“Aku gagal karena diriku sendiri. Aku juga bangkit karena diriku. Dan kesuksesan sudah pasti menjadi milikku.”
- Alana Zealinne Artharendra
•••“Ma ... Alona boleh minta waktunya sebentar, gak?” Alona memainkan jemarinya. Takut Miranda akan marah dengan permintaannya barusan.
Miranda memijit pelipisnya. Pekerjaan di kantor benar-benar membuatnya pusing. Terlebih sekarang Alona meminta waktunya entah untuk apa. Pekerjaan rumah juga masih banyak yang belum ia kerjakan. Membuatnya semakin stres berada di rumah.
Semenjak Alana pergi meninggalkan rumah, Miranda menjadi berkali-kali lipat lebih sibuk dari biasanya. Pekerjaan rumah yang awalnya di kerjakan oleh Alana, kini menjadi tanggung jawabnya.
“Mama capek,” balas Miranda tanpa menatap kearah putrinya.
“Alona cuma mau cerita tentang kejadian hari ini, Ma.”
“Ada papa sama kak Rafa, ‘kan? Kamu bisa cerita sama mereka. Mama bener-bener capek.”
Beginilah kehidupan Alona setelah kepergian Alana. Semua orang tidak memiliki waktu untuknya. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Menyisakannya sendiri tanpa siapapun. Bahkan hanya untuk menceritakan tentang apa yang ia alami hari ini pun tak ada yang mau mendengar.
Biasanya Alana yang akan mendengarkan ceritanya. Mengerjakan pekerjaan sekolahnya. Dan memberi saran yang bermanfaat untuknya. Namun sekarang. Tidak ada lagi sosok Alana yang akan melindunginya. Tidak ada lagi Alana yang akan mendengarkannya. Alona sudah mengambil semua yang menjadi milik Alana. Mungkin wanita itu tidak akan lagi mau bertemu dengannya.
Jujur. Alona merasa bersalah karena telah mengambil Alzean dari Alana. Namun dirinya juga membutuhkan lelaki itu. Bukankah salah saat seseorang menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain? Beginilah Alona. Egois dan hanya ingin menang sendiri.
Dengan lesu Alona mengangguk. Sekarang Miranda selalu sibuk pada pekerjaan kantornya tanpa memperdulikannya. Bahkan wanita itu jarang pulang kerumah. Mungkin Miranda tidak ingin berlama-lama di rumah karena akan merindukan kenangan tentang Alana dan Alena. Entahlah. Hanya alasan itu yang terlintas dalam benak Alona.
“Sekalian masak. Mama capek.” Setelahnya Miranda langsung berjalan pergi menuju kamarnya.
Alona menghembuskan nafasnya pelan. Lelah. Tidak ada yang mau memberi perhatian padanya. Bahkan setelah pulang dari kampus Rafael sama sekali tidak menyapa atau menanyakan keadaannya. Sama seperti Miranda. Kakaknya itu juga lebih sering menghabiskan waktu diluar.
Belum sempat Alona melangkah ke dapur, pintu rumah sudah terlebih dahulu terbuka. Menampakkan Alvin yang masih terbalut jas berwarna hitam. Bibir ranum Alona membentuk senyuman. Lantas kaki kecil itu melangkah mendekati Alvin untuk mengadukan tentang perbuatan Haruna padanya.
“Papa. Tau gak? Tadi---”
“Bikinin papa kopi.“
“Tapi, pa. Alona mau cerita.”
“Masih ada waktu nanti! Sekarang buatin papa kopi!”
“Tapi---”
“Kamu gak denger perintah papa? Kamu tau papa kerja buat siapa? Kalau bukan kamu terus siapa yang bisa papa suruh?!”
“Tapi dengerin cerita Alona dulu, pa!”
“Udahlah. Kamu gak becus kalau disuruh!”
Alvin melangkahkan kakinya menuju kamar. Meninggalkan Alona yang hanya menatap kepergiannya sendu. Hari ini merupakan hari yang melelahkan untuk dirinya. Mulai dari rapat yang kacau hingga beberapa klien yang menolak presentasinya. Membuat Alvin benar-benar frustasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANA (END)
CasualeDiabaikan Orangtua. Diabaikan sahabat kecil. Diabaikan keluarga. Diabaikan semua orang. Dijadikan pelampiasan. Disakiti secara halus. Selalu dikecewakan. Selalu merasa terpuruk. Tak pernah dihargai. Tak pernah dianggap ada. Selalu disalahk...