Tak ada yang salah dari larangan orang tua. Mungkin, itu salah satu cara mereka untuk menyayangi anaknya. Tetap terima, dan jalani suka rela. Selagi itu baik dan tak melanggar aturan Sang Pencipta.
***
Assya menyibakan selimut yang menutupi badannya. Sinar mentari menembus melalui jendela kamarnya yang telah terbuka. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang bunda.
"Assya bangun, anak gadis jam segini belum bangun. Mau jadi apa nanti? Enggak ada yang mau nikah sama perempuan males. Keburu kabur duluan para laki-laki," ujar Zahra sembari membereskan buku-buku tebal milik anak gadisnya yang berserakan di meja.
"Habis salat subuh masa langsung tidur," lanjutnya mencibir.
"Hmm, Bunda ganggu, ih. Lima menit lagi Assya bangun. Baru jam enam pagi juga. Dingin banget, Bun. Terus soal cowok, Assya masih sekolah kalau Bunda lupa, ya kali nikah. Nikmati masa-masa sendiri dulu boleh kali, Bun," jawab Assya dengan suara khas bangun tidur.
"Terus, tadi Assya nggak langsung tidur. Jam setengah enam baru tidur lagi tadi, sembarangan."
"Jawab mulu ih, kalau Bunda ngomong. Setidaknya kamu udah siap, Assya. Bunda kan-"
"Iya, Bunda, iya. Assya mau mandi dulu. Mau belajar jadi istri yang baik seperti yang Ibunda Kanjeng Ratu ucapkan." Belum sempat Zahra melanjutkan kalimatnya, sang anak langsung memotong pembicaraannya dan beranjak menuju kamar mandi.
"Bunda, jangan lupa siapin baju!" teriak Assya yang berada dalam kamar mandi, kepalanya menyundul, hanya kepala. Disertai cengiran. Bunda hanya terkekeh. Ia lupa, bagaimana bisa ia berbicara tentang tugas perempuan dewasa, jika anaknya saja masih bersikap seperti anak kecil?
"Iya, udah sana mandi." Tanpa ba-bi-bu, Assya langsung kembali menutup pintu kamar mandi.
***
"Baru bangun lo, Kak?" sapa sang adik yang tengah bermain handphone di meja makan.
"Enak aja! Lo tuh pasti, gue mah enggak, ya," balas Assya tak kalah sewot. Assya baru menginjakkan kaki di dapur, dan sudah mendapat sapaan tak hangat dari adik laki-lakinya itu. Untung adik.
"Enggak boleh lo-gue, enggak sopan. Adek, kakak, minta maaf sekarang!" peringat Aziz yang baru datang dengan gelas kosong di tangannya.
"Maafin Rizal ya, Kak," ucap Afrizal meletakkan handphone miliknya lalu berjalan mendekati kakaknya, kemudian memeluknya.
"Iya, maafin kakak juga." Assya membalas pelukan sang adik. Tingginya yang hampir sama, bahkan lebih tinggi Rizal beberapa senti, membuatnya bingung mau membalas pelukan seperti apa. Assya yang hanya 155 cm, dan Afrizal yang 160 cm.
"Gitu dong, kan enak diliat." Diam-diam Bunda melihat dari tempatnya berdiri. Berbicara dengan suaminya melalui tatapan.
"Abisnya kakak cantik banget, walaupun cuma pake celana pendek sama kaos kegedean, kan adek enggak suka kakak cantik-cantik," ucap Afrizal masih pada posisi memeluk kakak satu-satunya. Seperti itulah Assya apabila di rumah.
"Astagfirullah, Ayah? Pinjem sarungnya sini, mau Assya pake," ujar Assya dengan mimik terkejutnya.
Aziz dan Zahra tertawa mengetahui alasan anak bungsunya. Alasan yang sama sejak tahun-tahun sebelumnya.
"Ya kan kakak cantik dari lahir, dek. Gimana dong ya?" lanjut Assya melepas pelukan adiknya.
"Pede." Afrizal melepaskan pelukannya seketika, melengos lalu menghampiri sang bunda.
Assya masih dalam mode ketawa, turut menghampiri ayahnya yang sudah duduk di kursi meja makan. "Ayah tau enggak?"
"Enggak, lah, orang kakak belum bilang." Bukan Aziz yang menjawab, melainkan Afrizal yang sedang membalikkan telur di penggorengan.
"Kakak nggak bicara sama kamu, ya!"
"Nyenyenye." Baru saja akan melempari adiknya dengan buah apel yang berada di meja, Aziz menghentikan gerakan tangannya.
"Mau ngomong apa, Kak?" tanya Aziz menatap putrinya yang kini sudah tumbuh dewasa. Assya menghembuskan napasnya kasar, meletakkan apel tersebut ke tempat semula. "Kakak ikut Olimpiade Matematika, sama Dika," ucapnya kemudian.
"Bagus dong, yang semangat belajarnya." Bukan Aziz lagi yang menjawab, melainkan ibunya. "Tapi kan, Bun. Lombanya mepet waktu banget, minggu depannya lagi, minggu depan, intinya itu, hari senin. Tingkat nasional, kali ini di Bogor." Aziz terkejut mengetahui hal itu, namun seperti biasa, ia tetap menetralkan mimik wajahnya. Aziz lebih bisa mengekspresikan diri jika hanya bersama keluarga kecilnya, jika itu sudah menyangkut keluarganya ia bisa berubah.
"Nginep?"
"Nggak sih."
"Ada guru yang ikut kan?"
"Ada, tiga kalau enggak salah"
"Ada Dika kan?"
"Ada, lah, Ayah. Kan Dika partner Assya nanti."
"Ya udah, terus apa yang dipermasalahkan?" lanjut Aziz dengan santai. Kali ini Assya yang terkejut, pasalnya jarang sekali Ayahnya langsung memberikan izin untuk ke luar provinsi tanpa sesi wawancara yang panjang. "Ay-Ayah ngebolehin?"
"Kaya tahun lalu enggak aja, sih, Kak? Tahun lalu siapa yang bujuk Ayahnya buat izinin ikut di luar provinsi?" Assya menampilkan deretan giginya, ia jadi ingat kejadian tahun lalu saat ia membujuk sang ayah untuk memberinya izin, sampai hal kecil Assya lakukan, membuatkan ayahnya kopi, misalnya.
"Ayah sama Bunda tau kamu udah besar, kita hanya bisa mengikuti keinginan yang diinginkan anaknya selagi itu baik. Kita cuma bisa ngikutin, nyaranin, kasih pengertian yang baik, supaya kalian enggak terjerumus ke hal yang aneh-aneh, Kak, Dek," jawab Aziz menatap kedua anaknya.
"Kalian pasti paham maksud Ayah sama Bunda. Kalian harus paham mana yang baik dan enggak. Kalian harus bisa bedain mana yang cocok untuk diri kalian, mana yang enggak. Kalian paham kata-kata Ayah?" tanya Aziz menyunggingkan senyum pada Assya dan Afrizal, juga istrinya.
"Paham, Ayah," balas Assya dan Afrizal bersamaan. "Asik, jadi boleh dong, Afrizal ikut kakak holiday bareng Kak Dika minggu depan. Ya? Boleh, Yah?" lanjut Afrizal sembari berlari menuju ayahnya.
"Lho? Kapan? Ke mana? Emang punya SIM? Mau numpang siapa?" ledek Aziz menaik turunkan alisnya.
"Nah lho, emang punya?" ucap Assya ikut meledek.
"Ke mana, Kak?" tanya sang Bunda dengan meletakkan beberapa masakan yang sudah jadi di meja makan.
"Ke-"
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi Ayah, Bunda, Assya, Afrizal." Sapaan seseorang dari balik pintu dapur yang menghubungkan dengan taman belakang rumah.
"Nah ini anaknya, mau ke mana ngajak Assya minggu depan?" tanya Aziz memicingkan matanya.
Dika yang baru datang nge-lag sebentar, kemudian di otaknya langsung terdapat sebuah lampu penerangan. "Ohhh, itu. Niatnya mau ke pantai Kebumen aja sih, Yah. Enggak usah jauh-jauh kata Papa," jawab Dika sembari menarik kursi.
"Afrizal ikut dong, lama enggak holiday nih, boleh ya? Ya, Yah?" bujuk Afrizal lagi.
Lalu Zahra datang lagi dengan membawa piring, sembari terkekeh kecil. "Kamu ngapain ke sini?"
"Numpang makan dong, Bunda. Mau ngapain lagi coba? Bunda aslinya Dika berangkat pagi banget tadi, ada pasien katanya. Jadi, Papa ngikut," jelas Dika menerima uluran piring dari Zahra.
"Emang ada Bunda asli dan Bunda palsu?" tanya Afrizal sinis, ia masih menunggu jawaban dari sang ayah.
"Ada dong, ganteng. Tapi masih gantengan saya."
***
Enggak kerasa udah day 5 aja huhuhu
Semangat yukBisa yuk bisa, bisa gila, hehehe

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...