Hidup memang terlalu banyak membutuhkan perjuangan. Bersyukurlah kamu, yang masih bisa bernapas tanpa bantuan alat satu pun.
***
"Assalamu'alaikum, Ayah," ujar seseorang mengalihkan atensi pria paruh baya yang tengah duduk di teras depan rumahnya, dengan sebuah koran lebar yang berada di kedua tangannya.
"Wa'alaikumsalam, mau apa? Nyari Assya, ya?" tebak Aziz sembari meletakkan koran yang ia baca.
Dika tersenyum, laki-laki yang berada di hadapannya sungguh peka. "Hehe, iya, Yah. Assya-nya ada?" tanya Dika menunduk sopan.
"Ada, bentar. Bun!" Tak lama kemudian, Zahra datang menghampiri keduanya. "Kenapa, Yah?"
"Assya udah bangun? Ini ada Dika, mau joging keliatannya," jawab Aziz meneliti penampilan anak muda di depannya itu. Zahra mengangguk pelan dan berkata, "udah bangun tadi, bentar," pamitnya.
"Duduk dulu, Dik. Omong-omong, udah ada niatan mau lanjut mana? Denger-denger dari orangtua kamu, kamu mau beda, nih, jalannya dari Papa kamu," ujar Aziz membiarkan Dika duduk di depannya.
Dika tersenyum canggung. "Iya, Yah. Baru rencana, sih. Rencana sejak kecil. Tapi, pasti bakal diinterogasi dulu sama Papa. Mantap atau enggaknya," jelas Dika.
"Seorang prajurit harus yakin akan keputusan yang ia ambil. Kalau kamu mau beda, ya silakan, enggak ada yang melarang. Hanya saja, Papa kamu pasti mau yang terbaik untuk anaknya. Orangtua mana yang membiarkan anaknya luntang-lantung enggak jelas. Bicarakan baik-baik, berikan alasan yang kuat kenapa kamu mau jadi tentara, bukan polisi. Sebenarnya sama, sih, tujuannya mereka hanya satu, yaitu mengabdikan diri pada negara. Mengorbankan waktunya, hanya untuk tanah air," papar Aziz menjelaskan. Nada suaranya sangat tenang, meskipun terkesan tegas.
"TNI apa, nih?" lanjutnya menyesap secangkir kopi yang telah terlalu lama diabaikan.
"TNI AD, Yah," jawab Dika.
"Siapkan mentalmu, otakmu, fisikmu, dan semuanya. Otaknya oke, tapi kalau fisiknya kurang, ya tetep aja enggak bisa. Di sana yang menjadi landasan kamu itu tubuhmu, mampu atau tidaknya. Banyak juga yang awalnya mampu, tapi seiring waktu, mereka menyerah. Kami enggak butuh banyak anggota, kami pun rela jika harus mengeluarkan banyak prajurit, apalagi yang kurang berkompeten. Lebih baik dikeluarkan, dari pada mengganggu jalannya tugas. Tugas satu dua masih bisa, tapi ini menyangkut negara, banyak nyawa yang jadi taruhannya. Semangat!"
Dika tersenyum, dalam hatinya semakin mantap untuk melanjutkan langkah. Tinggal beberapa bulan lagi perjuangan akan dimulai. Merebutkan satu kursi dengan lawan yang sangat banyak, se-Indonesia.
"Iya, Yah. Makasih untuk saran dan motivasinya. Insyaa Allah, Dika bakal terus berusaha. Boleh Dika latihan sama Ayah sesekali?" tanya Dika menatap netra Aziz mantap.
Aziz tersenyum tipis dan mengangguk. "Boleh, kapan pun kamu butuh Ayah, insyaa Allah Ayah bantu. Tapi, emang kamu udah siap kehilangan masa-masa remaja kamu? Ya, ibaratnya teman-teman kamu di luar sana masih suka nongkrong, main sana sini, menghabiskan waktu dengan teman, tanpa memikirkan mau ke mana dia setelah ini. Siap? Berat lho, Dik," gurau Aziz, ia ingin melihat bagaimana reaksi sahabat anaknya ini.
"Papa sama Ayah pernah bilang, laki-laki harus berani mengambil keputusan. Dan, Dika udah mantap sama keputusan Dika yang satu ini. Dika siap kehilangan masa-masa remaja Dika untuk berjuang, Dika siap, Yah," jawab Dika tegas.
"Bagus, dan satu lagi, kamu siap? Jika suatu saat nanti kalau kamu udah jadi TNI, terus ditempatkan di berbagai daerah? Papua? Kalimantan? Misalnya. Jauh banget, lho, itu," kata Aziz terkekeh.
Dalam hati, Dika hanya bisa tersenyum tipis. Kenapa di mana-mana ia diberikan pilihan yang sulit? Disaat dirinya yakin satu hal, pasti akan diberikan pilihan lain. Tidak dalam organisasi, sekolah, papanya, dan pria paruh baya di depannya saat ini.
"Dika siap, Yah. Dan untuk orangtua, insyaa Allah, orangtua setuju. Seperti kata Ayah tadi," jawab Dika, lagi.
"Terus-"
"Ayok! Ayah, udah ya? Ini bukan sesi wawancara dalam dunia perseleksian masuk abdi negara. Nanti aja wawancaranya. Oke?" potong Assya menarik Dika untuk berdiri.
"Lho? Suka-suka Ayah, dong."
"Udah, Yah, kita berangkat dulu. Assalamu'alaikum, Ayah, Bunda," pamit Assya mencium tangan kedua orangtuanya bergantian. Diikuti Dika di belakangnya.
Zahra hanya bisa terkekeh geli melihat kelakuan anaknya. Saat Dika bersalaman dengan Aziz, suaminya itu berujar, "urusan kita belum selesai!"
***
"Hehe, maafin Ayah, ya, Dika? Ayah emang gitu soalnya, protektif banget. Banyak tanya pula," ucap Assya memecah keheningan yang melanda keduanya. Saat ini mereka telah berada taman kompleks. Berkeliling mengitari taman yang luasnya cukup besar.
"Nggak apa, santai. Udah biasa kok, sama Papa juga digituin. Ya mana ada orangtua yang ngebiarin anaknya, ya kan?" jawab Dika mengusap puncak kepala Assya, yang tertutup kain, pelan.
"Iya juga. Semangat ya, Dika. Apapun keputusan yang nantinya Dika ambil, Assya pasti dukung. Selagi itu baik. Semangat berjuang, Komandan!"
Dika terkekeh sembari terus mengusap kepala Assya dengan sayang. Ia sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Assya, yang sudah ia anggap adiknya sendiri. Assya hampir sama kepribadiannya seperti kakak perempuannya, Agatha, yang saat ini telah menjadi ibu baru bagi putri kecilnya. Ya, Agatha merupakan kakak satu-satunya Dika. Kakak perempuan yang cerewetnya melebihi ibunya sendiri. Dan beruntungnya, kakaknya itu telah diboyong oleh sang suami. Yang sama-sama seorang anggota polisi.
Kenapa ceritanya penuh dengan para abdi negara?
"Besok ajak Alhena boleh?" tanya Assya sembari menarik Dika menuju sebuah kursi yang tersedia.
Dika menoleh dan mengangguk. "Boleh dong."
"Dika, Assya cape, istirahat dulu, ya?" keluh Assya sembari duduk meluruskan kakinya.
"Cape ngapain? Orang dari tadi cuma aku yang joging sampai lari-lari, kamu dari tadi jalan terus duduk, gitu terus kan?" sewotnya, Assya meringis, menampilkan deretan giginya.
"Hehe, maaf maaf. Eh ada es krim, beli, yuk!" ajaknya heboh saat melihat ada penjual minuman keliling.
Dika membelalakan matanya, baru saja mendudukan badan. "Eh buset, baru olahraga, Sya. Minum air mineral aja dulu, jangan langsung yang dingin, enggak bagus buat tubuh" jelas Dika mengingatkan.
"Emang kenapa?"
"Gini, abis kita aktifitas contohnya olahraga, tubuh kita panas, masa langsung dikasih yang dingin-dingin? Gelas aja bisa pecah, kan? Gimana tubuh kita?"
"Oh iya ya, oke, deh. Beli es krim lain kali aja. Makasih ya, Dika, udah ingetin Assya."
"Iya sama-sama, Assya. Nanti siang atau sore deh, Dika beliin es krim, semau Assya aja mau beli berapa, gimana?" tawar Dika sembari mengacak pelan rambut perempuan di sebelahnya.
Assya membolakan matanya tak percaya, "serius, nih? Dika traktir sepuasnya?"
"Iya, Assya. Udah, yuk, pulang?" Dika lantas berdiri dari tempatnya. Assya mengangguk, mengikuti Dika yang mulai melangkahkan kakinya.
Hingga di pertengahan jalan, pertigaan terakhir menuju rumahnya dan rumah Dika, ia melihat banyak balon yang dipajang, hal itu menarik minatnya. "Dika, Dika! Yuk, beli itu! Assya mau, ya ya ya?" pinta Assya menampilkan puppy eyes-nya. Tanpa mendengar jawaban lawan bicaranya, Assya langsung saja menghampiri sang penjual.
"Mau yang mana, Neng?" tanya sang penjual.
"Dika, sini. Assya bingung, mau yang pinguin, tapi jerapah juga bagus, ikan hiu bagus, doraemon juga bagus, hello kitty bagus juga. Ih semuanya bagus, gimana, dong," keluhnya. Dika menggeleng, dasar perempuan kalap mata saat melihat barang yang menggemaskan. "Udah, beli yang bunga aja. Pak, beli balon bunga putih yang di tengahnya warna kuning," putus Dika. Assya menyetujuinya. "Iya, Pak. Itu aja."
Assya dan Dika pun akhirnya melanjutkan jalannya untuk pulang, setelah mendapatkan apa yang Assya inginkan tiba-tiba.

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...