0.15 - Toxic relationship

5.8K 137 1
                                    

Bijaklah dalam memilih bacaan.

Jangan lupa kasih vote sama tinggalin komen, jangan jadi silent readers.

Happy reading, darl!

☆☆☆☆

Jarum jam bergerak cepat, petang berganti malam, namun tak ada seorang pun yang menemani Lara di ruangan besar yang sungguh menakutkan baginya.

Bahkan Adisa sama sekali tak kembali lagi sejak beberapa saat lalu. Ia bertanya dalam hati, salah kah dia? Ia hanya merindukan salah satu anggota keluarganya.

Memilih melupakan itu semua, Lara lantas memejamkan mata. Namun kantuk tak kunjung menyerangnya, membuat ia hanya sibuk bolak-balik kesana kemari namun belum juga tertidur pulas.

Suara gesekan pintu dan lantai terdengar, tapi Lara tak membuka matanya. Tak lama suara langkah kaki semakin mendekat dan kembali terdengaran suara gesakan yang kali ini berasal dari kursi samping hospital bed.

Lara dapat merasakan tangan kekar milik seseorang menyentuh pucuk kepalanya, cara elusan itu sangat ia kenal. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Agas.

"Mama lo udah pergi lagi, La." ucap Agas tak memperdulikan Lara mendengarnya atau tidak. "Makanya gua berani kesini." Agas melanjutkan ucapannya.

"Dia takut sama mama?" tanya Lara dalam hati.

"Mama lo makin benci sama gua La, gua takut banget." Agas berkata seolah menjawab pertanyaan Lara. "Kalo lo ngizinin, gua pengen memperbaiki hubungan kita, tapi sekarang semuanya udah terlanjur rumit, gua takut lo gak mau." lirih Agas.

"Tidur nyenyak, Lara." ujar Agas mengakhiri pembicaraannya. Pemuda itu menaruh kepalanya pada hospital bed lalu memejamkan mata, tangannya terus bergerak mengelus surai rambut Lara berharap wanita itu tidur nyenyak.

Lara membuka matanya pelan, ia menatap wajah tenang Agas, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat menyayangi pemuda itu. Namun untuk mengulang kisah yang sama kedua kalinya, ia masih bimbang.

☠️ T O X I C ☠️

Matahari mulai menampakkan sinarnya, mata sayu Lara perlahan terbuka, pandangannya mengedar mencari sosok Agas yang sudah tak ada lagi didalam ruang inapnya. Namun ada Raven yang kini tertidur pulas di sofa.

Tak lama seorang dokter memasuki ruangannya, dokter bername-tag Agatha tersebut mulai memeriksa kondisi tubuhnya.

Tangan Agatha terangkat mengelus rambut pendek pasiennya, "Kamu gak perlu sakitin diri lagi, kamu berharga." ujar Agatha dengan senyum tipis.

Lara hanya tersenyum kikuk, tak lama dokter Agatha memegang ujung rambut Lara, "Rambut kamu cantik." pujinya.

"Makasih, dok." cicit Lara.

"Kamu bisa pulang hari ini, tapi sebelum itu saya mau ngingetin, jangan suka konsumsi obat-obatan lagi, ya? Jangan sayat dan bakar kulit tubuh, dan rambutnya jangan dipendekin lagi. Oke?" ucap Agatha panjang lebar.

Sejujurnya ia sangat kasihan kepada Lara, entah beban apa yang ditanggung wanita kecil itu hingga menyiksa tubuhnya sendiri. Dan ini bukan kali pertama ia menangani pasien yang bermasalah dengan penyakit mental.

"Iya, dok." jawab Lara sedikit ragu.

"Kamu bisa alihin rasa sakit kamu ke sesuatu yang lebih positif, gak perlu nyakitin tubuh. Bisa dengan cara ngelukis, jalan-jalan atau bahkan makan-makanan kesukaan kamu." Agatha menjeda ucapannya, "Kamu bisa datang ke psikolog atau psikiater kalo gak ada orang yang dapat kamu percaya buat dengerin cerita kamu." lanjut Agatha.

"Jangan dipendam sendiri ya."

Lagi-lagi Lara hanya mengangguk sebagai respon.

"Biaya administrasi kamu sudah dibayar, tinggal ambil obatnya aja. Saya tinggal dulu, ya?"

"Iya, dokter. Sekali lagi terimakasih."

"Sama-sama."

Palembang, 9 Juli 2024.
Salam manis, Liza.


TOXICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang