Tak peduli seberapa aamiin-mu, jika Allah tidak berkehendak, mau bagaimana lagi kamu berusaha meskipun semaksimal mungkin?
***
Sejak mengetahui kenyataan tentang kematian Nenek, aku bertekat untuk mencari tahu siapa datang di balik itu semua. Masa bodoh dengan Ayah Bunda yang melarangku untuk kembali membuka lembaran lama.
Aku dan Nesya, yang juga dibantu oleh Dika, mulai memutuskan untuk mencari strategi yang dapat kami gunakan.
Awalnya, keduanya tampak ragu. Dengan berbagai pertanyaan dan pertimbangan.
“Kamu serius mau cari tau semua itu?”
“Jangan lah, Sya. Kalo ini bikin kamu celaka, kita bisa lupain, mungkin pelakunya juga udah enggak ada, udah berapa tahun yang lalu.”
Dan aku? Aku terus mengelak. Bagaimana bisa aku membiarkan pelakunya berkeliaran. Meskipun kematian Nenek bukan sepenuhnya, tapi tidak, Nenek meninggal akibat insiden kecelakaan itu. Jika Nenek tidak ditabrak manusia tak bertanggung jawab itu, Nenek masih bisa bertahan, sampai detik ini.
“Udah, kalo kalian enggak mau bantu. Assya cari tau sendiri aja,” kujawab seadanya. Dan sesuai dugaan, mereka tetap mengikuti keinginanku, mencari tahu siapa dalang di balik semua ini.
Dan mengapa juga, sampai-sampai Ayah Bunda menutupi semua itu?
Misi pertama kami, berkunjung ke kantor polisi. Dengan membawa bukti-bukti yang seharusnya bisa membantu. Setelah kita menunjukkan bukti itu, polisi tampak menimbang-nimbang. Pasalnya, kami kembali membuka kasus lama yang telah ditutup oleh entah siapa.
Jangan lupakan juga. Kami yang masih duduk di bangku SMA, menjadi alasan besar yang membuat mereka tak percaya.
“Ini kasus lama, kalian mau main-main? Apakah video ini benar adanya? Atau hanya editan semata?”
Pertanyaan-pertanyaan mengejek turut menghampiri kami. Menjadi hal biasa.
“Untuk apa kami mengedit video tersebut? Bersusah payah? Enggak ada kerjaan,” sanggah Dika berusaha menahan emosinya.
Bagaimana tidak? Kami datang dengan membawa bukti rekaman cctv, dan rekaman pengakuan dokter dan juga kesaksian orang rumah. Masih belum percaya?
Laki-laki beradan kekar berbaju biasa menghampiri kami, ia dipanggil oleh seorang polisi yang berada tempat di depan kita.
“Tapi mohon maaf sebelumnya, memang benar kasus ini sudah dicabut beberapa tahun lalu.” Setelah diberikan perintah untuk mencari tahu di layar komputer, laki-laki itu berujar, ia pun tampak menunjukkan layar komputernya kepada kami.
“Siapa yang cabut tuntutan?”
“Di sini tertera atas nama Bapak Aziz dan Ibu Zahra. Apakah kalian mengenalinya?”
Deg. Tubuhku terpaku. Bagaimana bisa Ayah dan Bunda mencabut tuntutannya? Jangan bilang mereka memilih cara damai.
“Sya?” Tepukan ringan mendarat di pundakku, Dika menginterupsi diriku agar kembali sadar. Nesya tampak menatap mataku lekat.
“Itu orangtua saya, bisakah kasusnya kembali dibuka? Saya anak keduanya, saya berhak membuka kembali, bukan?”
“Nenek saya meninggal karena kecelakaan itu, tolong bantu kami,” mohonku kepada polisi-polisi yang berada di depan. Aku ingin menemukan pelakunya. Sungguh.
Akan kubuat ia bertekuk lutut, dan kalau pun dia hanya meminta maaf, itu tidak mengobati rasa sakitku. Apakah sakit dibalas maaf itu adil?
Setelah berdebatan yang cukup panjang, akhirnya kalimat yang kita tunggu-tunggu terdengar.
“Baiklah, kita akan kembali membuka kasusnya. Tapi, tetap harus sesuai dengan prosedur. Kami akan terus menghubungi kalian sebagai bahan perkembangan kasus. Kalian bisa pulang, kami akan mencari tahu lebih lanjut.” Aku ternganga, pulang? Nanti dulu. Sebelum hal ini membuahkan hasil, aku belum mau meninggalkan tempat ini.
Tampak polisi tersebut menghembuskan napasnya, mulai mengutak-atik komputer di depannya. Mungkin dirinya paham, bocah-bocah seperti kami akan sulit dibujuk. Dan akhirnya ia membiarkan kami terus duduk, berdiam diri di kursi depannya.
Setengah jam berlalu. Kuakui aku cukup bosan, kutengok Nesya yang menutup matanya sembari menyender pada sofa. Sedangkan Dika yang terus memainkan game di ponselnya.
“Benar, ini cctv yang ada di sekitar tempat kejadian, kami berhasil meretas cctv-nya. Dan kami juga melihat dengan jelas kejadiannya, mobil HRV hitam keluaran tahun tersebut. Terbukti dari plat-nya yang masih baru, tulisan merah berdasar putih.”
Suara tersebut menginterupsi kita bertiga, Nesya langsung membuka matanya, dan Dika yang langsung terfokuskan, sama sepertiku.
Mobil HRV hitam, di sekitar rumah belum ada yang pake mobil itu, masih tergolong mobil keluaran terbaru pada saat itu, batinku.
“Mobil HRV hitam? Di kompleks kita belum ada yang pakai, itu keluaran terbaru, ibukota dulu kan waktu itu yang keluar dulu, belum ada sebulan,” jawab Dika sepemikiran.
“Berarti kemungkinan bukan orang daerah sini, kemungkinan besar dia dari ibukota, lalu ia pindah ke sini, bisa jadi iya bisa jadi enggak,” ucap polisi tersebut.
“Yaudah, kalian pulang duluan aja, setidaknya kalian udah tau mobil yang digunakan pelaku. Ada sedikit perkembangan.”
Benar, meskipun hanya sedikit perkembangan. Bisa saja besok langsung terbongkar pelakunya. Kita bertiga memutuskan untuk pamit, meninggalkan kantor polisi dengan penuh tanda tanya.
Di sepanjang perjalanan, kami bergelung dengan pikiran masing-masing. Kemacetan yang panjang membuat kita bertiga terus berlama-lama di dalam mobil.
“Mobil HRV hitam, keluaran terbaru saat itu. Susah juga carinya,” keluhku kesal, Dika yang duduk di kursi kemudi menjadi bahan amukanku.
Dirinya mendapat pukulan beberapa kali dari tanganku. Maklum, aku anaknya suka mukul. Dika hanya bisa meringis saat tonjokan ringan dari tanganku mendarat di lengan kanannya.
“Sakit, Sya!” Nesya yang berada di kursi belakang terkekeh kecil.
“Kalian ini, orang lagi pusing-pusing mikir masalah, malah cari masalah! Gimana, sih?” tukasnya sebal.
Benar juga. Aku hanya meringis, berhenti memukuli orang di sebelahku. Dika mengusap bekas pukulanku, meskipun badanku kecil, jangan salah, aku juaranya untuk menonjok, hehe.
Kami terus menghabiskan waktu menunggu kemacetan mereda, jam makan siang membuat jalanan menjadi sangat ramai. Sembari menunggu, kami terus bercerita, menghabiskan snack yang ada, dan mendengarkan musik.
Untuk memutar musik pun kita sempat ada perdebatan. Dika yang mau lagu Cendol Dawet, lain hal denganku. Jiwa yang bersedih menjadi lagu pilihanku. Beda selera ini mah. Sedangkan Nesya, hanya menjadi tukang nyimak.
“Eh, eh! Liat!” Nesya berujar dengan menunjuk ke depan. Pada mobil yang melaju dari arah yang berlawanan.
“HRV hitam, tahun ganti plat-nya juga masih. Itu mobil keluaran 2015, berarti mobil baru juga saat itu, kan?” Dika dan aku mengangguk, terus memperhatikan mobil tersebut hingga menghilang.
“Iya, tahun rilisnya tahun 2015, dan sekarang baru 2019, masih nyambung,” lanjut Dika mengangguk-angguk.
Sayang sekali, lampu merah yang menjadi penyebab kemacetan membuat kami harus melaju. Dan kalau mau mengejar pun, pasti sudah tertinggal jauh.
Aku termenung, Dika dan Nesya memang memintaku untuk tidak terlalu dipikirkan lebih dalam. Pasrahkan pada kehendak Tuhan, kalau udah jadi jalannya, pasti menemukan titiknya.
Benar juga, biarkan, toh kita sudah memasrahkan pada pihak polisi. Biar mereka saja yang mencari tahu. Semoga membuahkan hasil yang memuaskan. Semoga saja.
***
Waw, ga kerasa udah 30 bab. Kerasa banget wooiiiii, capeg:(
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomansaAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...