Saat hatimu merasa telah, istirahatlah. Jangan memaksakan sesuatu yang sebenarnya tubuhmu lelah untuk melakukannya. Kamu bisa kembali memulainya, esok.
***
Dika
Kamu kenapa nangis terus, Sya?
Assya menghirup kembali ingusnya yang hampir keluar. Celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang yang bisa saja ada di kamarnya. Nihil, tidak ada orang.
Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada layar handphone-nya. Saat hendak membalas pesan tersebut, tiba-tiba ada lagi pesan yang masuk.
Dika
Jarak kamar kita deket, jadi aku bisa denger suara kamu nangis, gih buka lebar gordennya
Assya meringis mengetahuinya. Ia baru sadar kalau sedari tadi ia menangis tersedu-sedu, pasti tetangga kamarnya mendengar tangisannya.
Assya cemberut, tak urung langkahnya mendekati jendela dan membuka tirai. Yang awalnya hanya separuh, sekarang terbuka lebar. Dapat Assya lihat sosok di balik jendela.
“Kamu di dalem aja, mau telfonan?” tawar Dika tersenyum. Ia keluar dari kamarnya menuju balkon, sedang Assya masih berada di dalam kamarnya. Hanya terdapat kaca besar yang menghalang.
Kamar keduanya memang bersebelahan, dengan jarak beberapa meter. Keduanya pun mempunyai balkon kamar, ya sekiranya cukup lah untuk duduk dan bersantai menikmati udara luar. Mereka pun kompak memasang jendela kaca yang besar, bisa dibilang pintu, dimana hampir menyeluruh pada bagian dinding.
Dika mengisyaratkan agar perempuan itu tetap diam di posisinya, Assya yang hendak membuka pegangan pintu kaca pun mengurungkan niatnya sembari terkekeh kecil. Ia mengangguk mengiyakan ajakan sekaligus perintah dari Dika. Mengambil posisi untuk duduk di kursi kesukaanya. Kursi ayunan yang terbuat dari rotan, dilapisi bantal duduk yang membuatnya nyaman.
Dika is calling...
Panggilan pun tersambung, beberapa menit hening hingga Dika membuka suara.
“Assya kenapa?” tanya Dika pelan, ia pun sudah berada di posisi duduk pada kursi kayu yang tinggi.
“Kedengeran ya sampe kamar Dika?” tanya Assya balik. Assya mah begitu, ditanya malah tanya balik.
“Iya, kamu lupa kalo jaraknya enggak sampe sepuluh meter? Jelas denger, mana kamu nangisnya lumayan kenceng, lama pula. Bikin merinding awalnya,” jujur Dika sembari tertawa.
“Ih apaan, Assya enggak nangis kenceng ya, kamu aja yang nguping,” elak Assya, sesekali mengusap hidungnya yang terus mengeluarkan ingus. Indera penciumannya pun tampak memerah.
“Iya deh iya, enggak nangis kenceng, cuma nangis keras, hahaha.”
Dapat Dika lihat perempuan di depannya tampak kesal, tak terima.
“Emang Ayah Bunda kemana, Sya? Kok tumben kamu bisa nangis dari sore sampe sekarang, udah malem, lho.”
“Ayah Bunda lagi ada urusan, enggak tau juga, Rizal juga ikut, tumben banget tuh anak ikut biasanya males-malesan,” jawab Assya membenarkan posisinya.
“Assya ke balkon aja deh, masa telfonan gini padahal deket.” Assya sudah berdiri, hendak melangkah. Buru-buru Dika menghentikan hal tersebut.
“Jangan, di luar dingin banget. Kamu di kamar aja, nanti tambah flu,” bela Dika agar Assya mengurungkan niatnya.
“Aku yang pake baju panjang, celana panjang, pake hoodie juga masih ke rasa dingin banget, gimana kamu yang cuma pake celana selutut, kaos pendek yang oversize,” sambungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...