SHAKA • 14

13 1 0
                                    

Seseorang tidaklah berubah. Tidak ada yang berubah dari sifat seseorang. Ia hanya menunjukkan sifat aslinya. Dan mungkin, baru sekarang ia bisa menunjukkannya. Maka dari itu, jangan terlalu berharap pada makhluk-Nya. Karena sebaik-baik pengharapan, adalah berharap pada Sang Pencipta.

***

Setelah mengantarkan Assya hingga ke sekolah, Shaka langsung bergegas menuju kantornya. Polres Semarang, di mana saat ini ia ditugaskan. Ia masuk ke dalam sembari menenteng helmnya, juga helm milik gadis yang akhir-akhir ini hinggap di pikirannya.

"Wuih, bapak komandan kita lagi berbunga-bunga nih roman-romannya," celetuk salah seorang temannya yang tempat duduknya berhadapan dengan Shaka.

"Tau aja nih, Bang Soki," jawab Shaka dengan meletakkan helm di bawah mejanya. Mendapat jawaban tersebut, membuat beberapa orang itu bersorak.

Pasalnya mereka sangat jarang melihat komandannya tersenyum seperti itu. Jangankan tersenyum, tertawa karena seseorang ngelawak saja jarang. Shaka terkenal sebagai pribadi yang tegas. Jarang menampilkan wajah hangatnya. Hanya pada orang-orang tertentu, yang dirasa akrab, hanya itu. Selebihnya orang-orang yang baru mengenalnya pasti akan langsung menjudge Shaka orang yang galak. Padahal tidak.

"Siapa sih, yang berhasil bikin komandan kita sampe senyum-senyum sendiri. Mau sungkeman nih, karena dia berhasil bikin si es batu mencair," lanjut Syauki, kerap kali dipanggil Soki.

"Oh, jangan-jangan si anak SMA yang tadi diboncengin sama dia?" ujar Reza bertepuk tangan. Reza merupakan salah satu adik angkatannya, ia pula yang tadi dititipkan untuk membawa motor Assya agar dibawa ke bengkel. Mereka berlima langsung heboh kembali.

"Shaka nggak biasa buka hati buat cewek, sekalinya ngebuka malah buat anak SMA, hadehh," ujar yang lainnya.

"Ada masalah sama anak SMA? Mau gimana pun, kalau hati kita jatuhnya ke orang itu, ya mana bisa diatur-atur. Hati enggak ada yang tau, bro," jawab Shaka terkekeh. Mereka berlima memang yang paling mengerti tentang dirinya. Syauki, lettingnya yang dulunya merupakan kakak yang sering mengasuhnya, dari awal pendidikan hingga kini. Reza, adik asuhnya. Ivan dan Rizky, yang satu angkatan dengan Syauki. Dan Rifki, yang satu angkatan dengannya.

"Wahh, udah bisa ngomong panjang-panjang juga nih," ledek Ivan disertai tawanya.

"Kalian, dasar."

"Oh iya, Rez. Motornya tadi dibenerin di bengkel mana?" lanjut Shaka menatap Reza yang tertawa sedari tadi.

"Siap, di bengkel biasa, Bang. Gimana?" jawab Reza langsung menghentikan tawanya.

"Motor siapa emang?"

"Oohhhh, motornya si itu lho, hahaha," sambung Syauki kembali tertawa. Yang lain langsung turut serta tertawa.

"Hish, Bang Soki paling peka."

***

Shaka masih menunggu seseorang yang muncul di balik pintu gerbang. Dirinya tetap berada di atas motornya, sama seperti pagi tadi. Orang-orang yang berlalu lalang pun kerap kali melihat ke arahnya. Bagaimana ia tak mencuri perhatian? Pakaian yang ia kenakan, juga parasnya yang rupawan. Berhasil membuat gadis-gadis yang melihatnya langsung meleleh.

Waktu menunjukkan pukul 15.15 sore, masih ada lima belas menit lagi untuk bel pulang berbunyi.

Shaka kembali menggulir layar ponselnya yang menampilkan salah satu akun sosial media milik gadisnya. Tunggu, gadisnya? Sejak kapan ia mengklaim Assya sebagai miliknya?

Bibirnya kembali menyunggingkan senyum tipis, tatkala pikirannya kembali merujuk pada Assya. Gadis yang berhasil membuat dirinya seperti orang gila. Pertemuan mereka kala itu berhasil membuat Shaka penasaran dengan sosok Assya. Gadis itu berbeda dengan kebanyakan orang. Gadis yang dengan lucunya memanggil namanya sendiri. "Nama Assya, Assya. Lho- eh, astagfirullah. Assya Priayi Az-Zahra. Panggil Assya, udah, gitu."

Dan sejak saat itu, dirinya terus mencari tahu tentang Assya. Tentang keluarganya, masa kecilnya, impiannya, prestasinya, juga segala hal terkait perempuan berpawakan pendek tersebut.

Shaka akui, dirinya sudah mulai mempunyai perasaan pada gadis itu. Mungkin terkesan sangat cepat, namun ia sudah mengetahui sosok itu sejak beberapa tahun lalu. Awalnya, ia memang bersikap biasa saja. Hingga interaksi pertama mereka terjadi, saat gadis itu tengah melakukan tugas pramukanya. Mereka melakukan tugas gabungan kala itu.

First impression-nya saat itu yaitu, Assya merupakan gadis yang ceria, periang, baik hati, lemah lembut, santun tutur katanya, senyumnya pun mampu memikat siapa saja yang berjumpa dengannya.

Dan satu lagi, saat bertemu dengan gadis yang kerap kali menyebutkan namanya sendiri itu, hatinya merasakan sesuatu yang berbeda. Kondisi jantungnya melebihi saat dirinya menyelesaikan lari maraton. Entah apa yang ia rasakan, ia tak pernah merasakan hal itu sebelumnya. Tapi, ia tidak sebodoh itu untuk menyadari bahwa dirinya menyukai Assya, gadis manis yang hanya dengan mengingat mata serta senyumnya saja langsung membuat jantungnya berpacu.

Suara notifikasi membuyarkan lamunannya. Dengan segera ia membuka salah satu aplikasi pesannya. Sebuah pesan dari adik satu-satunya.

Al Bocil

Abang ada di mana? Bisa jemput Al?

Shaka langsung mengedarkan penglihatannya, matanya menelisik satu persatu sudut yang mampu dilihat oleh indra penglihatannya. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Dengan cepat, ia langsung membalas bahwa dirinya tak bisa.

Di lain tempat, seseorang menyunggingkan senyum tipisnya mendapat jawaban dari lawan bicaranya di telepon genggam. "Alhena, ayo buruan. Bentar lagi bel pulang," ucap Assya dengan kedua tangannya terdapat tinta dan spidol. Alhena dan Assya telah mengisi spidol di ruangan dekat dengan gerbang.

"Oh iya, ayo." Mereka langsung bergegas menuju kelas, sebelum para manusia membludak dan keluar dari kelasnya masing-masing. Mereka malas berdesak-desakan.

Alhena belum mau perhatian Abang terbagi sama pasangan Abang nantinya, maafin Alhena yang terkesan egois, tapi Alhena cemburu. Jangankan sama pasangan Abang nanti, perhatian mami papi aja udah terbagi buat Alhena, dan Alhena belum mau perhatian Abang ikut terbagi juga, batin Alhena merasa bersalah.

"Alhena, ayo pulang, kamu nunggu apa? Nunggu dijemput ya?" tanya Assya sembari menyantolkan tali tas ke kedua pundaknya.

Alhena yang sedari tadi menatap layar handphone, menampilkan roomchat dari kakaknya yang ternyata tidak bisa menjemputnya. "Eh? Enggak kok, iya ini nunggu jemputan biasa pak Mamat," jawab Alhena asal.

"Kamu kalo mau pulang duluan, duluan aja, Sya. Dijemput siapa nih? Kan Dika enggak berangkat," lanjutnya kembali mendaratkan diri pada kursinya.

"Ha? Oh iya tadi pagi temen bilang mau jemput, mau aku temenin nunggu supir kamu, Al?"

"Enggak usah, Sya. Kamu pulang duluan aja, siapa tau temenmu udah nunggu di depan. Aku nunggu sendiri aja enggak papa kok."

"Beneran enggak papa, nih?" Alhena mengangguk. "Yaudah, aku duluan ya, nanti kalo udah sampe rumah kabarin, see you, Alhena," pamit Assya, dirinya lantas melangkahkan kaki ke luar.

"See you too, Assya."

"Hufft, Abang lupa ya, kalo Pak Mamat libur hari ini? Padahal beliau kemarin Izin di depan kita waktu lagi makan bareng karena anaknya sakit." Ya. Alhena berbohong tadi saat Assya bertanya. Tapi mau gimana lagi? Minta jemputan seseorang, seseorang tak bisa karena sesuatu hal yang jelas-jelas Alhena tau alasannya. Ia pun memutuskan untuk ke luar dari ruangan, berjalan di koridor yang mulai terlihat sepi sembari memesan ojek online.

Dia bisa tanpa merepotkan orang lain. Dirinya mampu tanpa melibatkan orang lain.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang