Bijaklah dalam memilih bacaan.
Happy reading, darl!
☆☆☆☆
Sepoi angin mengenai permukaan kulit mulus Lara, kepalanya terangkat melirik langit mendung lalu menopang kedua pipinya.
Hujan mulai membasahi jalan, tanah yang tadinya kering berganti basah. Deru angin tak membuat Lara kembali masuk ke kamarnya, ia tetap duduk santai di balkon menikmati hujan yang turun semakin deras.
Mata Lara menyipit melihat sebuah mobil memasuki perkarangan rumahnya. Ia lantas bergegas turun ke bawah, namun sebelum itu ia mengunci pintu balkonnya dengan rapat.
"MAMA!"
Adisa memasuki rumahnya seraya menyeret kopernya lalu menatap anaknya, "Udah sembuh?" tanya Adisa.
Lara mengangguk pelan takut Adisa memarahinya namun respon wanita didepannya hanya berdehem pelan. Ia bernafas lega.
"Mama mau bersih-bersih dulu, buka aja kopernya banyak jajan buat kamu."
Lara mengangguk antusias, ia mulai membuka koper milik Adisa lalu mengeluarkan satu-persatu jajanan tersebut. Matanya berbinar melihat deretan susu kotak varian cokelat yang dibelikan Adisa. Tak menunggu lama ia membukanya dan meminumnya hingga habis.
Panggilan masuk terdengar lewat ponselnya. Lara meraih benda tersebut lalu mengernyitkan kening melihat nama penelpon. Raven—mantan kekasihnya.
"Halo, kenapa kak?"
"Lo dimana?"
"Dirumah kak, kenapa?"
"Gapapa. Cuma mau ngingetin pintu rumah dikunci rapet, soalnya hujan deres banget."
"Aman, kak."
"Lo dirumah sendiri?"
"Engga, ada bunda."
"Bagus deh. Apaan dah teriak-teriak!" decak Raven dari sambungan telepon tersebut, "Gua tutup dulu, ya. See you!"
Tut!
Sambungan telepon terputus. Lara kembali menaruh ponselnya lalu mengerjab pelan, "Kok kayak suara kak Agas?" gumamnya teringat suara teriakan seorang pemuda dari sambungan telepon Raven tadi. "Ah gak mungkin." ujarnya lalu mulai membawa jajanan tersebut ke kamarnya.
☠️ T O X I C ☠️
"Lo telponan sama siapa?"
Raven menggeleng seraya menaruh ponselnua pada nakas, "Bukan siapa-siapa."
Agas menajamkan tatapan lalu meraih ponsel Raven cepat. Ia melihat log panggilan kemudian menatap Raven sengit. Pemuda yang ditatap hanya mengendikan bahu acuh seakan tak terjadi sesuatu.
"Lo ngapain telponan sama cewek gua?!" ketus Agas, "Jangan mentang-mentang lo mantannya lo seenaknya!"
"Apaan dah." jawab Raven.
"Gak usah hubungi cewek gua lagi." desis Agas menarik kerah baju Raven.
Raven mengangkat sudut bibirnya, "Kata Lara kalian udah putus."
"Fuck! Gua gak pernah putus bangsat!" ucap Agas mendorong Raven.
Raven tertawa pelan, "Lo cemburu?"
"Najis! Kalo lo mau ambil, gua gak pernah cemburu!"
"Yaudah, gua ambil, lo yang nyuruh."
Nafas Agas memburu, "Lo suka bekas gua?!" todongnya.
Raven menyandarkan kepalanya pada pembatas kasur dengan santai, "Kata-kata itu buat lo."
Bugh!
Raven mendengus melirik adik sepupunya yang sangat tempramen, ia mengusap sudut bibirnya lalu berujar. "Gak usah boong, gua tau lo cinta mati sama Lara."
Agas memalingkan wajahnya, "Gak usah sok tau soal hati gua!"
Raven tertawa pelan, "Oke-oke, maaf." ucapnya, "Lo kesini mau apa?" tanya Raven mengalihkan pembicaraan.
"Mau numpang tidur."
"Rumah lo gimana?"
"Rumah gua gak bakal ilang." ujar Agas lalu merebahkan tubuhnya pada kasur empuk Raven.
"Weekend besok lo sibuk ga, bang?" tanya Agas.
Raven menggeleng, "Engga, kenapa?"
"Temenin gua ke rumah bunda, ya? Udah lama gua ga ziarah."
Raven menggeleng, "Oh iya gua lupa, gua ada kerjaan yang harus diberesin. Lo sama Lara aja."
Agas menoleh, "Kata lo tadi engga ada, gimana sih?!"
"Gua baru inget."
Agas berdecak, "Ah sialan lo mah."
"Cewek lo kan ada, sama dia aja."
"Males! Gak jadi gua ziarah, kapan-kapan aja." sahut Agas.
"Berati Lara nemenin gua kerja."
"Bangsat!" ketus Agas, "Oke gua sama Lara."
Raven menarik sudut bibirnya. Ini caranya untuk mendekatkan Agas dan Lara kembali. Ia harap hubungan keduanya kembali sehat dan tak ada lagi masalah. Walaupun ia sangat mencintai Lara namun untuk Agas ia relakan. Sekarang ia belajar menganggap Lara hanya sekedar adik. Tidak lebih.
Palembang, 1 Juli 20024.
Salam manis, Liza.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC
Teen FictionLara lelah menghadapi sikap tempramen Agas, namun tak bisa melepaskannya. Pemuda itu tak pernah membiarkannya pergi bahkan sejengkal pun. Makian, tamparan bahkan ancaman sudah terlalu sering ia dengar. Memilih mengakhiri semuanya karna terlalu lelah...