SHAKA • 23

7 1 0
                                    

Tidak ada yang tau akhirnya akan seperti apa, cukup jalani dan nikmati. Semua akan berjalan dengan semestinya.


***

“Udah, lupain, sekarang kita jalan-jalan aja yuk, mau enggak?” tanya Dika sesaat setelah mereka selesai sarapan.

Dika masih berada di rumah Assya. Menungguinya hingga gadis itu merasa baikan. Setelah insiden tadi pagi, ia terus saja mengajak Assya berbicara, entah melucu dan lainnya.

Assya mengangguk. “Boleh deh, ke taman, yuk?”

“Oke, siap-siap dulu, gih.”

“Masih sedih, Dika. Gimana nyembuhinnya?” Dika tak kuasa melihat wajah sendu di depannya, dengan segera ia memeluk perempuan yang sudah ia anggap adiknya itu dengan erat. Berharap pelukannya mampu mengurangi kesedihan.

“Enggak papa, Sya. Nangis aja enggak papa, enggak ada yang ngelarang, tapi perlu diinget, kamu boleh nangis tapi, enggak dengan menyerah. Paham, Sya?”

Assya mengangguk sebagai jawaban.

“Udah, gih beres-beres,” ingat Dika melepaskan pelukannya.

***

“Assya?” Suara seseorang menginterupsi keduanya yang tengah duduk bersantai di pinggir danau. Menikmati keindahan air yang begitu menenangkan.

Keduanya menoleh dan mendapati seorang laki-laki berbadan kekar berada tak jauh dari mereka berada.

“Hallo, Assya, Dika, apa kabar?” sapa seseorang.

“Alhamdulillah kabar kita baik. Mas Shaka gimana?” Ya, orang yang menghampiri keduanya merupakan Shaka.

“Baik juga, udah lama enggak ketemu, ya? Saya boleh gabung?” tawar Shaka, sedangkan keduanya saling tatap hingga akhirnya. “Iya, Mas. Boleh, silakan.”

“Omong-omong gimana sekolah kalian? Lancar?” Shaka mengambil posisi di sebelah Dika, laki-laki yang mengenakan kaos putih pendek dan training hitam panjang itu mengarahkan pandangan sesekali ke arah danau.

“Sejauh ini lancar, sih, Bang. Ya walaupun sesekali bikin pusing, tapi masih bisa diatasi,” jawab Dika sembari mengambil cemilan di depannya.

“Walaupun kemarin-kemarin dibikin runyam sama nih anak satu,” lanjutnya terkekeh. Assya melotot, tanpa kata ia langsung menepuk pundak temannya keras.

Shaka ikut terkekeh. “Kenapa, nih?”

“Itu, gara-gara dia enggak dikasih tau sesuatu hal terkait meninggalnya Nenek, sedangkan orangtuanya udah tau dari lama,” bocornya, Dika memang punya mulut ember. Ngapain pake diceritain segala.

“Lho, masalah apa kalo boleh tau?”

“Ada, deh.” Assya menjawab dengan sendu, garis wajahnya pun seketika berubah.

“Oh, oke.”

Saat sedang melanjutkan obrolan, sering telefon milik Dika berbunyi membuat laki-laki itu segera mengangkatnya.

“Iya, Bunda?”

“Oh, oke. Dika pulang sekarang.” Sambungan telepon terputus.

“Sorry, Sya, aku harus pulang dulu. Mendadak Eyang di Jogja ngabarin kalo ada acara nanti siang, enggak papa aku tinggal? Atau mau pulang sekarang? Atau pulang sama Bang Shaka?”

Atensi Assya beralih menatap Shaka. Sedang Shaka mengangguk. “Boleh, Dik. Kamu pulang duluan aja, nanti Assya pulang sama saya, jangan lupa kabarin orangtuanya kalo ketemu. Assya aman sama saya,” jawab Shaka santai.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang