SHAKA • 29

6 0 0
                                    

Kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang mengesankan dari orangtuamu, maka buatlah anakmu merasakan sesuatu yang mengesankan itu.

***

Seorang anak tak bisa memilih ayah dan ibu bagaimana yang akan menjadi orangtuanya. Ia tak bisa memilih untuk terlahir di keluarga siapa dan bagaimana. Kalau pun mereka bisa memilih, pasti akan memilih keluarga yang berkecukupan, mempunyai kasih sayang lebih, perhatian, dan hal-hal baik lainnya.

Sama halnya dengan Shaka dan Alhena. Dari luar, keluarga mereka dapat dibilang baik-baik saja memang. Lain hal jika mereka berkumpul di rumah.

Tunggu, berkumpul untuk apa? Untuk mendengar keributan yang diciptakan kedua orangtuanya? Membosankan.

Sedari kecil, Shaka selalu mendapat pukulan. Apa pun yang ia lakukan dan kurang memuaskan di mata orangtuanya, dirinya akan menjadi bahan amukan.

“Pi, perempuan itu siapa?” tanya Shaka kecil kala melihat ayahnya tengah duduk bersama perempuan di ruang keluarga. Bersantai menonton televisi.

Shaka mengedarkan pandangannya. “Terus Mami mana, Pi?” lanjutnya.

“Ngapain tanya-tanya Mami kamu, Papi enggak peduli sama dia,” jawab sang ayah ketus, sibuk pada urusannya sendiri tanpa menoleh ke arah anaknya sedikit pun.

“Terus dia siapa, Pi?” tanya Shaka menuntut. Dengan tangan mungilnya, ia menggoyangkan lengan ayahnya.

“Berisik! Dia pacar Papi, kamu harus sopan ke Tante Bella!” tukas sang ayah dengan nada kerasnya.

Suara keras dari laki-laki di depannya membuat Shaka merasa ketakutan. Ia ingin menangis saat ini juga!

“Pi! Aku enggak mau ada perempuan itu di sini. Shaka enggak sudi! Dan apa? Pacar? Sadar, Pi! Papi udah punya Mami! Kurang apa Mami selama ini? Rawat Papi yang sakit, emang perempuan itu mau ngerawat Papi sama kaya Mami ngerawat Papi?!” Shaka berapi-api, setelah sekian lama ia memendam semuanya, ia tak kuasa lagi menahan. Mengapa keluarganya menjadi seperti ini?

“DIEM KAMU! Sekarang kamu masuk kamar, Papi enggak mau liat muka kamu lagi! Jijik!”

Shaka tertegun, satu kata terakhir dari ayahnya membuatnya terpaku.

“Semenjijikan itu Shaka di mata Papi? Shaka salah apa, Pi?” tanya Shaka nanar.

“Salah kamu, kamu hadir di dunia ini. Kenapa kamu harus hadir? Saya nikah sama Mami kamu itu Cuma karena perjodohan, orangtua kami yang meminta saya dan ibu kamu menikah. Atas dasar keterpaksaan,” tekan laki-laki yang berbeda generasi itu.

Shaka menatap ayahnya bingung, jadi selama ini ayahnya menikah dengan sang ibu hanya karena perjodohan?

“Kamu tau? Dulu, saya dipaksa menikah dengan ibumu. Padahal posisi saya waktu itu sudah memiliki kekasih. Saya sedih? Jelas. Saya marah? Siapa yang enggak marah dipaksa menikah dengan orang yang sama sekali enggak kamu kenal? Saya menikahinya hanya karena keinginan orangtua, kami pun memiliki perjanjian, tidak ikut campur urusan satu sama lain. Dan berniat mempunyai anak? Hanya mimpi.”

“Dalam perjanjian yang kita sepakati, kita menikah hanya kurun waktu dua tahun. Tapi sialnya, Mami kamu hamil anak saya. Kamu itu hanya kecelakaan! Tidak diharapkan.” Shaka mematung, semakin tak kuasa membendung air matanya.

Kenapa kehadirannya malah sama sekali tidak diinginkan? Bukankah seharusnya setelah menikah, kedua pasangan itu harus sejajar? Berjalan beriringan membentuk mahligai rumah tangga yang didambakan?

Shaka kecil lantas berlari ke kamarnya. Ia tak mempedulikan panggilan perempuan yang memanggilnya ‘Nak Shaka' itu. Ia muak dengan semuanya.

Mengapa ini terjadi padanya yang tak tahu apa-apa? Adilkah ia merasa seperti iri disaat orangtua di luaran sana memperlakukan anaknya selayaknya berlian?

“Mami? Mami kenapa bisa sekuat ini? Shaka enggak sanggup lagi. Shaka ngerasa pengin nyerah, Mi,” isaknya memenuhi ruangan yang bertemakan hitam itu.

Dirinya menangis sepuasnya, mengeluarkan unek-unek yang ada di benaknya.

“Sayang, boleh Mami masuk?” Ketukan pintu terdengar, membuat Shaka buru-buru menghapus air matanya.

“Iy-iya, Mi. Masuk aja.”

Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Dirinya tetap mengembangkan senyum di wajahnya meski hatinya ikut teriris. Dirinya melihat semuanya, tanpa terkecuali. Ada rasa penyesalan dalam hatinya.

“Shaka udah besar ya, sekarang? Udah umur berapa coba?” tanya perempuan itu dengan lembut. Shaka mengusap hidungnya yang keluar cairan bening. Sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa air mata yang membekas.

“Shaka umur sepuluh tahun, Mi,” jawab Shaka pelan.

Verona menangkup pipi putranya. Menatap lekat-lekat pahatan laki-laki kecil yang merupakan duplikat suaminya.

“Wah, enggak kerasa, ya? Kamu kenapa nangis? Sini cerita ke Mami, jangan dipendem sendiri, takutnya malah dalam diri kamu tambah memberontak,” ucap Verona menarik putranya ke dalam pelukan.

“Alhena dimana, Mi? Masih belum pulang?”

“Adikmu belum pulan dari sekolah, jadi sini kita berdua puas-puasin ngobrol, mau ya?” Shaka mengangguk, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan.

“Mami kenapa mau nikah sama Papi? Mami tau? Papi masih berhubungan sama perempuan lain!” tanya Shaka mengawali.

“Kamu tau?”

Shaka mengangguk dan berucap, “iya tau, tadi Papi yang bilang. Katanya, Shaka anak yang enggak diharapkan, ya, Mi?”

“Jangan mikir gitu, Mami jelasin, ya. Tapi janji setelah ini, kamu enggak boleh benci ke Mami ataupun Papi, oke?” Shaka mengangguk menyetujui.

“Dulu, Mami itu adik kelas Papi kamu. Waktu Mami kelas 10 SMA, Papi kamu kelas 12 SMA. Mami bisa dibilang jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan setelah Papi lulus, kita enggak pernah saling bertukar kabar sama sekali. Hingga orangtua Mami ngejodohin Mami sama seseorang, setelah Mami tau itu laki-laki yang Mami suka, Mami langsung terima. Tanpa memikirkan kedepannya mau seperti apa.”

“Dan seperti yang Papi kamu jelasin tadi, ternyata kita menikah waktu Papi udah punya perempuan yang mau diajak serius. Mami paham, pasti berat buat Papi nerima ini. Tapi kita enggak bisa berbuat apa-apa, karena orangtua Papi terlilit hutang, dan keluarga Mami yang bantu.”

“Dan singkat cerita, selama pernikahan enggak ada keharmonisan sama sekali. Setelah Mami mantap untuk berpisah, kamu hadir di perut Mami. Kamu hadir tepat di usia ke dua tahun pernikahan. Waktu itu Mami masih inget jelas, Papi kamu suka mabuk-mabukan, dan pulang pun suka gedor-gedor pintu, mau enggak mau, Mami bantu ke kamar. Dan ya, cukup ya penjelasan dari Mami.”

“Buat kedepannya, kamu cukup pura-pura enggak tau aja. Anggap semuanya baik-baik aja, seperti hari-hari kemarin, suasana yang dingin. Dan mulai sekarang, Mami mau fokus ambil alih perusahaan orangtua Mami. Mami enggak mau di rumah, terus liat kalian. Terutama liat Papi. Terlalu sakit.”

“Mi, Mami enggak sayang aku sama adik? Kita butuh Mami, kita enggak bisa kalo tanpa Mami. Please, ya, Mi?”

“Maaf, keputusan Mami udah bulat. Kamu harus belajar mandiri mulai sekarang, jaga adik. Mungkin suatu saat Mami bakal lepasin kalian, atau malah genggam kalian, Mami belum tau. Mami Papi kerja buat kamu sama Alhena. Jadi jangan macam-macam. Paham?”

Shaka mengangguk. Mau bagaimana pun, orangtuanya akan tetap menjadi orangtuanya. Tanpa kehangatan. Dari kecil yang ia pahami, orang yang menyayanginya adalah bibi dan penjaga rumah. Orangtuanya tidak.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang