Confess

1.2K 144 6
                                    

Sudah dua jam Muthe duduk di tempat ini, danau yang sering ia kunjungi bersama Aldo. Laki-laki pendiam dan tenang. Laki-laki yang selalu mendengarkan ceritanya dan mungkin itu yang membuat Muthe nyaman.

Sedari tadi Muthe sudah memutuskan bahwa ini adalah akhir ceritanya. Ia ingin berhenti, karna alasan untuk bertahan sudah tidak ada. Impiannya tentang keluarga utuh sudah hancur. Dan memang sepertinya keberadaannya hanyalah beban bagi orang-orang di sekitarnya.

Muthe menggenggam ponselnya erat. Jari jemarinya sedari tadi mencoba mengirimkan beberapa pesan kepada sahabatnya. Kata-kata perpisahan, yang tentu saja ia tau akan membuat disebrang sana Ashel, Marsha dan Olla binggung dan khawatir. Tapi Muthe tidak mau pergi tanpa berpamitan.

Air mata Muthe kini mengalir dengan sangat deras. Sekarang hanya tersisa satu orang lagi, orang yang belakangan selalu mendengarkan keluh kesahnya, Aldo.

Muthe menekan tombol no 1 di ponselnya lama, membuat kini ponselnya secara otomatis memanggil kontak yang Muthe jadikan emegency call nya.

Bibir Muthe kini berdarah, ia sedari tadi menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis nya sendiri. Jantung Muthe juga entah kenapa berdetak kencang, seiring dengan nada dering panggilan terus berbunyi, pertanda kalau nomor yang di tujunya itu tidak kunjung mengangkat telpon.






***






Disisi lain, keras suara dering ponsel bergema memenuhi ruang kamar seorang remaja laki laki yang sedang terlelap dalam tidurnya. Namun kini harus terbangun karna suara dering itu terus mengganggu.

Ia berdecak kesal melihat jam yang masih menunjukkan pukul 01.30 pagi, dan lantas mengambil ponselnya untuk mengecek siapa orang gila yang berani menelpon nya jam satu pagi.

Setelah melihat nama yang tertera, Aldo menyeritkan alisnya menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan. "Loh ada apa mut, tumben nelpon gue jam segini.. apa ada masalah?" Aldo sedikit khawatir.

Aldo dapat mendengar suara tangisan dari sebrang sana. Karna memang entah kenapa tangis Muthe pecah begitu saja ketika mendengar suara Aldo.

"Do.." ucap Muthe dengan suara bergetar.

Mendengar itu, Aldo lantas bangun dari posisi tidurnya, membenarkan posisinya sebelum memulai kembali percakapan.

"Kamu kenapa nangis muth, ada apa.. aku kerumah kamu ya sekarang ?" raut wajah Aldo berubah khawatir, ia kini sudah menyibak selimutnya.

"Aku bodoh banget ya do, aku hancur karna ekspetasi dan harapan aku sendiri.."

"Akhirnya orang tua aku cerai do, mimpi buruk terbesar aku akhirnya dateng" Muthe berbicara sedikit tersenggal karna menahan sesak di dadanya.

"Aku kira masih ada harapan do untuk keluarga aku, tapi ternyata keluarga harmonis itu cuman bisa jadi bunga tidur aku doang dan ngga akan jadi nyata.. setelah mereka cerai aku bakalan bener-bener sendiri do" Muthe terus menangis, meratapi nasibnya yang menyedihkan.

"Awalnya aku selalu bertanya tanya kenapa mama sama papa sebegitu bencinya sama aku.. selalu binggung kenapa mereka selalu berbuat kasar ke aku... tapi aku coba sabar dan terima semuanya karna aku pikir akan ada hari dimana tamparan itu berubah jadi elusan lembut di pipi aku"

"Sampai akhirnya kemarin aku udah ketemu jawabannya do... dari awal memang aku yang salah.. kehadiran aku yang cuman bikin luka di hati orang tua aku dan mungkin dengan ngga adanya aku, luka itu perlahan bisa sembuh" Muthe terus bicara dengan nada yang bergetar dan nafas yang sudah tidak beraturan.

Aldo diam mendengarkan semua emosi Muthe, sampai akhirnya Muthe mengucapkan kalimat yang membuat Aldo panik. "Do.. kayak nya ini akhir dari cerita aku ya.. maaf kalo aku nyerah.. maaf kalo aku ngga sekuat yang kamu pikir.. Makasih ya do belakangan ini kamu selalu ada untuk aku.."

Moonlight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang