0.16 - Toxic relationship

5.1K 125 0
                                    

Bijaklah dalam memilih bacaan.

Happy reading, darl!

☆☆☆☆

Tatapan sengit Lara layangan, nafasnya memburu lalu menatap pemuda didepannya angkuh.

"Ngapain lo disini?" tanyanya tak santai.

Nada bicara tersebut terdengar menusuk ditelinga Raven. Bahkan wanita yang selalu menggunakan kosakata aku-kamu kini berganti.

"Gua bisa balik sendiri." lanjut Lara seraya turun dari hospital bed.

"Gua anter, La."

"Gak perlu repot-repot."

Raven mengekor menghiraukan ucapan Lara yang terus menyuruhnya pergi. Setelah wanita itu selesai mengambil obat, ia kembali mendekat.

"Ayo gua anter, gua bawa mobil." ucapnya.

"Gua gak mau." jawab Lara, "Bilangin juga sama temen lo itu, gak usah sok peduli sama gua, udah telat rasa pedulinya." ucap Lara kemudian melangkahkan kaki memasuki taksi yang tadi ia pesan.

Raven menghela nafas menatap mobil tersebut yang kian menjauh, tak lama Agas mendekat dengan perasaan gusar. Terdengar suara nafas berat yang keluar dari mulut pemuda itu.

"Gua beneran nyesel bang."

Raven menepuk pundak Agas, "Perbaiki, Gas, jangan sakitin dia lagi."

"Emang bisa diperbaiki? Kan udah hancur."

☠️ T O X I C ☠️

Sudah dua bulan sejak menyebarnya video dan photo milik Lara, akhirnya kabar tersebut sampai juga pada telinga Adisa.

Plak!

"Malu-maluin!" serunya, "Pergi kamu dari rumah! Saya sudah tidak sudi anggap kamu anak!"

Lara yang baru saja pulang langsung dihadiahi tamparan lantas terkejut. Ia memegang pipinya hingga plastik obatnya terjatuh.

"Mama, aku bisa jelasin." jawab Lara.

"Gak usah, saya tidak mau dengar penjelasan dari kamu! Sekarang kamu pergi!" bentak Adisa.

Lara tak ada tenaga untuk melawan, ia hanya menunduk seraya menahan isak tangisnya. "Aku ke kamar dulu."

"Setelah selesai kemasin baju, kamu pergi!"

"Iya." jawab Lara terdengar lirih.

Lara menunduk meraih obatnya yang tadi terjatuh lalu berjalan lunglai menuju kamar. Ia mendudukkan tubuhnya di kasur mengedarkan pandangan menatap seisi kamar.

Tak ingin berlama-lama, Lara menarik sebuah koper, memasukkan celengan juga barang-barang seperlunya kemudian meraih ponsel. Setelah itu ia berjalan keluar kamar.

Kartu atm mendarat dibawah kaki Lara, kening wanita itu menyernyit hingga tak lama kalimat menusuk dari mulut Adisa kembali terdengar.

"Isinya ada lima juta, kalo habis gak usah minta ke saya. Mulai sekarang kamu bukan anak saya!" ujar Adisa, setelah mengatakan itu ia melenggang pergi menuju kamarnya.

Lara terduduk lemas, ia sekarang tak mempunyai keluarga lagi. Tak ingin berlama-lama bergegas ia memasukkan kartu atm tersebut kedalam saku bajunya dan menyeret koper keluar rumah.

"Gua harus kemana?" lirih Lara. Ia tak sengaja menatap banyak orang tengah membeli sayur, entah mengapa pandangan orang-orang disitu melirik tajam kearahnya.

"Kalo itu anak saya, ya saya gak bakal mau ngakuin lagi!" seru salah satu ibu-ibu dengan sangat keras.

"Malu-maluin keluarga aja, ya, bu? Padahal kemarin kabarnya coba bunuh diri juga."

"Gak mati-mati, harusnya yang kayak gini dimusnahin."

Lara mengangkat kepalanya agar air matanya tidak terjatuh, setelah itu ia bergegas menyeret kopernya menuju halte bus didepan gang.

Pikirannya berkecambuk memikirkan darimana Adisa mengetahui hal itu, bukankah semua photo dan videonya sudah hilang semua? Lantas mengapa bisa?

Naura: Ra, photo sama video lo viral lagi disekolah, gua gak tau siapa yang nyebarin.

Naura: Tadi gua sama Asha dipanggil ke bk selaku temen lo, ada dua pilihan, lo nikah atau mundurin diri dari sekolah.

Demi Tuhan, Lara bingung harus bagaimana lagi. Ia segera membalas pesan dari Naura lalu mengberhentikan taksi yang baru saja lewat.

Lara: Gua diusir mama, Nau.

Naura: Lo sekarang dimana La?! Kita kesana sekarang.

Lara: Gak usah, Nau, gua gatau mau kemana, gua pasrahin diri ke Tuhan aja.

Lara mematikan ponselnya lalu menatap jalanan, ia tersentak saat supir taksi tersebut mengagetkannya.

"Aduh neng mikirin apasih sampe saya ngomong dari tadi gak dijawab." decak supir tersebut.

"Eh maaf pak, nanya apa ya tadi?" sesal Lara.

"Ini si neng nya mau stop dimana?"

Lara menghela nafas, "Apartemen—" ucapnya menyebutkan nama apartemen yang sempat ditempati Agas.

"Oke, neng!"

Tak lama mereka akhirnya tiba disebuah gedung apartemen yang menjulang tinggi. Lara melangkahkan kakinya memasuki lift tanpa menuju ke resepsionis, dan segera memencet lantai tiga. Lantai kamar milik Agas.

Sesampainya di kamar nomer 98 Lara segera menekan kode sandi lalu masuk kedalam unit tersebut. Beruntungnya Agas tak mengganti sandi unit apartemen itu.

Setelah sekian lama akhirnya Lara kembali kesini. Unit apartemen ini menjadi saksi betapa panasnya kegiatan yang mereka lakukan beberapa bulan silam.

Palembang, 10 Juli 2024.
Salam manis, Liza.

TOXICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang