Kalau kamu tidak bisa membuat orang lain bahagia, setidaknya jangan membuat orang lain sengsara.
***
Hari weekend yang biasanya sangat ditunggu-tunggu, malah menjadi hari yang paling tidak ingin bagi seorang gadis yang masih terduduk melamun itu alami.
Bagaimana tidak? Mengetahui kenyataan pamit bahwa sang kekasihnyalah yang menjadi penyebab atas kecelakaan yang membuat Neneknya meninggal.
Kenapa harus kekasihnya? Kenapa tidak orang lain saja? Dengan begitu ia bisa sedikit merasa lega, meskipun sama-sama penabrak. Tapi setidaknya dirinya bisa memaafkan, bisa lega. Kalau seperti ini? Mau bagaimana yang harus dirinya ambil?
Mau lanjut padahal kekasihnyalah penyebab kecelakaan itu? Atau kandas karena masalah ini? Dirinya dilanda kebingungan. Bagaimana bisa?
Kembali muncul di benaknya, bayang-bayang kebersamaannya dengan laki-laki itu. Pertemuan pertama, yang dirinya masih kaku dan pertemuan-pertemuan berikutnya yang dibuat salah tingkah oleh laki-laki tersebut.
Bagaimana cara dirinya agar memaafkan laki-laki tersebut? Bagaimana cara ia bisa menerima kembali kehadiran laki-laki tersebut? Apakah mungkin?
Assya masih termenung di ruang tamu rumahnya. Dengan Dika yang berada di sebelahnya, senantiasa menemani. Membiarkan Assya bergelung dengan pikirannya sendiri. Membiarkan perempuan itu memikirkan apa yang harus diambil.
Dering telepon dari handphone milik Assya menginterupsi, membuat lamunan Assya buyar.
“Dari siapa?” tanya Dika memastikan. Assya tampak meraih handphone-nya yang tergeletak di meja.
“Dari Alhena, dia pengen ketemu katanya,” jawab Assya tak minat. “Males, ah. Masih kepikiran,” sambungnya.
“Enggak boleh gitu, kali aja dia mau jelasin sesuatu. Belum tentu juga Alhena tau kenyataan semua ini, katanya Abangnya tertutup kan?” Assya mengangguk membenarkan.
“Iya bener, yaudah yuk temenin, Assya mau ketemu sama Alhena, di cafe biasa.” Dika mengangguk, keduanya bergegas keluar untuk mengunjungi tempat tersebut.
***
“Sya, enggak usah basa-basi. Kamu tau kalo Abang kamu pernah nabrak orang?” tanya Assya to the poin, mereka telah duduk di sofa cafe yang bernuansa klasik.
Alhena tampak terkejut. Abangnya berbuat seperti itu? Sepertinya tidak mungkin.
“Abang aku? Bang Shaka? Nabrak orang?” Assya mengangguk, sedangkan Dika membiarkan kedua perempuan tersebut berbicara. Dirinya celingak-celinguk ke lain arah, tetapi tetap memasang kupingnya baik-baik.
“Iya kakak kamu, nabrak orang,” tekan Assya.
Alhena tertawa sumbang. “Kayaknya enggak mungkin deh. Abang itu orang yang menurut aku paling bertanggung jawab, Abang kalo udah berbuat kesalahan pasti langsung tanggungjawab di waktu itu. Abang juga enggak cerita apa-apa. Walaupun aku kenal betul, Abang enggak mau cerita di awal sebelum dia tanggungjawab buat beresin masalahnya,” jawab Alhena yakin.
“Sya, Abang itu orangnya enggak pecicilan, Abang enggak pernah gegabah di hidupnya. Apa pun yang mau dilakuin sama Abang, pasti dipikirin dulu. Sekarang coba jelasin sejelas-jelasnya biar aku paham, soalnya rasanya enggak mungkin Abang begitu.”
“Jadi gini, Al. Kamu tau kan tentang meninggalnya Nenek aku yang karena tabrak lari waktu itu? Aku kembali buka kasus yang sebelumnya udah dicabut sama orangtua aku, Al. Alasannya juga enggak jelas, jadi atas persetujuan aku boleh buka, dengan syarat jangan nyesel. Dan ya, dari penyelidikan dan bukti-bukti yang ada, polisi menetapkan Abang kamu jadi tersangkanya. Abang kamu salah satu orang yang ngendarain mobil keluaran terbaru saat itu,” jawab Assya tegas, Alhena mengangguk-angguk sembari mengernyitkan alisnya.
“Tunggu, mobil? Di dunia ini enggak Cuma Abang yang pake mobil itu, Sya. Dan ya, mobil apa itu?” tanya Alhena memastikan.
“SUV hitam keluaran tahun 2018, baru aja keluar waktu itu.” Alhena tampak mengingat-ingat.
“Kecelakaan di tahun 2018? Bulan apa kamu inget, Sya?” tanya Alhena kembali memastikan.
“Bulan Agustus waktu itu.”
Alhena terbelalak, rasanya sangat tidak mungkin. “Kamu yakin?”
“Iya, Abang kamu juga tadi udah di kantor polisi. Entah menyerahkan diri atau polisi sendiri yang nangkep,” jawab Assya pelan. Ini sebenarnya Alhena beneran enggak tau atau Cuma pura-pura aja sih, batinnya.
“Kamu beneran enggak tau sama sekali?”
“Ya ampun, aku enggak tau sama sekali, makanya aku kaget denger cerita ini dari kamu, Sya.”
“Sya, kalo semisal beneran Abang pelakunya, kamu gimana?” lanjutnya.
“Enggak tau, tapi kayaknya bakal mengakhiri hubungan, buat apa terus lanjut padahal dia penyebab utama atas meninggalnya Nenek aku, Al?” Assya tersenyum parau, betul juga, bagaimana nantinya?
Alhena bingung. Di satu sisi dirinya senang, di sisi lain ia sudah berniat untuk menerima sang kakak untuk mempunyai kekasih. Ya, perempuan di depannya. Bisa dibilang, Alhena memberanikan diri untuk menerima Assya menjadi kekasih sang kakaknya.
Harusnya gue seneng, tapi kenapa rasa sedih yang mendominasi sekarang? Ah sial, batin Alhena menggebu.
“Ya udah, kamu udah tau semuanya. Dan aku rasa cukup perbicaraan kita hari ini. Aku enggak tau bisa terima kakak kamu lagi atau enggak, aku juga belum tau nanti masih bisa berteman dengan baik sama kamu atau enggak. Yang pasti, liat kedepannya aja. Kali aja ada keajaiban.” Setelah mengatakan hal tersebut, Assya bangkit tanpa mendengarkan balasan dari lawan bicaranya. Dika masih senantiasa mengikuti kemana pun Assya pergi.
“Iya, Sya. Kita Cuma bisa nunggu keajaiban, dan semoga keajaiban itu datang. Aku yakin kalo bukan Abang pelakunya, tapi aku juga enggak bisa bantah, aku enggak ada bukti,” ucap Alhena pelan, dirinya melihat pundak sahabatnya yang mulai menghilang dari pintu.
“Dik? Kenapa berat banget, Assya enggak kuat. Emang Assya bisa kalo enggak temanan sama Alhena? Alhena temen Assya dari awal masuk SMA. Cuma dia temen yang Assya punya. Cuma dia yang baik ke Assya disaat yang lain ngedeketin Cuma karena lagi butuh. Cuma dia yang bisa ngertiin, tapi kenapa malah gini? Assya enggak berhak bahagia? Assya capek,” ujar Assya menangis, membiarkan kaca mobil di sebelahnya terbuka. Semilir angin sedikit membuatnya tenang.
“Tenang dulu, ada hal yang perlu diambil dari ini semua. Sabar. Allah ngasih cobaan enggak cuma-Cuma.”
“Tapi kenapa cobaannya gini banget.” Assya menghembuskan napasnya. Berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang membuatnya lelah. Memandangi ke arah luar jendela yang setidaknya membuat atensinya sedikit teralihkan.
“Aku Cuma bisa pesen ke kamu, Sya. Jangan gegabah buat ambil keputusan. Liat dari sudut pandang orang lain. Di setiap hal apa pun itu, jangan langsung percaya, kalo bisa cari tau dulu. Kita enggak tau kebenarannya seperti apa dan bagaimana, tapi setidaknya kita udah berusaha buat enggak merugikan baik merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Paham, Sya?”
Dika mengelus tangan Assya yang berada di pangkuan perempuan itu dengan lembut. Berusaha menyalurkan kata-kata penyemangat untuk perempuan yang ia sayang, lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.
“Makasih ya, Dika. Udah selalu ada di samping Assya. Assya enggak tau gimana jadinya kalo enggak ada Dika. Assya anak pertama, juga butuh sandaran, bukan Cuma jadi sandaran.”
“Terus aku sandaran ke siapa, Sya? Kalo kamu sandaran ke aku? Kamu berat, jangan sandaran ke aku, tak tutuk kamu ntar,” gurau Dika, Assya tertawa karenanya. Melegakan, batin Dika.
“Nyebelin.”
“Kamu juga.”
“Ngeselin.”
“Kamu juga.” Dika meledek, membuat Assya kesal tapi tetap tertawa. “Mau es krim atau coklat? Yuk beli.”
“Ayo! Buruan,” ujar Assya heboh.
“Giliran es krim. Gas ngeng!”
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
Любовные романыAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...