0.26 - Toxic relationship

3.4K 74 1
                                    

Bijaklah dalam memilih bacaan.

⚠️ Kata-kata kasar⚠️

Happy reading, darl!

☆☆☆☆

Suara dentuman musik menggema keras, banyak pinggul yang berlenggak-lenggok kesana-kemari mengikuti irama lagu. Dan ada juga yang hanya diam menikmati enaknya alkohol dengan mata yang berfokus menatap para remaja yang tengah melepas penat.

Melepaskan penat atau melepas hasrat? Itu yang ada dipikiran Lara. Bahkan club didominasi dengan anak-anak seumurannya.

Sudah seminggu lebih Lara bekerja disini. Walaupun kadang mendapatkan perlakuan tak mengenakan ia tetap berusaha setenang mungkin. Lagipula itu tugasnya untuk melayani pelanggan.

Dan selama itu juga ia pergi tanpa mengabari Agas. Ia memilih untuk tinggal di mess bersama teman-temannya yang lain.

Ia sudah mempunyai satu teman akrab, yaitu Syera. Wanita itu janda berusia dua puluh tujuh tahun dan tak memiliki anak. Syera menikmati pekerjaannya, terlebih ia sangat menyukai dunia malam. Bahkan tak sekali dua Lara mendengar Syera berdoa agar ada customer yang menyewanya dengan harga tinggi. Lara yang mendengar itu hanya terkekeh kecil, bingung harus menanggapi seperti apa.

Bekerja disini harus siap menerima resiko. Kapanpun harus siap jika sewaktu-waktu ada customer yang menyewa. Jika tak melayani dan menolak, sang atasan tak segan-segan langsung memecat tanpa pesangon.

Beruntungnya, selama satu minggu ini semua berjalan baik bagi Lara. Dan ia berharap selalu begitu kedepannya.

"Baik saya ambilkan dulu," ucap Lara seraya menunduk. Ia kembali ke belakang, berusaha menjalankan tugas dengan baik, setelah itu segera mengantarkan pesanan pelanggan.

"Mbak, sini temenin kita!"

Lara menyipitkan mata menatap sekelompok anak muda yang tengah tersenyum kearahnya. Ia mengangguk lalu berjalan kearah sana. Mendudukkan tubuh disalah satu kursi yang masih tersisa.

"Mbak bisa temenin kita minum engga?"

Astaga, ini bencana bagi Lara! Memang diperjanjian sudah dituliskan bahwa mereka harus bisa mengonsumsi alkohol. Sebenarnya bisa, hanya saja Lara tak bisa jika harus minum dengan kandungan yang tinggi.

Vodka, wisky dan tequila.

Tiga alkohol dengan kandungan tinggi tersebut berjejer rapih diatas meja. Jika itu wine, bir atau bahkan kombucha Lara masih bisa meminumnya. Tapi ini? Ah, membayangkannya saja Lara sudah mual.

"Kalo mbak gak bisa minum gak apa kok," ucap pemuda itu. "Kenalin gua Alva,"

Lara tersenyum kecil, "Lara," jawabnya, "Makasih ya udah ngerti."

Mendengar siulan dari teman-temannya Alva membuat Lara memalingkan wajahnya. Tak lama, karna ujaran ketus Alva membuat mereka semua berhenti mengolok-olok Lara.

"Gua Raldo," pemuda disamping Alva memperkenalkan diri.

"Gua Febri."

"Tian,"

"Aku Lara," ucap Lara seraya tersenyum manis.

"Lo baru ya kerja disini?" tanya Alva.

Lara mengangguk, "Iya baru satu minggu."

"Pantesan gua baru liat."

"Kamu suka kesini, ya?" tanya Lara.

Alva mengangguk setelah meneguk segelas vodka ditangannya, "Iya, langganan gua nih."

"Si bos mau nyewa kamar gak nih?" tanya Tian menatap Alva.

Alva tak merespon ia terus meneguk vodka hingga matanya memburam. "Gila enak banget," racau Alva.

Lara menggaruk tengkuknya bingung harus melakukan apa, sedangkan teman-teman Alva hanya tertawa. Bukan menertawakan Lara, tapi menertawakan racauan tak jelas dari mulu Alva.

"Aduh aku harus apa nih? Bingung banget,"

"Palingan abis ini lo ketempelan," celetuk Tian.

Hap!

"Ehh-" Lara menahan tubuh Alva agar tak jatuh, pemuda itu mencium wangi rambutnya seraya mengeratkan pelukan.

"Ahh wangi sampo bayi."

"Tabok aja kalo dia lancang." ucap Raldo kala melihat wajah cemas Lara.

Plak!

"Lah beneran di tabok," Tian mengerjab lalu menarik Alva menjauh dari Lara.

Astaga, Lara ikut panik! Sebelum kelakuannya diketahui oleh sang atasan, ia memilih meminta maaf.

"Maaf refleks," sesal Lara.

Raldo menepuk pelan pipi Alva, "Sadar anjing, etdah ngerepotin lo." kesal Raldo.

"Gua gak mabuk bangsat!" jawab Alva memejamkan matanya sejenak lalu kembali membukanya. Ia menatap wanita didepannya tajam membuat Lara meneguk ludah kasar.

"Maaf, Alva, aku gak sengaja."

Alva beranjak memegang kepala yang sedikit pusing, tangannya terangkat mengapit kedua pipi Lara lalu mengecup singkat bibir merah itu. "Id line lo apa?"

"Buset apaan ini?!" kesal Tian.

"Berisik,"

Lara mengerjab tak paham, cubitan pelan dipipinya membuat ia tersadar, "Oh line, ya? Aku gak main line."

"Yaudah, Instagram aja."

"Boleh."

Alva menyerahkan ponselnya kepada Lara, wanita itu mulai mengetik tiap huruf guna mencari akunnya.

"Ini akunku,"

Alva mengangguk, "Nanti followback."

"Oke," jawab Lara, "Maaf ya soal tadi."

Alva tertawa kecil, "Gak apa, gua maafin. Tapi lo harus tanggung jawab,"

"Tanggung jawab gimana?" tanya Lara bingung.

Alva menoleh kearah temannya, "Sewain gua kamar, gua mau sama Lara dulu."

Mata Lara membulat, "Aku gak mau," lirih Lara pelan namun masih mampu didengar oleh Alva.

Alva mengelus pucuk kepala Lara, "Gua gak bakal apa-apain lo, tenang aja."

"Udah gua pesen, di kamar 104." ucap Tian, "Lo berani bayar berapa? Benefit buat Lara 60% sisanya buat club," lanjut Tian.

"Lima puluh juta."

"Buset, sekalinya nyewa engga main-main." celetuk Raldo.

Lara tersentak saat tangan Alva mulai membawanya memasuki lorong. Disudut sana matanya tak sengaja bertemu dengan Syera, wanita itu tersenyum manis kearahnya seolah mengatakan 'semangat, Lara!'

Palembang, 04 Agustus 2024.
-Salam manis, Liza.

TOXICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang