SHAKA • 22

5 1 0
                                    

Hidupnya redup tatkala tak ada lagi lentera yang menerangi. Bahkan cahaya matahari pun tak dapat menggantikan.

***

Pagi-pagi sekali Dika datang mengunjungi tetangga sebelahnya yang sudah ia anggap keluarganya sendiri. Niatnya pagi ini, berhubung hari sabtu dan libur sekolah, ia berkunjung ke rumah adiknya, Assya.

“Hallo, Ayah, Bunda. Assya ada?” tanyanya saat sampai pada pelataran, melihat kedua orangtua Assya yang sedang duduk bersama di teras.

“Ada di kamar, masuk aja, Dik. Belum bangun kayaknya,” jawab Zahra ramah, sembari meletakan cangkir teh hangatnya. Sedangkan Aziz hanya berdehem, melanjutkan membaca korannya.

“Oke, Bunda. Dika masuk ya.” Setelah berbasa-basi, Dika segera masuk ke dalam rumah, bergegas menaiki tangga menuju kamar orang yang dicarinya.

Dan benar saja, berhubung kamar Assya sudah tidak dikunci, ia dapat masuk, melihat perempuan itu sedang memeluk gulingnya, menghadap jendela.

“Sya? Udah bangun?” tanyanya sambil berjalan ke tempat tidur. Pintunya pun ia biarkan terbuka setengah.

Tak ada jawaban. Dika langsung menuju ke arah jendela agar dapat melihat wajah Assya. Memastikan.

“Sya, kamu nangis? Kenapa hey?” tanyanya panik, ia sempat melihat Assya menutup matanya, bahkan ada genangan air di kedua matanya.

Assya menggeleng sembari berdehem kecil. Dika mendudukan dirinya, menyenderkan tubuhnya pada kepala kasur. Mengusap perlahan kepala Assya dengan sayang.

“Kenapa nangis? Masih pagi loh ini, baru juga jam enam pagi,” tanyanya lagi, usapannya pada kepala gadis itu pun masih berlanjut.

“Masih soal Nenek, Sya?” Assya membuka matanya perlahan, ia pun mengangguk.

Dika menghembuskan napasnya. “Ada apa lagi, Sya?”

“Eh, Ayah Bunda kamu pulang kapan?”

“Tadi pagi, sekitar jam satu atau dua,” jawab Assya parau.

Hening diantara keduanya. Usapan lembut di kepalanya membuat Assya kembali menutup mata perlahan. Dika tak ingin memaksa, membiarkan semuanya berjalan dengan sendirinya.

“Ada insiden di pagi tadi,” ujar Assya kembali membuka mata.

“Kenapa?”

“Abis salat subuh, Assya beraniin bilang semuanya ke Ayah Bunda. Assya juga bilang kalo Nesya sekarang jadi temenku di kelas, dan soal kenyataan yang aku dapetin itu juga udah tak bilang ke Ayah Bunda. Semuanya, tanpa terkecuali.”

“Termasuk kekecewaan aku, kenapa Ayah Bunda nutupin ini semua? Padahal mereka tau, kalo semua yang ada sangkut pautnya sama Nenek, aku juga harus tau. Aku bilang juga kenapa mereka nutupin ini semua dari aku, dan jawabannya? Enggak bermutu.”

“Ayah Bunda cuma kasih alasan yang ‘biar kamu enggak kepikiran' kalo udah begini, apa aku enggak tambah kepikiran? Kenapa harus tau dari orang lain, kenapa enggak Ayah Bunda yang cerita padahal mereka udah tau, lho. Kenapa? Kenapa Assya enggak berhak buat tau? Assya sayang banget sama Nenek, dan mereka tau itu, harusnya hal begini bilang dong ke Assya.”

“Apa lagi terkait nyawa...” Assya menjelaskan dengan suara yang tercekat. Dika terus mendengarkan, membiarkan perempuan itu mengeluarkan semuanya. Padahal ia tau, ada seseorang yang tengah mendengarkan perbincangan mereka. Dan ia yakin kalau orang tersebut adalah kedua orangtua Assya.

Aziz dan Zahra mendengar semuanya. Mereka berada di pintu sedari awal. Zahra yang paling merasa bersalah, ia pikir dengan anaknya yang notabenenya sangat dekat dengan ibunya, tak perlu mengetahui sejauh ini. Tapi ternyata ia salah, putrinya perlu mengetahui kebenaran.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang