SHAKA • 25

10 0 0
                                    

Bahagia itu sederhana, cukup bersamamu selamanya, menjalani hari-hari tua berteman kamu, cukup membuatku bahagia.

***

Adishaka Putra Atmajaya.

Kau tau? Kadang aku berpikir, bagaimana kehidupanku selanjutnya setelah ini. Sedari kecil aku tak pernah terpikirkan sama sekali untuk melanjutkan peran ayah. Aku tak punya mimpi.

Ya, anggap saja lelaki ini hanya mengikuti arus kehidupan. Ikut lomba, oke jalani. Ikut olimpiade, oke turuti. Punya prestasi di bidang akademik dan non akademik, siap juga. Rajin olahraga, siapa takut?

Aku selalu beranggapan bahwa, ‘nanti juga datang sin diri’ entah dalam hal apapun itu.

Tak ada yang tahu bagaimana kerasnya aku di didik. Dari kecil, Papi selalu mengajariku berbagai hal baru, berlatih dan terus berlatih banyak hal yang tak ku minati sebenarnya. Bagaimana tidak? Anak kecil umur lama tahun, sudah mulai diajar menembak? Memanah?

Disaat anak lain sebayaku masih asik menggambar, mewarnai, bermain bersama teman-teman, aku? Aku sudah mulai mahir menembak kala itu.

Keluargaku terbilang keluarga yang cukup harmonis. Tak ada pertikaian seperti banyakan orang. Mami Papi selalu menerapkan, kalo bukan masalah perselingkuhan, masih bisa dimaafkan. Mereka menurutku orang yang sama-sama cuek. Jalan bersama ya ayo, berpisah pun silakan.

Dan dalam hal apapun, Mami Papi saling lempar-lemparan, tak peduli.

Aku masih ingat, kala pembagian rapor kelas satu SD, tak ada yang berniat mengambilkannya. Sama-sama sibuk? Tidak juga. Aku dilatih untuk mandiri. Hingga besar sekarang, aku menjadi laki-laki yang tumbuh dengan perasaan yang biasa-biasa saja.

Hingga suatu ketika, aku bertemu seseorang. Hanya dengan melihat manik matanya, mampu membuatku tenang.

Aku terkenal dingin? Memang benar. Tapi semua perlahan luruh kala aku bertemu dengannya.

Pertama kalinya aku melihat perempuan itu saat ia berada di rumahku, wajahku yang tertutup masker, mungkin tak membuatnya dapat mengingatku. Setelah pertemuan itu pun, aku sempat bertemu dengannya, aku yang berada di rumah tetangganya yang juga merupakan teman Papi.

Ia mengobatiku tanpa bicara saat itu. Mungkin kerena keterkejutannya? Lukaku saat itu pun tak terlalu parah, hanya sayatan ringan, tak sampai menghabiskan semua darah. Namun lagi-lagi, ia tak mengenaliku. Mukaku masih saja terbungkus kain penutup.

Mungkin pertemuan saat berjaga di posko menjadi pertemuan pertama baginya, namun, tidak bagiku.

Aku mengaguminya. Dan aku menginginkan diriku sendiri agar bisa berbaur dengan baik padanya. And see, reaksi tubuhku malah berkata lain. Tubuhku sangat merespon dengan baik kebersamaan kami. Tidak wajar memang.

Saat ini, aku tengah menunggui seseorang. Entah sudah pertemuan ke berapa, tapi yang jelas, bertemu dengannya membuat jantungku selalu berpacu dengan cepat.

Kulirik jam yang menunjukkan pukul 13.30, katanya, ia hari ini pulang lebih awal. Sempat ku bertanya, mengapa hari kamis pulang awal? Ia pun menjawab, iya hari ini hari terakhir berangkat, dan esok libur, sebelum hari senin depan sekolah mengadakan akreditasi.

Aku hanya mengangguk kala itu. Dan ya, kau tahu? Kami sudah dari beberapa minggu lalu saling mengirimkan pesan, bagaimana bisa? Setelah memutuskan untuk mempunyai hubungan, kita bertukar nomor telepon. Terkesan aneh? Biasanya berpacaran sesudah bertukar pesan, saling mengirimkan kata-kata romantis, pendekatan. Dan kami? Kami lain, hahaha.

Para siswa mulai berhamburan keluar dari gerbang, sesaat setelah mulai sepi, aku menurunkan kaca mobil, melambaikan tangan pada seseorang. Orang itu pun menghampiri mobilku, dengan segera, langsung saja kubukakan pintu samping kemudi untuknya.

“Gimana sekolahnya? Ada cerita apa hari ini?” tanyaku mulai melajukan mobil.

Terlihat ia menghembuskan napasnya. Kacamata yang tadi bertengger manis pun ia lepaskan. “Cape, harusnya kalo mau akreditasi mah anak-anak libur dulu, lah tadi malah pelajaran matematika disambung ekonomi akuntansi. Mabokk,” gerutunya menggebu-gebu.

Setelah berpacaraan, kami memutuskan untuk saling terbuka, anggap saja aku temanmu, dan kamu temanku. Perihal aku yang lebih tua darinya, ia tak masalah, meskipun di awal sempat bilang, ‘ternyata punya hubungan sama yang lebih tua enggak semudah yang dibayangin, beda cara pandang ya, tapi kalo kita yakin mah bisa-bisa aja ya, Mas?’

Perempuan itu memang lucu. Di usianya yang terbilang masih muda, tapi ia tahu posisi. Malah dia yang selalu menyabariku kala aku kesal. Dia dan beribu-ribu kata rayuan mautnya, mampu membuatku luruh dan takjub. Ia mampu menhendalikan diri dan emosi itu yang membuat aku semakin mencintainya. Lebay? Memang, biarlah, orang lagi kasmaran.

Kuusap perlahan kepalanya dengan tangan kiriku. “Enggak boleh gitu dong, nanti kalo libur, kamu enggak dapet pelajaran. Udah kelas akhir, bentar lagi ujian toh, masa libur terus. Tenang, abis ujian libur panjang sampe mampus deh, hahaha.” Ia tersenyum mendengar penuturanku.

Ia mulai menyender di pundak kiriku, mencari posisi nyamannya. Memeluk tubuhku dan mulai memejamkan mata. Kecupan ringan mendarat di ubun-ubunnya.

“Kamu tidur?” tanyaku pelan, kepalanya mendongak.

“Belum, kenapa? Tapi udara AC bikin Assya mulai ngantuk.” Kembali mencari posisi ternyamannya.

“Kamu inget pertemuan pertama kita, Sya?”

“Inget, waktu jaga posko, kan?” jawabnya perlahan membuka mata. Tanpa mengurai pelukannya.

“Itu bagi kamu, kalo bagi Mas, itu pertemuan sekian, ke tiga kalo enggak salah. Pertemuan pertama waktu kamu kerja kelompok sama adik perempuan Mas, pertemuan kedua waktu kamu ngobatin Mas yang kena luka sayatan, di rumah teman Papi. Kebetulan waktu itu kejadiannya deket rumah temen Papi, dan temannya itu kenal Mas, jadi diobatin deh, eh enggak taunya malah perempuan yang sekarang ada di pelukan mas.”

Assya mendongak, membenarkan posisinya. “Hah? Serius?”

“Iya, Sayang, kapan Mas bohong ke kamu?”

“Kamu kakak temenku?” tanya Assya dengan muka terkejutnya.

Aku mendengus, “Enggak sopan, coba ulangin.”

“Hehehe, maaf, Mas.” Assya menaikan tangan kanannya, membentuk jari-jarinya sebagai tanda peace.

“Mas serius, Sayang.” Ah, panggilan itu masih saja membuatnya malu.

“Adik Mas namanya siapa? Dan temen Papi itu...” terlihat Assya menjeda kalimatnya.

“Alhena, kelas 12 IPS 1, sekelas sama kamu kan?” Assya membelalakan matanya terkejut.

“Serius Alhena? Dia mah sabahat Assya.”

“Wah, bagus dong. Akur-akur ya sama calon adik ipar.” Godaku, mungkin menggodanya dan melihat pipi merahnya akan menjadi hobi baruku sejak saat ini.

“Ishh, nyebelin. Oh iya Assya inget, Alhena punya kakak laki-laki, polisi, sama kaya Papinya, ternyata cowokku toh,” ujarnya turut menggoda.

“Terus temen Papi siapa? Sama-sama polisi juga?”

“Iya, Papa Dika, Papa Dika polisi juga kan, ayahnya temanmu dari kecil itu.” Jawabanku membuatnya menganga tak percaya.

“Kenapa? Enggak percaya? Coba tanya sendiri,” ucapku yang membuat ia menggedikan bahunya.

“Dunia sempit banget ya, Mas. Ternyata begitu, kamu berarti tau aku udah dari lama dong?” tanyanya menuntut.

Aku mengangguk, lagi-lagi membuatnya bertepuk tangan takjub. “Bisa ini mah, gasss.”

“Hahaha, lucu. Kira-kira nanti mau pake adat apa, Mas?” ujarnya meledek. Hal itu membuatku merasa gemas.

Teoat di lampu merah, tangan kiriku terulur ke perutnya. “Sini gelitik dulu, berarti udah siap jadi ibu bhayangkari ya, Sayang.”

“AAA, enggak-enggak, bercanda, Mas!”

Hwhw, mendekati permasalahan.

-rosseevanaa

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang