya dirinya sendirilah yang menemaninya.

“Gue mau balik. Kean, boleh anterin gue, gak? Soalnya gue takut. Ini udah hampir larut malem,” tanya Alana.

“Terus Alona gimana? Lo gila ya ninggalin Alona sendiri?!”

“Lo dendam sama Alona cuma gara-gara sepotong pizza itu sampe Lo mau ninggalin dia? Gak dewasa banget sih Lo, Lan!”

Keano menggeleng. “Gue gak bisa karena harus nemenin Alana disini! Lagian, manja banget sih pake minta dianterin segala? Lo gak pikirin tentang Alona? Dia sendirian!”

“Cih! Dasar kakak gak bertanggung jawab!” Zevandra ikut mencibir.

“Gua gak nyangka pemikiran Lo bisa sempit banget kek gini!”

Alana menahan perih saat cacian dan cibiran itu menusuk telinganya. Ini bukan soal matematika yang masuk lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Namun, kata-kata ini berhasil menyakiti hati Alana. Terdengar di telinga dan mengiris hati.

Alana mencoba tersenyum. “Yaudah, kalau kalian gak mau nganterin, setidaknya jangan nuduh gue yang enggak-enggak. Gue gak marah gara-gara pizza itu, kok. Tapi gue emang udah capek aja,” jelasnya seraya bangkit dari posisinya.

“Ck! Baperan!” teriak Rassya.

Alana menoleh sejenak. Perih, sakit, dan sesak bercampur dalam hatinya. Segera gadis itu berlari dari cafe, telinganya sudah cukup mendengar cibiran dari para sahabatnya.

•••

Plak!

“Kenapa kamu tinggalin Alona sendiri?! Kalau dia kenapa-napa gimana?!”

Alana memegang pipinya yang terasa kebas akibat tamparan dari sang ayah. Meringis, menangis, bahkan menjerit pun tak ada gunanya jika sudah seperti ini. Lelaki paruh baya itu sudah kalut dalam kekhawatiran.

“Kok kamu tinggalin Alona sendiri, sih, Lan? Kamu tau, ‘kan, Alona belum bisa jaga dirinya sendiri. Kamu sebagai kakak harus bisa bertanggung jawab, dong!” Miranda—sang mama ikut menimpali.

“M—maaf ....” Entah sudah berapa kali Alana melirih. Namun, tak ada yang mengerti.

Alana melirik lututnya yang lecet akibat jatuh di trotoar tadi. Bahkan, Miranda dan Alvin sama sekali tak memerhatikan luka di lutut putri mereka itu. Yang kini mereka khawatirkan hanya Alona, Alona, dan Alona. Padahal ada tiga lelaki yang menemaninya saat ini.

“Papa!” Alona berteriak dan langsung memeluk tubuh kekar Alvin.

“Tau, gak? Tadi tangan Alona tergores gara-gara kena ujung meja. Tapi gak papa, soalnya tadi Alona udah dijajanin Ice Cream sama Rassya, Zevan, sama Kean,” girangnya.

Zevandra menatap Alana tajam. “Gara-gara Lo Alana sampe jadi kek gini! Dia mau cegat Lo dan gak sengaja tangannya kegores meja. Gak berperasaan, ya, Lo, Lan!” ucapnya ketus.

“M—maaf ....” lagi-lagi hanya kata maaf yang keluar dari mulut Alana.

Semua yang terjadi telah membuatnya menjadi gadis dewasa. Marah tak akan ada gunanya. Alana pasti akan terlihat salah Dimata semua orang jika dirinya melawan. Diam adalah hal yang selalu dilakukan Alana sedari kecil.

Alana berjalan kecil menuju kamarnya. Gadis itu sedikit meringis saat merasakan perih di lututnya. Andai saja dirinya lebih berhati-hati, mungkin semua ini tak akan terjadi.

Gadis dengan rambut terurai panjang itu segera mengambil kotak P3K-nya didalam lemari. Dengan susah payah Alana mengambil kotak itu, bahkan sampai harus berjinjit. Usaha tak menghianati hasil. Begitulah sepatutnya. Akhirnya Alana berhasil mengambil kotak itu dan langsung membawanya ke kasur.

Alana menyiram sedikit alkohol pada selembar kanvas dan langsung meletakkannya dibagian yang terluka.

Tak terasa air mata mengalir begitu saja. Bukan karena sakit di lututnya, namun, karena perih dihatinya. Dicampakan, diabaikan, tak dihargai, semua itu membuat dada Alana sesak.

“Semua gak adil sama gue,” lirihnya dengan pandangan kosong.

Next or stop?

#Acc_Min

ALANA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang