Ada salah satu hal yang menenangkan bagiku darimu, Bunda. Senyumanmu yang paling kusuka.
***
Pagi kembali menyapa. Tugas bulan telah tergantikan oleh matahari. Setelah melaksanakan salat subuh, Assya langsung menuju meja belajarnya. Kembali mempelajari materi yang akan diujikan pada omlimpiade nanti.
Ya, hari memang terasa begitu cepat sekali. Rasanya baru kemarin ia liburan. Kenapa hari senin sampai kamis terasa begitu lama, sedangkan jumat sampai minggu terasa sangat singkat?
Ketokan pintu terdengar pada indera pendengarannya, setelah mendapat izin dari sang empu kamar, seseorang muncul dari balik pintu dengan segelas susu di tangannya. Susu vanila, kesukaan Assya.
"Minum dulu, kakak udah mandi?" Assya mengangguk pelan. "Udah, Bun." Ia langsung menerima gelas tersebut dan meminumnya hingga kandas.
Assya kembali menyerahkan gelas yang telah kosong tersebut. "Makasih, Bunda. Assya mau lanjut belajar dulu lima belas menit. Nanti jam 05.15 turun," ucapnya sambil menatap netra wanita yang telah melahirkannya itu.
"Iya, belajar yang bener. Kerjain yang sekiranya gampang dulu. Jangan lupa berdoa, semoga lancar waktu ngerjain soalnya nanti," balas Zahra mengusap kepala anaknya yang tengah memeluk perutnya dengan pelan.
"Siap, laksanakan, Komandan! Nanti Bunda sama Ayah ikut, kan?" tanya Assya mulai melepaskan pelukannya.
Zahra mengangguk. "Iya, cuma Bunda tapi. Ayah sama Papanya Dika ada tugas katanya, jadi cuma Bunda-bunda yang ikut. Enggak papa, kan?" ucap Zahra tersenyum lembut. Salah satu hal yang paling Assya sukai adalah senyuman yang menghiasi wajah ibunya. Menurutnya, senyuman itu seakan menjadi bius tersendiri bagi dirinya. Menangkan. Ibunya pun terlihat masih muda, meskipun keriput telah menghiasi wajah eloknya.
"Enggak papa, Bunda. Assya lanjut belajar dulu."
***
"Bismillah."
Di sinilah mereka sekarang, Assya dan Dika telah berada di ruangan yang akan dilaksanakannya pengerjaan soal. Berangkat menggunakan mobil yang terdiri dari kepala sekolah, guru pembimbing matematika, serta salah satu perwakilan wali kelas, beruntung wali kelasnya yaitu Miss Dea. Sedangkan ibunya dan ibunya Dika berangkat menggunakan mobil pribadi, yang dikendarai oleh Bunda Nafisa.
"Jangan buru-buru ngerjainnya, ada 150 menit untuk mengerjakan 100 soal. Dan untuk akhiran, jika nanti hasilnya seri, akan diadakan tanya jawab untuk penentuan. Semangat!" ucap Pak Budi, yang tak lain merupakan kepala sekolah.
"Jangan tegang, santai aja. Kalau pun nanti enggak juara, enggak apa, setidaknya kalian udah berani mewakili sekolah, semangat ya!" lanjut Pak Agung, yang selama ini membimbing mereka dalam mengerjakan soal-soal.
"Iya betul, jangan terpaku sama kejuaraan. Kalian merupakan anak-anak hebat dari yang lainnya. Jangan jadikan juara sebagai tolak ukur untuk kalian ikut lomba, tapi jadikan sebagai motivasi diri. Semangat, kami bangga sama kalian!" sambung Miss Dea menepuk pundak keduanya.
Tak berselang lama, panitia memberikan instruksi agar guru atau orangtua yang mendampingi untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Lebih tepatnya mengelilingi para peserta yang berada di tengah.
Semua penonton terus merapalkan doa-doa, sama halnya dengan Zahra dan Nafisa. Mereka tak mengalihkan atensinya dari anak-anaknya yang berada di depan sana, sembari menyatukan kedua tangannya. Memohon kekuatan pada Sang Maha Kuasa.
Seseorang melihat Assya dan Dika dari samping. Berjarak beberapa tempat duduk. Ia tersenyum miring. Berbisik pada partner dirinya untuk berusaha sebaik mungkin.
"Well, kalian pasti kalah, kawan!" sinisnya menatap tak suka pada keduanya yang tengah berdoa.
Pengerjaan soal dimulai, terpampang jelas nilai atau skor yang telah dikerjakan oleh siswa di layar besar. Yang tepatnya berada di belakang peserta, jadi mereka tidak tau, hanya orang yang mendampingi, maupun juri yang dapat melihat. Sekadar informasi, pengerjaan soal menggunakan komputer, setiap meja atau kelompok yang terdiri dari dua orang, hanya terdapat satu komputer. Bila mana mereka mengerjakan dan ternyata soal itu benar, nama mereka akan naik. Begitupun jika tidak mengerjakan atau salah, bisa-bisa mereka akan tetap pada nomor urutan atau bahkan turun.
Passing grade atau nilai ambang batas mereka yaitu seribu dengan benar seratus soal.
Detik demi detik telah berlalu. Baru saja panitia membunyikan loncengnya, pertanda pengerjaan soal telah berakhir. Terdengar sorakan dari setiap orang yang menyaksikan. Para peserta belum dibolehkan untuk menghadap ke belakang. Tiba-tiba layar yang menampilkan nilai-nilai peserta mati, tergantikan suara seseorang yang hendak berbicara di depan dengan mikrofon di tangannya.
"Sebelumnya, kami mohon maaf karena layar yang menampilkan nilai-nilai kami matikan. Kami mengidentifikasi jika di sini terdapat nilai yang seri untuk pemenang nomor tiga, yaitu dari SMA Bhakti Pertiwi dan SMA Kasih Bunda. Jadi, untuk sesi selanjutnya yaitu sesi jawab cepat untuk kedua sekolah. Bagi peserta yang tidak turut serta, dipersilakan untuk bergabung bersama guru ataupun orang pendamping lainnya. Kepada perwakilan dari SMA Bhakti Pertiwi dan SMA Kasih Bunda, silakan maju ke depan, menempati tempat yang telah disediakan."
Sejujurnya Assya sudah mulai lelah sekarang, dirinya takut untuk menghadapi sesi ini. Dika yang mengerti kondisi Assya, langsung menggenggam tangan gadis di sampingnya, sembari mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat. Mereka melangkah ke depan, duduk di bangku yang telah disediakan. Dengan posisi berhadap-hadapan bersama peserta lawannya.
Mata Assya mengedar lalu tatapannya jatuh pada sang bunda yang memberinya senyuman, menenangkan. Sesi dimulai dengan penuh ketegangan. Sepuluh poin untuk lawan, dan nilainya masih kosong. Hanya sampai 150 poin untuk 15 soal. Sangat mendebarkan bukan?
Kegiatan terus berjalan, namun anehnya, kecurigaan dari para panitia mulai terlihat. SMA Bhakti Pertiwi mulai menduduki posisi tertinggi, berbanding jauh dengan SMA Kasih Bunda. 70 vs 30.
Tiba-tiba panitia langsung menghentikan sesi. "Baik, mohon maaf kembali karena telah membuat kalian terheran-heran. Apakah dari SMA Kasih Bunda ingin menjelaskan sesuatu? Sebelum kami mengungkapkan yang sesungguhnya?" tanya seorang panitia laki-laki yang tadi juga berbicara sebelum jalannya sesi.
Tidak ada yang menjawab. Membuat peserta juga penonton semakin bingung dibuatnya. Lima belas menit, masih belum ada yang berbicara.
"Baik, jika begitu. Kami umumkan untuk SMA Kasih Bunda, mereka melakukan kecurangan." Hal itu langsung membuat ruangan terkesan gaduh.
"Harap diam terlebih dahulu. Kecurigaan kami, panitia, sudah mulai terjadi pada saat pengerjaan soal. Kenapa skornya naik drastis? Apakah mereka bisa mengerjakan sepuluh soal dalam satu menit? Rasanya mustahil sekali. Hingga pengerjaan soal berakhir. Skor stuck di 700. Dan ternyata saat mereka mengikuti sesi tanya jawab, hasilnya bisa kalian lihat sendiri. Dan juga, kami menemukan kabel data yang terhubung ke komputer mereka, itu jelas bukan kabel yang kami sediakan, itu terhubung pada sebuah laptop yang berada pada ruangan sebelah. Bagus sekali bukan? Kami ingat betul, tidak ada selain panitia yang bisa masuk dalam ruangan ini beberapa hari kemarin. Hanya satu kemungkinan, dan kami rasa kalian mengerti. Sekian, terima kasih. Tunggu pengumuman kejuaraan yang selanjutnya akan kami paparkan setelah waktu istirahat. Selamat siang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomansaAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...