“Ada banyak yang ingin disampaikan. Namun, aku memilih untuk bungkam. Bukan tanpa alasan. Hanya saja, aku terlalu takut tidak mendapat tanggapan.”
- Alana Zealinne Artharendra
•••
Alana membuka matanya perlahan. Gadis itu sedikit tersentak saat mengetahui kini dirinya berada di ruangan minimalis dengan bau obat-obatan yang menyengat. Tentu ini bukan kamarnya.
Alana melirik kebawah. Tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan seseorang yang kini berada diatas perutnya. Lagi-lagi Alana dibuat terkejut dengan kehadiran Alzean yang tidur diatas kursi samping ranjangnya. Kepalanya berada tepat disamping pinggangnya dengan wajah yang terlihat kelelahan.
Gadis itu tersenyum tipis sambil mengamati setiap sudut wajah tampan sang kekasih. Bulu mata tebal, alis tebal, rambut tebal, dan bibir tipis berwarna merah jambu itu kini membuatnya semakin candu.
Alana mencoba bangkit. Namun niatnya itu urung karena pusing yang mendera. Matanya kembali melirik Alzean yang mulai menggeliat kecil karena pergerakannya. Secepat kilat gadis kembali itu menutup matanya.
Alzean mengucek matanya dengan bibir menguap kecil. Lelaki itu melirik Alana lalu menghembuskan nafasnya gusar. Alzean pikir Alana akan segera bangun setelah berjam-jam dirinya menunggu. Namun ternyata salah! Sampai saat ini Alana belum juga sadar dari pingsannya.
“Lo kapan sadarnya sih?” tanyanya.
“Lo tau udah berapa Jam gue nunggu? Tujuh Jam! Selama itu gue cuma pengen Lo sadar! Gak ada yang lain!”
“Gue bahkan rela sampe di ledekin Bunda!”
Alana langsung membuka matanya. Gadis itu menatap Alzean yang kini tengah menatapnya cengo. Lelaki itu sempat berdehem sebelum menetralkan ekspresinya.
“Beneran Lo diledekin?” tanya Alana dengan alis bertaut bingung.
“Abis bikin gue khawatir Lo masih nanya gitu? Kenapa gak bilang sama gue kalau Lo sakit? Lo gak tau seberapa khawatirnya gue?!”
“Tiap detik gue ngecek keadaan Lo! Gue takut Lo kenapa-kenapa!”
Alana mengulum senyumnya. “Khawatir?”
“Pantes Lo nanya gitu?!”
Alana tertawa kecil. “Pantes. Kan emang Lo khawatir sama gue.”
“Kapan?!”
“Tadi.”
“Gue cuma kasian!”
“Masa? Tapi tadi keliatannya Lo khawatir banget.”
“Ck! Iya gue emang khawatir!”
“Tuh kan.”
Alzean berdecak. “Seneng Lo sekarang?” tanyanya yang langsung dibalas anggukan oleh Alana.
Pintu berdecit bersamaan dengan seorang wanita paruh baya dan dua orang lelaki jangkung masuk kedalam ruangan. Wanita yang masih tampak awet muda itu tersenyum menatap Alana.
“Gimana? Udah baikan?” tanyanya. Alana bahkan langsung merasa nyaman dengan wanita itu karena perlakuannya yang manis.
“Masih pusing?” Wanita paruh baya itu beralih mengecek detak jantung Alana menggunakan stetoskop.
Wanita itu duduk disamping Alana. “Tante Bundanya Alzean. Sekarang kamu ada dirumah Tante. Demam kamu terlalu tinggi sampai kamu pingsan seperti tadi. Untung Alzean, Devano sama Revan Cepet bawa kamu kesini sebelum demamnya lebih parah.”
Aqila memegang kening Alana agak lama. “Demam kamu masih lumayan tinggi. Mungkin masih pusing juga.” Alana langsung mengangguk.
Aqila membantu Alana untuk bangun dan bersandar di kepala ranjang. Wanita paruh baya itu juga memberikan segelas air dan beberapa obat agar Alana bisa segera meminumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (END)
RandomDiabaikan Orangtua. Diabaikan sahabat kecil. Diabaikan keluarga. Diabaikan semua orang. Dijadikan pelampiasan. Disakiti secara halus. Selalu dikecewakan. Selalu merasa terpuruk. Tak pernah dihargai. Tak pernah dianggap ada. Selalu disalahk...