“Kamu tidak bisa memaksakan seseorang untuk tetap tinggal. Percayalah. Dibalik kehilangan itu. Akan ada seseorang yang datang dan mengobati semua lukamu.”- Alana Zealinne Artharendra
•••
Sudah satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Dimana Alzean mabuk berat dan mengambil mahkota Alana secara paksa. Tentang kesalahpahaman yang di sebabkan oleh Lea. Dan tentang Bara yang sekarang sudah bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa.
Tidak ada yang perlu di khawatirkan tentang Avaluenz. Semua anggota sudah berlatih dengan baik. Persiapan melawan Victor juga telah selesai. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengalahkan musuh mereka itu.
Rumah tangga Alzean dan Alana berjalan dengan baik. Walaupun terkadang pertengkaran dan kesalahpahaman kecil masih sering terjadi, Namun keduanya bisa mengatasi semuanya dengan baik. Alzean maupun Alana sudah belajar dari pengalaman. Tidak selamanya keegoisan akan berdampak baik. Justru sebaliknya. Ego yang besar hanya akan membuat mereka terjerumus dalam penyesalan.
Kegiatan Alana pagi ini adalah memasak sarapan untuk dirinya dan Alzean. Pagi-pagi sekali Bi Hani sudah pamit ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan. Oleh karena itu tugas memasak digantikan olehnya. Alana tidak keberatan akan hal itu. Lagipula memasak sudah menjadi hobinya. Alana menyukai makanan yang ia masak sendiri. Begitupun dengan Alzean. Suaminya itu selalu memakan apapun yang ia buat. Namun berbeda saat Bi Hani yang memasak. Terkadang Alzean kurang menyukainya karena tidak sesuai dengan seleranya.
Alana merasakan berat di pundaknya bersamaan dengan tangan kekar seseorang yang memeluk pinggangnya dari belakang. Bahkan tanpa menoleh pun Alana sudah mengetahui siapa pelakunya.
“Morning, sayang.”
Suara berat itu berhasil membuat Alana tersenyum. “Good Morning, Alzean.”
Bola mata berwarna hitam kecoklatan itu melirik lelaki di sampingnya. Bau parfum Alzean menyeruak hingga memenuhi Indra penciumannya. Entah mau kemana lelaki itu pagi-pagi seperti ini. Padahal setelah sarapan mereka harus pergi ke sekolah.
“Mau kemana?” tanya Alana yang kembali fokus pada pekerjaannya.
“Markas,” jawab Alzean singkat.
“Ngapain? Mau bolos lagi?”
“Ada urusan penting.”
“Terus hari ini gak sekolah? Kita udah kelas tiga, Al! Gak seharusnya---”
“Sehari aja, sayang.”
“Tetep aja gak boleh!”
“Ini penting banget, Lana. Gak mungkin gue gak dateng.”
Alana menghembuskan nafasnya pelan. Tidak mungkin dirinya melarang Alzean datang ke markas untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang anggota inti. Alzean merupakan sosok lelaki yang bertanggung jawab. Tidak mungkin lelaki itu akan mendengarkan ucapannya jika sudah menyangkut tentang tanggung jawabnya.
“Oke. Tapi sehari aja.” Dengan berat hati akhirnya Alana membiarkan Alzean bolos sekolah untuk yang ketujuh kalinya dalam sebulanan ini.
Senyuman Alzean mengembang sempurna begitu mendengar ucapan wanita di sampingnya. “Gue juga udah suruh Revan Dateng kesini buat anterin Lo sekolah.”
“Gue bisa pergi naik taxi, Al.”
“Gak! Gue gak mau denger apapun. Pokoknya Lo harus pergi sama Revan!”
“Tapi---”
“Gue cuma gak mau Lo kenapa-kenapa, Alana.”
Alana menghela nafasnya lelah. Alzean terlalu mengkhawatirkannya. Lelaki itu masih menganggapnya seperti anak kecil yang belum bisa mandiri. Sekarang tidak ada pilihan lain selain hanya menuruti permintaan suaminya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (END)
RandomDiabaikan Orangtua. Diabaikan sahabat kecil. Diabaikan keluarga. Diabaikan semua orang. Dijadikan pelampiasan. Disakiti secara halus. Selalu dikecewakan. Selalu merasa terpuruk. Tak pernah dihargai. Tak pernah dianggap ada. Selalu disalahk...