Bijaklah dalam memilih bacaan.
Happy reading, darl!
☆☆☆☆
Satu hal yang paling Alva benci yaitu tangisan dari wanita yang ia cintai. Pertama Amber—sang mama kedua Lara—wanita yang telah mengisi hatinya sejak satu bulan lalu.
Tepukan pelan terus Alva layangkan, kata-kata penenang sudah sering ia lontarkan. Namun sepertinya itu semua tak mempan, Lara semakin menangis histeris membuat Alva kewalahan.
Jujur saja ia sangat kaku urusan perempuan, karna sejak kecil hingga sekarang tak pernah menjalin hubungan. Terlalu sibuk mengejar nilai sampai tak ada waktu menjalani hubungan yang menurutnya hanya membuang waktu.
"Ara, don't cry." Alva meraih tissue memberikan pada Lara, tangannya bergerak mengelus pucuk kepala wanita itu lalu berujar, "Gak usah sedih," ucapnya.
"Apa mau langsung balik lagi ke Bandung buat nemuin bokap lo?"
Lara menggeleng seraya mengusap air matanya, "Belum siap." jawab Lara. "Ayo kulineran!" seru Lara beranjak dari kasur.
Alva mengerjab menatap heran kearah Lara, kenapa mood wanita itu gampang sekali berubah? Tak ingin kembali membuat Lara menangis, Alva turut beranjak. "Bentar gua siap-siap dulu."
"Oke!"
☠️ T O X I C ☠️
Yang tadinya berniat untuk ke Malang lima hari pupus sudah, karna nyatanya baru sehari Lara sudah mengajak Alva kembali ke Bandung. Ia ingin segera menemui Andra—papanya. Untuk kali ini biarkan dia berharap agar masih ada keluarganya yang menerima baik setelah apa yang terjadi.
Ucapan maaf terus Lara tuturkan karna membuat Alva harus kembali menyetir selama sepuluh jam, ia berjanji ketika sampai nanti akan memijit Alva sebagai imbalan.
Jam lima subuh mereka sudah tiba di Bandung, sepanjang jalan tadi Lara terus berceloteh mengajak Alva berbincang agar pemuda itu tak mengantuk. Dan syukurlah, mereka tiba dengan selamat.
Jantung Lara berdegup kencang saat memasuki perkarangan rumah Alva, ia takut jika pandangan kedua orangtua Alva membuatnya kembali merasakan sakit hati. Tapi, mendengar kata penyemangat dari Alva, Lara mencoba menenangkan diri.
"Tenang, orang rumah gua belum bangun kok."
Lara melirik Alva, "Beneran kan?"
"Beneran kok, lagian masih pagi juga, ngapain mereka udah bangun?" Alva bertanya balik.
"Yaudah aku perc—" Lara menjeda ucapannya, mata mengerjab lalu menarik sudut bibir hingga membentuk senyum tipis, "Om tante," sapa Lara menatap pasangan paruh baya yang terlihat awet muda itu.
Alva menoleh, "Lho mama sama papa udah bangun?"
"Papa kira ada maling lho, makanya kita bangun." ucap seseorang yang wajahnya sama persis seperti Alva, bisa Lara tebak itu papa pemuda disampingnya.
"Ayo masuk, gak enak udaranya dingin." Amber menarik tangan Lara masuk membuat jantung Lara semakin berdegup kencang.
Sesampainya diruang keluarga, Lara dipersilahkan duduk. Amber mendudukkan tubuhnya disamping Nando—sang suami seraya menatap Lara, sedangan Alva masih berdiri melihat malas kelakuan kedua orangtuanya.
"Jangan liatin Ara gitu," celetuk Alva, "Aku mau keatas dulu. Kalo sampe Ara nangis gegara kalian, papa sama mama angkat kaki dari rumah."
"Kurang ajar kamu ya!" seru Amber menatap anak semata wayangnya. "Gak usah dikasih uang jajan lagi, pah."
Nando mengangguk, "Iya, ma. Mentang-mentang sekarang ada pacar, sampe orangtua sendiri diusir."
Lara menggaruk tengkuknya, suasana semakin akward. Ia bingung harus merespon seperti apa. Terlebih Alva dan kedua orangtuanya tampak saling memancarkan aura permusuhan.
Alva mendekat kearah Amber lalu memeluk tubuh mama nya sejenak, "Becanda ya mama, aku ke atas dulu." Alva langsung melangkahkan kaki menuju lantai atas setelah melirik Nando yang tengah mengacungkan jari tengah kearahnya.
Lara memilin bajunya, "Maaf om, tante, udah ganggu waktu kalian." sesal Lara.
"Lho kok minta maaf? Kamu gak salah." ucap Amber mendekat kearah Lara, "Nama kamu Ara, ya?"
"Lara, tante."
"Sudah lama dekat dengan Alva?" tanya Nando.
Lara menggeleng, "Belum lama, om."
"Kamu kerja di club Kepin, kan?"
"Iya, tante, aku kerja disana." jawab Lara pelan.
Amber mengelus kepala Lara, seumur hidup Lara tak pernah merasakan elusan hangat dari seorang ibu seperti ini. "Kamu keliatannya masih muda, umur berapa?"
"Aku masih tujuh belas tahun, tante."
Nando beranjak setelah mendobrak meja, "Yang benar aja?! Kamu masih kecil udah kerja di club malam?"
Amber melirik suaminya tajam, "Mau ngancurin meja, heh? Dikira belinya pake daun?"
Nando berdehem pelan merapihkan kembali taplak meja yang jatuh karna ulahnya, "Bukan gitu, ma."
"Mau marahin Lara?"
Nando menggeleng, "Bukan, aku marah sama Kepin, bisa-bisanya dia memperkerjakan anak dibawah umur."
"Kamu sekolah dimana?" tanya Amber.
Lara memilin bajunya, baru saja ingin menjawab Alva tiba-tiba saja datang, pemuda itu menarik tangan Lara menjauh dari kedua orangtuanya, "Jangan nanya-nanya dulu, Lara capek mau istirahat." Alva membawa Lara ke lantai atas tepat kearah kamarnya.
Lara sungguh tak enak pada kedua orangtua Alva, namun untuk tetap berada disana ia takut. Takut pertanyaan yang keluar dari mulut dua orang itu semakin membuatnya teringat kenangan buruk dimasa lalu.
Amber menatap kepergian Alva dan Lara dengan tatapan yang sulit diartikan. Nando yang menyadari itu mulai mengelus pundak istrinya pelan.
"Engga harus setara, sayang. Kalo anak kita sukanya Lara kita bisa apa? Kita sebagai orangtua cuma bisa dukung mana yang baik."
"Aku jadi keinget kita dulu." cicit Amber, "Kita gak direstuin orangtua kamu karna kita gak setara."
"Kita jangan jadi orangtua seperti itu, ya? Alva pantas bahagia dengan pilihannya."
Palembang, 08 Agustus 2024.
-Salam manis, Liza.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOXIC
Teen FictionLara lelah menghadapi sikap tempramen Agas, namun tak bisa melepaskannya. Pemuda itu tak pernah membiarkannya pergi bahkan sejengkal pun. Makian, tamparan bahkan ancaman sudah terlalu sering ia dengar. Memilih mengakhiri semuanya karna terlalu lelah...