SHAKA • 36

8 0 0
                                    

Kalo kata orang, kamu enggak perlu mengetahui sesuatu yang menjadi penyakit untukmu. Justru dengan kamu mengetahui semuanya lebih awal, itu akan sedikit mengobati sakitmu.

***

Saat kupantaskan hati kepada seseorang, jauh sudah semua yang kupunya. Hatiku, perasaanku, waktuku, pikiranku, dan jiwa ragaku.

Ingin rasanya memiliki sebuah rumah, yang memang benar-benar rumah. Bukan sekadar bangunan, tapi sebuah tempat untuk kita berpulang dan berkeluh kesah.

Sedari dulu aku bermimpi ingin memiliki kekasih yang mampu mengertiku dengan baik. Menerima baik dan buruk yang ada dalam diriku. Semuanya berawal dari Ayah dan Bunda.

Mereka tampak harmonis bukan berarti tak pernah bertengkar. Tapi, mereka punya cara sendiri untuk menyelesaikan. Bunda orangnya butuh validasi, sedangkan Ayah tipikal orang yang cuek. Dan karena perbedaan itu, Ayah Bunda berusaha untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain.

Mereka berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, sama-sama bisa bersikap dewasa, hal itu yang membuatku ingin seperti mereka. Kembali ke awal mula. Saat ini aku sedang menunggui seseorang. Beberapa menit yang lalu kita berencana untuk bertemu di tempat ini. Cafe favorit kami.

Kuangkat sebelah tanganku setelah atensiku melihat kehadirannya. Perempuan berambut pendek itu menghampiriku.

“Sorry gue telat,” ujar perempuan di depanku yang tampak sedang mengatur napasnya yang tersenggal-senggal.

Aku tersenyum memakluminya. “Iya enggak papa, santai aja kok, kaya sama siapa,” gurauku.

“Sya? Gue enggak mau basa-basi ya.” Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Gue mau bilang sesuatu, tapi lo janji jangan marah,” ujar Alhena, aku mengernyitkan alisku. Ada apa?

“Iya boleh, kenapa emang? Insyaallah enggak marah kok, hayu mau ngomong apa.” Aku masih menampilkan sikap tenang, meskipun dalam hatiku merasa sedikit takut, bertanya-tanya ada apakah? Apa yang perlu diperbicarakan.

“Sebelumnya gue ucapin makasih karena udah cabut tuntutan Abang gue, Sya. Yang jadi pelaku tabrak lari itu emang bukan Bang Shaka, tapi, Papi gue, Sya.”

Oke, tunggu. Apa barusan? Bukan Shaka melainkan ayahnya? Bagaimana bisa? Kalian berniat bermain-main denganku? Kenapa aku merasa dibohongi dan dipermainkan seperti ini?

Setelah aku berusaha memaafkan Shaka, berbaikan dengannya, menerimanya kembali karena aku merasa dirinya tak pantas untuk disalahkan, lalu seperti ini kenyataannya?

“Enggak usah bilang kaya gitu, ksmu berniat bohongin aku?” tanyaku dengan nada yang terdengar sedikit kesal. Bagaimana tidak? Lari dari kenyataan ini, lalu datang ke kenyataan itu. Begitu saja terus.

“Gue serius, Sya. Jadi gini, gue ceritain yang sebenarnya.”

Flashback on

Seorang perempuan tengah mencari sesuatu di balik laci yang berisikan banyak sekali berkas-berkas yang bertumpukan. Hingga sesuatu yang dirinya cari, hadir di hadapannya.

‘Surat Kepemilikan Mobil'

Dirinya membuka-buka berkas tersebut, hal yang mengejutkan baginya. Kepemilikan mobil yang tengah menjadi pencarian sahabatnya. Mobil yang tengah sahabatnya itu cari selama ini. Dan ternyata, mobil tersebut atas nama Papinya.

Matanya masih membulat. Membaca kata demi kata yang tersusun di setiap lembarnya. Di kertas tersebut juga dipaparkan jenis mobil, warna, tahun keluar, serta identitas pemilik.

Ini mobil Papi? Berarti... Loh, ada kemungkinan yang bawa mobil itu Papi sendiri. Soalnya di bulan Agustus, Abang kan enggak di rumah, masih karantina. Enggak mungkin juga Abang izin, terus bawa mobil Papi. Kalau pun iya, pasti Abang pulang ke rumah. Aneh, batin Alhena.

“Ah, bingung. Bodo deh, bawa aja.”

Alhena menutup pintu kamar orangtuanya rapat-rapat. Ia berjalan dengan mengendap-endap agar tak terdengar oleh siapa pun. Ia merasakan perutnya yang keroncongan, dengan segera ia mampir ke kamarnya untuk menyimpan benda tersebut, meletakkannya di tempat yang aman.

Mulai menuruni tangga menuju dapur. Terdengar saup-saup suara yang saling beradu dari arah dapur. Ia bersembunyi di balik tembok. Terdengar suara ayah dan ibunya.

“Mami Papi? Ngapain berantem di dapur,” ujar Alhena, ia masih berniat untuk bersembunyi, dikarenakan terdengar pembahasan mengenai sang kakak.

Tak mau gegabah. Ia mengambil ponselnya dan mulai merekam suara.

“Papi kenapa baru pulang? Shaka dipenjara, Pi! Kok Papi malah sante-sante aja, anak Papi lagi kesusahan malah Papi biarin gitu aja!”

“Hah? Enggak salah nih kamu nyalahin aku? Harusnya yang kamu salahin itu anak kamu sama perempuan yang nuntut kita! Dia juga, ngapain pake acara kembali menuntut, hah? Belum puas yang beberapa tahun lalu? Kok labil.”

“Pi, di saat kaya gini Papi masih nyalahin orang lain? Itu anak Papi, lho. Shaka anak kandung kamu! Bukan Cuma anak aku. Dia rela datang ke kantor polisi buat nyerahin diri. Demi siapa dia kaya gitu? Demi kamu, Pi! Sadar! Shaka nyerahin dirinya sendiri buat bela kamu, biar kamu enggak ditangkap dan dijadiin tersangka. Shaka rela bertanggung jawab atas perbuatan yang sebenarnya enggak dia lakuin. Buat siapa lagi aku tanya?! Buat kamu!”

“Terus kamu mau apa? Mau aku ngerasa bersalah terus bebasin dia dan nyerahin diri sendiri?”

“IYA! Itu kalo perlu. Kamu tuh ya, anak-anak selalu baik ke kamu. Kamu malah sebaliknya. Kamu Yang seharusnya ngelindungin mereka. Bukan malah mereka Yang ngelindungin kamu. Coba, kalo bukan karena kebaikan keluarga yang kamu tabrak, kamu udah bertahun-tahun di penjara! Kalo bukan karena Shaka yang nyerahin diri gantiin kamu, kamu udah di penjara buat kedua kalinya!”

“Sorry.”

“Enggak butuh, sekarang kamu bantu anak kamu. Lakuin apa aja kek, biar anakmu selamat, kalo perlu minta keluarga itu buat cabut tuntutannya. Jangan harap aku bisa diem aja. Aku bisa aja jeblosin kamu ke penjara. Jangan pulang ke rumah, sebelum bawa anak kamu itu. Inget, aku bukan istrimu yang menye-menye, kamu tau aku sekarang gimana. Jadi, jangan macem-macem.” Perempuan itu tampak pergi, meninggalkan laki-laki yang berstatus suaminya.

Flashback off

“Sya? Sorry soal ini. Gue kemarin nguping, dan itu buktinya.” Aku masih terpaku. Setelah mendengar rekaman suara dari sahabatku, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Runtuh sudah pertahananku. Aku hanya ingin pergi dari tempat ini dan menangis. Menangis sejadi-jadinya.

Tanpa berpamitan, aku langsung bergegas meninggalkan tempat. Dan juga meninggalkan Alhena yang tampak terkejut atas kepergianku.

Maafkan aku, aku tak kuasa menampungnya. Aku tak ingin menangis di depan siapa pun. Aku hanya ingin sendiri. Kenapa cobaannya harus seperti ini? Mengapa bukan orang lain? Mengapa harus aku yang menanggungnya? Aku juga punya batas kesabaran dalam menghadapi cobaan. Dan enggak semua hal, aku sanggup menjalaninya.

Aku bergegas pulang. Mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang sepi memudahkanku untuk terus melaju. Menikmati semilir angin yang masuk lewat telah jendela. Aku ingin pulang. Menangis di kamar seharian.

Kuabaikan sapaan orang rumah yang tampak terkejut menatap mataku. Tak ambil pusing, aku langsung menuju kamar. Meskipun aku sempat berkata, nanti, Assya mau sendiri. Hal yang selalu aku ucapkan ketika merasa butuh ketenangan sendiri. Aku perlu berdamai dengan diriku sendiri sebelum aku berdamai dengan orang lain. Aku perlu meyakinkan diriku sendiri sebelum aku yakin pada orang lain.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang