SHAKA • 38

34 0 0
                                    

Bukan perihal apa yang kamu dapat, melainkan apa yang menjadikan kamu untuk berproses. Bukan apa yang kamu caoai, melainkan seberapa besar usahamu. Yakinlah kalau semuanya bisa kamu raih dengan penuh.

***

“Hallo, Mas?” Seseorang berbicara dengan nada yang ia buat setenang mungkin.

“Hallo, Sayang. Gimana?” balas sang laki-laki dari dari balik telepon.

“Assya mau minta maaf sebelumnya. Kita punya hubungan dengan cara baik-baik, mengakhiri juga harus baik-baik kan?”

Shaka mengernyitkan alisnya. “Maksudnya gimana? Mas masih belum paham,” jawab Shaka bingung.

“Maaf kalo selama Assya jadi cewek Mas, Mas Shaka selalu dibikin kesel. Assya akui, Assya masih banyak kurangnya selama jadi cewek Mas, Assya masih suka ngerepotin, bikin Mas sebel. Yang semula cape dari kerjaan, terus ditambah cape ngadepin Assya,” ujar Assya mengimbuhi.

“Maksud kamu apa? To the poin bisa?” balas Shaka yang mulai merasa emosi. Dirinya keburu kepancing.

“Kita udahin hubungan ini, ya? Bukannya gimana, bukan karena Assya enggak lanjutin karena persoalan Papi Mas, bukan soal Mas yang nyerahin diri. Assya malah bangga sama Mas Shaka, Mas mau bertaruh buat orangtua, Mas mau maju jadi pelindung buat orangtua. Tapi maaf, Assya enggak bisa,” ucap Assya memelankan suaranya di akhir kalimat.

“Terus kenapa? Kamu mau mempermainkan Mas karena masalah yang kemarin? Kamu katanya bangga, tapi kenapa kaya gini jadinya? Kenapa kamu mau hubungan kita udahan? Mas ada yang salah? Coba bilang, jelasin ke Mas sejelas-jelasnya,” pintu Shaka menggebu-gebu. Untung saja saat ini ia tengah berada di kamarnya seorang diri.

“Mas mau tau alasannya? Mas tau kan kalo Assya paling enggak suka dibohongi? Terus kenapa Mas bohongin Assya? Assya enggak cuma nyalahin Mas, di sini Ayah Bunda Assya juga salah karena udah sama-sama bohongin Assya. Tapi kenapa Mas harus ikutan bohong?” Assya menahan gejolak dalam hati. Ia tak mungkin berbicara kasar, bukan dirinya sekali.

“Oke Assya akui Mas bantu Papi Mas dari kejadian itu, tapi kenapa Mas enggak bilang apa-apa? Seenggaknya Mas bilang sama Assya, Mas bicarain ini sama Assya, bukan malah nyelonong. Assya emang belum berhak buat nentuin semua keputusan yang ada di kehidupan Mas, tapi seenggaknya Mas bisa bicara ke Assya. Mas masih nganggep Assya pasangan Mas kan?” Shaka yang frustasi hanya bisa berdiam diri, mengacak rambutnya hingga berantakan.

“Mungkin dengan Mas bilang, kalau Mas tau sesuatu dan mau ambil keputusan, Mas bisa bilang. Biasanya juga bilang kan, kenapa hal sebesar itu enggak?”

“Mas enggak mau ngebebanin kamu, kamu sebentar lagi mau ujian, Sayang. Gimana Mas tega dengan cerita-cerita hal yang mungkin bikin kamu kepikiran? Mas enggak setega itu,” ujar Shaka lembut, kali ini, biarkan perempuannya meluapkan perasaannya.

“Tapi dengan Mas begitu, Mas malah lebih bikin Assya kepikiran. Assya masih kurang buat Mas jadi din tempat cerita? Mas tau enggak? Assya ngerasa gagal, buat apa ada Assya kalo Mas bisa ngelakuin semuanya sendiri? Buat apa ada Assya kalo Mas enggak pernah cerita apa pun ke Assya? Assya masih ada kalo Mas lupa.”

Shaka menggeleng. “Iya, maaf. Mas janji enggak gitu lagi.”

“Assya maafin, tapi buat keputusan Assya yang mau pisah itu enggak bisa diganggu gugat. Kita udahan ya? Assya mau buka lembaran baru. Assya udah putusin buat lanjutin study di luar negeri setelah lulus nanti. Assya mau tutup luka lama dan buka lembaran baru. Tolong ya Mas? Izinin Assya buat pergi, walaupun atas persetujuan Mas atau enggak, Assya bakal tetep pergi. Makasih ya buat semuanya. Kita udahan, semoga Mas dapet yang lebih baik dari Assya.” Sambungan telepon terputus. Assya memutuskan untuk memblokir semua hal yang berhubungan dengan laki-laki itu. Terkesan egois memang, tapi ia perlu berdamai dengan dirinya sendiri bukan?

Hari-hari kemudian, Assya menjalani dengan segenap hati. Menunggu detik-detik menuju ujian akhir. Ia akan berusaha semaksimal mungkin. Ia sudah bertekat dalam hatinya untuk melanjutkan kuliah di negeri yang jauh di sana.

Kedua orangtuanya pun mau tidak mau memberikan dukungan, meskipun mereka awal nya tak menginginkan. Tapi mau bagaimana lagi? Terlebih demi keinginan putri semata wayang mereka. Dan juga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Setelah insiden beberapa bulan yang lalu, Assya menjadi lebih fokus pada tujuannya. Alhena yang semula berusaha terus mendekatinya pun tampak menyerah, sikap cuek Assya kini mendominasi. Perempuan itu kini menunjukkan sisi lain dari dirinya yang sebelumnya.

Assya menjadi lebih dingin, pendiam, tidak seceria sebelumnya. Kalau ada info lomba ya dia ikut, kalau enggak ya dia fokus untuk terus belajar. Relasi pertemanannya pun semakin luas di luar sekolah, ia banyak mengambil perlombaan, pelatihan-pelatihan dan kursus bahasa asing yang dapat membantu dirinya berkembang. Lain hal jika ia di sekolah, dikarenakan ia yang tak seceria biasanya, ia menjadi kurang didekati. Bukan karena dirinya yang terlalu cuek, tapi kini prinsipnya silakan datang kalau butuh, kalau enggak ya terserah. Mau berteman juga silakan, enggak juga tidak terlalu berpengaruh. Begitu pikirnya.

Hari-hari kelulusan pun tiba. Ya, hari pengumuman kelulusan. Mereka dinyatakan 100% lulus, membuat suasana menjadi semakin haru. Assya yang kebetulan didampingi oleh orangtuanya pun tersenyum senang. Ia lulus dan akhirnya ia bisa melanjutkan rencananya.

Keberadaan kedua orangtua Assya berada di sekolah yaitu sekalian untuk mengambil surat pernyataan kelulusan dan tetek bengeknya. Dimana berkas tersebut yang menjadi syarat untuk mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Ijazah baru bisa diambil seminggu kemudian, untung saja masih ada surat keterangan lainnya yang dapat digunakan.

“Assya seneng, akhirnya lulus juga. Berarti Assya langsung cepet-cepet daftar aja ya, Ayah, Bunda?” ujar Assya senang.

Kedua orangtuanya ikut tersenyum meskipun dalam hati mereka belum sepenuhnya ikhlas. Orangtua mana yang mau berpisah jauh dengan anak kesayangannya?

“Kamu seneng, Nak?”

“Sekali, Bunda. Assya seneng. Akhirnya,” ujar Assya.

“Belajar yang baik, ya. Anak Bunda dan Ayah udah besar, udah bisa memilih jalannya sendiri. Semangat! Harus selalu inget, masih ada Ayah dan Bunda yang akan dukung kamu terus, selagi hal itu baik buat kamu.”

***

“Bunda, Ayah, Assya udah di hotel deket kampus, ya kurang lebih sepuluh menitan kalau jalan kaki,” ujar Assya memperlihatkan dirinya juga keadaan di sekelilingnya. Ia tengah melakukan panggilan video dengan orangtuanya.

Assya sampai ke negara tetangga tanpa diantar, hal itu permintaan dari Assya sendiri. Assya berdalih ingin memulai hidup yang mandiri.

“Iya, Sayang. Baik-baik ya di sana, nanti kalau perlu, beli rumah aja, biar enggak harus bayar tiap bulan,” ujar Aziz menanggapi.

Zahra pun mengangguk setuju. “Iya, nanti uang bulanan kita kirim tiap tanggal satu, ya. Kamu baik-baik di sana, jaga kesehatan, jangan seenaknya sendiri sama badan, jangan terlalu diforsir. Semangat!” Mereka terus berbincang-bincang hingga panggilan pun terputus.

Assya mengambil napasnya dalam. Ayo semangat, Dokter Assya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang