0.32- Toxic relationship

3.2K 70 24
                                    

Bijaklah dalam memilih bacaan.

⚠️Tandai jika ada typo⚠️

Happy reading, darl!

☆☆☆☆

Tepat pukul delapan malam mereka tiba di Malang, Alva dan Lara memilih untuk menyewa hotel saja. Tubuh terasa sakit, perjalanan kurang lebih sebelas jam karna keseringan berhenti. Entah mampir untuk makan, buang air kecil atau sekedar istirahat.

Lara membaca alamat rumah Adisa, sudah lama ia tak pergi kesini, ia harap Adisa mau memaafkannya. Besok ia akan menemui mama-nya untuk segera meminta maaf.

"Al, lo capek gak?" tanya Lara basa-basi, ia tau Alva sangat kelelahan.

Alva menggeleng, "Engga kok." jawab Alva tak ingin membuat Lara khawatir.

"Boong ya lo?" sindir Lara, "Gua gak suka ya dibohongin."

"Iya, capek, La." ucap Alva pelan. 

Lara beranjak memegang kedua pundak Alva, "Gua pijitin, lo makan aja."

Alva mengangguk menikmati pijitan tangan Lara sesekali menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Walaupun tangan Lara kecil, tak bisa dipungkiri bahwa wanita itu pandai sekali dalam memijit.

"Oh iya gua masih penasaran deh, Al," ucap Lara. "Orangtua lo beneran tau? Lo gak ngibulin mereka kan?"

Alva menggeleng, "Engga, Lara. Mereka tau kok gua mau nemenin lo ketemu mama lo."

"Mereka tau sama gua?" tanya Lara kebingungan.

"Tau kok, gua pernah cerita."

"Lo cerita kayak gimana?" Lara kembali bertanya, "Engga aneh-aneh kan?"

Alva menggeleng, "Gua cuma cerita kalo lo kerja di club Kepin,"

"Lo sama pak Kepin ada ikatan saudara?"

Alva kembali menggeleng gemas mengacak rambut Lara, "Lo banyak nanya." kekehnya pelan, "Gua sama Kepin sepupuan."

Bola mata Lara membulat, "Serius?! Terus pak Kepin gak aduin ke orangtua lo kalo anaknya hobby keluar masuk club?"

"Orangtua gua tau, mereka marah apalagi Kepin kasih tau tentang gua yang hobby sewa cewek. Mama langsung ngambek gak mau interaksi sama gua semingguan, tapi sekarang udah aman kok, gua udah ceritain semua kalo gua cuma mau nikmatin masa muda."

"Cara lo nikmatin masa muda aneh bener."

"Karna menurut gua, alkohol dan dunia malam itu gak ada tandingannya. Gak ada salahnya nikmatin masa muda dengan cara gini."

"Lo udah sering sewa cewek?" tanya Lara.

Alva menggeleng, "Sebelum kenal lo, gua cuma berani mabuk, gak sampe sewa orang."

"Terus kenapa waktu itu lo mau sama gua?"

"Karna mau aja."

Lara berdecak tak puas dengan jawaban Alva, ia melepaskan pijitannya lalu merebahkan diri dikasur. Mata melirik jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Lara lantas memejamkan mata untuk mengistirahatkan diri.

Alva memilih beranjak membawa piring kotor ke dapur untuk di cuci, setelah itu kembali ke kamar dan turut mengistirahatkan tubuh disamping Lara.

☠️ T O X I C ☠️

Lara telah siap, ia segera memesan taksi dan berpamitan pada Alva. Ia sengaja tak mengajak Alva menemui Adisa, karna itu akan membuat urusannya semakin panjang.

Sesampainya dirumah sederhana namun megah ia segera memanggil satpam untuk membukakan pintu gerbang, "Pak bukain dong."

"Lho non Ara ya?" tanya satpam itu, "Udah lama ya non gak kesini, terakhir pas sd kalo gak salah."

Lara tersenyum tipis, "Iya, pak. Mama ada kan?"

"Ada non, masuk aja, nyonya didalam."

Lara mengangguk, ia melangkahkan kaki memasuki rumah, menatap interior rumah yang sudah banyak berubah. Mata Lara tak sengaja bertemu dengan mata seorang pemuda yang mungkin usianya jauh dibawah Lara.

Pemuda itu mendekat dengan angkuh, "Lo siapa masuk-masuk rumah orang?"

"Lo yang siapa?" tanya Lara, "Kenapa lo dirumah mama gua?"

Pemuda itu tertawa sarkas, "Lo pasti Lara yang murahan itu, ya?"

"Jaga mulut lo, gak ada sopan santunnya sama yang lebih tua!" sentak Lara tak mau kalah.

"Suka-suka gua dong, lo yang gak ada sopan santun masuk rumah orang sembarangan. Inget lo bukan anak mama lagi, mama udah mutusin hubungan kalian!"

"Lho ada apa ini, Ren?" tanya Adisa yang baru saja turun menghampiri Daren, matanya bertemu dengan mata Lara lalu memalingkan wajah. "Siapa yang ngijinin anak gak tau diri ini masuk, Ren?"

Daren—bocah yang tadi beradu mulut dengan Lara mengangkat bahu acuh, "Gak tau, gak jelas banget tiba-tiba masuk."

Adisa menatap Lara, "Kamu lupa saya sudah memutus hubungan kita? Kamu bukan anak saya lagi, dan jangan ganggu kebahagiaan saya."

"Ma, maksud mama apa?" tanya Lara, ia beralih menatap Daren menunjuk wajah pemuda itu, "Dan dia siapa, ma?"

"Dia anak saya."

Sungguh, tak pernah ada dipikiran Lara bahwa Adisa akan mengucap kata seperti itu. Kakinya melemas, "Ma, ini becanda kan? Anak mama cuma aku, aku tau mama kecewa sama aku, tapi jangan gini." Lara memecahkan tangisnya.

Adisa menjauh mencari secarik kertas menuliskan sebuah alamat diatasnya lalu kembali menghampiri Lara, "Saya bukan mama kamu lagi, ini terakhir kali kamu menemui saya. Ini alamat papa kamu, sekarang temui saja dia."

"Pergi dari sini sebelum suami saya turun, saya tidak mau ada kesalahpahaman. Kamu tau pintu keluar kan?"

Terlalu banyak hal yang membuat Lara sakit akhir-akhir ini, rasanya ia tak sanggup melangkah lagi. Tangannya meraih kertas itu kemudian berlari pergi keluar rumah dengan air mata yang terus menetes. Tak memperdulikan pertanyaan dari beberapa pekerja rumah yang khawatir padanya.

Palembang, 08 Agustus 2024.
-Salam manis, Liza.

TOXICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang