Sepertinya memang benar, untuk mengetahui sejauh mana perasaanmu, kamu perlu merasa kan kehilangan yang teramat.
***
“Ayo main game, mumpung jam kosong.”
Suara gaduh mengisi setiap penjuru ruangan. Seharusnya jam pembelajaran masih berlanjut, namun, guru-guru masih sibuk mengadakan rapat.
“Jam kosong mulu, heran,” ujar Assya menimpali, tak ayal ia membalikkan kursi menjadi berhadap-hadapan dengan temannya.
“Katanya, sih, rapat buat akreditasi sekolah. Beberapa bulan lagi sekolah mau ada reakreditasi, jadi persiapan jauh-jauh hari,” jelas Alhena. Ia mengetahui hal tersebut karena dirinya merupakan anggota OSIS. Dimana OSIS diminta untuk banyak membantu persiapan.
“Ooh gitu.” Assya dan Nesya membulatkan bibirnya.
“Btw, mau main game apa nih?”
“Sebenernya bukan game juga, sih. Kaya truth or dare gitu, tapi ini enggak pada tantangannya, sekilas aja hampir mirip,” ujar Nesya menjelaskan, kedua temannya, Assya dan Alhena, hanya mengangguk-anggukan kepala.
“Terus gimana sistemnya?”
“Jadi permainan ini, tuh, judulnya jika kita dikasih satu kesempatan siapa yang ingin kamu temui saat ini. Nah, nanti kita pakai spidol buat muter di tengah meja ini, buat nentuin siapa yang bakal cerita. Gimana? Paham?” Alhena mengernyitkan alisnya.
“Hm, siapa, ya? Boleh, deh.”
“Asik nih keknya, jadi ajang kita lebih mengenal satu sama lain, cukup kita bertiga aja ya yang tau,” ucap Assya menimpali.
“Oke, kita puter spidol, siapa ya yang pertama?”
“Gue mau muter.” Alhena mengambil alih spidol tersebut dan mulai memutarnya.
Hap!
Spidol berhenti mengarah pada Assya.
“Hayolo, ayo cerita.” Alhena nampak antusias, sama halnya dengan Nesya. Keduanya pun memasang posisi seakan mau mendengarkan dengan fokus.
“Lah, kok aku duluan, sih?” Assya mendumel, berpikir sejenak siapa yang ingin ia temui saat ini?
“Oh, tau!”
“Aku mau satu orang ada di sini, btw, maaf kalo ceritanya sedikit panjang, dan bikin bosen,” ujar Assya mewanti-wanti.
“Udah, enggak papa, buruan cerita. Kita udah nungguin.”
Assya menarik napasnya perlahan. Memulai bercerita.
“Jadi, siapa yang mau aku temui saat ini itu adalah, Nenek. Nenek dari ibu. Kenapa Nenek? Karena emang sedeket itu aku sama Nenekku. Nesya pasti paham kenapa aku deket sama Nenek, bukan perkara Nenek pilih kasih atau apa tapi, karena emang ada ikatan batin sekuat itu.” Assya memulai ceritanya dengan sekali tarikan napas. Alhena dan Nesya fokus mendengarkan. Sesekali mengangguk dan mengekspresikan mukanya.
“Nenek orangnya baik banget, penyayang, enggak peduli ke siapa aja, termasuk ke orang-orang yang jahat ke beliau, Nenek pasti balas dengan kebaikan. Kalo ada orang yang baik ke Nenek, Nenek bisa lebih baik ke orang itu. Tapi beda lagi kalo ada yang jahat ke keluarga atau orang terdekat Nenek yang dijahatin, Nenek cuma bisa senyum, balas kebaikan, bukan malah balas yang sama, dengan kejahatan bukan.”
“Kalo ada orang yang bilang biar apa sih baik ke orang yang udah jahat ke kita, Nenek cuma bisa jawab, enggak semua kejahatan dibalas kejahatan, enggak semua keburukan dibalas keburukan, tapi yang pasti, satu kebaikan dibalas seribu kebaikan. Kita enggak tau, dari kebaikan yang kita perbuat mana, yang bikin kita dibalas baik juga. Belum tentu juga kita dibalas kebaikan sama orang, bisa jadi dibalas kebaikannya sama Sang Pencipta.”
“Nenek itu tipe orang yang enggak neko-neko. Cukup jalani, syukuri dan nikmati. Sesimpel itu, tapi banyak yang anggap remeh Nenek.”
“Btw, Nenek udah meninggal. Nenek nyusul Kakek di surga. Bener mungkin kata orang, orang baik bakal cepet dipanggil. Kakek Nenek orang baik. Cerita cinta mereka tetep melekat, enggak bisa berpudar terkikis oleh jaman.”
“Kakek itu dulunya anggota TNI, sama kaya Ayah, Angkatan Darat. Beliau meninggal waktu lagi bertugas. Beberapa peluru menancap di jantungnya. Peluru itu menghunus tubuhnya karena waktu itu Kakek enggak pake pelindung badan, karena emang lagi di posko, lagi santai biasa. Tiba-tiba, ya, gitu.”
“Enggak berselang lama dari berita duka itu, Nenek sempet terpuruk tiga bulan lamanya. Nenek jadi sosok pendiem, sering ngalamun, jarang makan, diem terus di deket jendela kamarnya, ngurung diri. Sampe akhirnya Nenek kekurangan gizi saking enggak ada asupan energi yang masuk ke tubuhnya. Berat badannya juga turun drastis, Mama dan Bukde Pakde juga sampe bisa bopong Nenek.”
“Tiap sore pasti Mama sama Bukde gantian buat mandiin Nenek, bopong dari tempat tidur ke kamar mandi, dari kamar mandi ke tempat tidur.”
“Sampe akhirnya Nenek nyerah, beliau masih sempet pamitan ke kita-kita. Nes, masih inget enggak? Waktu kita semua disuruh kumpul, semua keluarga besar.” Nesya mengangguk membenarkan.
“Itu karena Nenek mau liat kita semua kumpul buat terakhir kalinya. Dan setelah keinginannya terwujud, Nenek enggak sadarkan diri sama sekali. Kita udah coba bangunin, karena masih berpikir positif, sampe akhirnya dipanggillah dokter ke rumah. Dan, ya, udah enggak ada nadi, pernapasan, ataupun tanda-tanda kehidupan lainnya.”
“Berasa disambar petir siang bolong, kita semua langsung nangis. Enggak percaya secepet itu kita ditinggal dua orang sekaligus. Tapi kita coba buat ikhlas. Dan ya, enggak segampang itu.”
“Semenjak meninggalnya Nenek, kita jadi jarang ke rumah utama. Rumah Kakek Nenek. Mungkin karena kesibukan masing-masing juga, sih.”
“Bagi aku, Nenek sosok perempuan yang kuat, minusnya, Nenek enggak pernah mau berbagi cerita ke anak cucunya, semua dipendam sendiri. Sampe akhirnya, yah, hehe. Udah cukup.” Assya mengakhiri ceritanya dengan menghembuskan napas.
“Sya, aku baru sadar. Betul semenjak kepergian Nenek, kita jadi jarang kumpul di rumah utama. Udah tiga tahunan ini kira-kira. Waktu kejadian itu, kita masih kelas sembilan SMP.”
“Iya betul.” Assya mengangguk.
“Kapan-kapan ayo adain acara lagi si rumah utama? Ya buat silaturahmi juga. Udah 3x lebaran tapi enggak paling ketemu, cuma lewat handphone. Kapan-kapan, yuk.” Nesya mengusap air mata yang menetes dari pelupuk matanya begitu saja.
Assya memegangi tangan Nesya menenangkan, Alhena pun berdiri untuk merangkul temannya itu.
“Iya boleh, kapan-kapan kita kumpul di rumah Kakek Nenek. Reuni juga enggak sih, hehe,” canda Assya.
“Udah, jangan nangis. Kakek Nenek udah tenang di surganya Allah. Kita cukup bantu doa, biar mereka tenang di sana."
“Iya, udah dong yang lalu-lalu. Sekarang senyum dong, Nes, Sya.” Alhena berusaha menghibur kedua temannya itu.
“Ih, siapa juga yang nangis, Nesya tuh,” ledek Assya.
“Nyesel deh main beginian, ganti yuk,” tutup Nesya masih berusaha membersihkan pipinya yang terdapat sisa air mata.
Beruntung kebanyakan dari temannya memilih untuk main di luar kelas, kantin misalnya.
“Enggak papa, sih, malah bagus juga. Kita jadi inget Kakek Nenek.”
“Nah bener tuh, udah, sekarang udah ah sedih-sedihnya, jelek tau, huuuu,” ejek Alhena.
“Sya, maafin kita-kita ya udah mikir yang aneh-aneh. Kakek Nenek baik ke semua cucunya, tapi kita aja yang maruk, merasa kurang dan kurang terus. Jadi malah nganggep kamu yang bikin enggak adil. Maaf ya, Sya.”
“Enggak papa, lupain yang lalu-lalu.”
HALLOW! I'M COMEBACK!
-rosseevanaa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...