SHAKA • 15

13 1 0
                                    

Percayalah bahwa akan ada sesosok orang yang mau memperjuangkanmu. Bukan untuk menjadi korban selanjutnya. Melainkan karena ia yakin, bahwa kamulah pelengkap dalam hidupnya.

***

Assya Priyayi Az-Zahra.

Matahari pagi menyambutku hari ini. Bergegas menuruni anak tangga, dengan bibir yang terus merapalkan doa-doa. Derai air mata pun tak kunjung berhenti. Mengapa air mata ini tak mau berhenti juga sih? Walaupun dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk memberhentikannya.

Tidak ada orang di rumah, membuatku mau tak mau harus berusaha sendiri. Mengeluarkan sebuah motor matic milikku, yang jarang aku gunakan. Terakhir kugunakan tanpa keraguan saat aku belum mengalami kecelakaan waktu masih duduk di kelas sebelas. Selepas itu aku sedikit trauma sebenarnya, tapi mau bagaimana? Masa terus mengandalkan orang lain? Kala ini, orang tuaku, sahabatku, dan orang tuanya tengah berada di rumah sakit. Dan motorku yang biasanya masih di bengkel.

Dengan terus mengusap air mataku kasar, aku mengenakan helm dan mulai menyalakan mesinnya. Hanya lima menit, dengan segera aku menjalankan benda besi itu. Pikiranku berkecamuk. Pandanganku tak ayal turut kabur saat air mata menghalangi penglihatanku. Mataku membola saat melihat ada tilangan di depan sana. Dan sialnya, aku lupa membawa SIM!

Dapat kulihat keterkejutan dari salah satu polisi yang menilangku. Aku yang tak pernah absen memakai masker apabila berpergian bersyukur karenanya. Setidaknya hidungku yang memerah dapat tertutup. Meskipun hal itu tak mampu menutupi mataku yang memerah akibat menangis.

"Mohon maaf, bisa menunjukkan surat-suratnya?" ucap salah satu polisi, yang kuyakini merupakan orang yang kemarin diberi amanah oleh Shaka saat ban motorku bocor.

"Eng-enggak bawa," ucapku dengan menahan suara agar tak terdengar begitu bergetar.

Mas Shaka mendekatiku. Aku yang sudah siap untuk menangis langsung ditarik dalam pelukannya dan dilepaskannya helm yang melekat di kepalaku. "Hei, kenapa nangis?" tanyanya bingung.

Kenapa aku ditakdirkan menjadi perempuan sensitif sih? Aku lelah, tapi kuyakini orang-orang di luaran sana pasti akan kalut menghadapi situasi seperti ini bukan?

"Enggak bawa SIM, tadi buru-buru mau ke rumah sakit," jawabku dengan isak tangis.

"Siapa yang sakit?" tanyanya lagi, ia menginstruksikan temannya untuk tetap berada di tempat.

"Dika, dia kecelakaan dan dinyatakan koma. Bunda, Ayah, Bibi, sama orang tuanya udah di sana. Ta-tadi Assya tidur, jadi enggak ikut mereka yang katanya mau kondangan. Hiks, kenapa enggak Assya aja yang kecelakaan," jawabku dengan terbata-bata, tenggorokanku tercekat.

"Reza, saya minta tolong kamu urus dulu motornya. Kamu yang sidang, nanti saya ganti. Kamu bawa motor?" tanya Mas Shaka terus mengusap kepalaku yang tertutup hijab abu-abu.

"Siap, saya bawa motor, motor dinas tapinya. Ada di samping mobil patroli, ndan" ucap Pak Reza sembari merogoh kantong celananya.

Mas Shaka meneliti penampilanku yang memakai celana, beruntungnya aku. Tidak memungkinkan. "Yaudah, saya bawa dulu aja ya, kuncinya mana?" Pak Reza langsung menyerahkan kunci mobil.

"Makasih, Reza." Mas Shaka langsung menarikku untuk ikut dengannya menuju perkiran dimana motor Pak Reza berada, dengan segera ia menunkan pijakan motor, mempersilakanku untuk naik sembari memegang tanganku. Jaga-jaga supaya tak terjatuh.

"Udah, tenang dulu. Bentar lagi sampai, maaf ya, nggak bisa nyalip orang-orang, kita tetap harus patuhi peraturan," ucap Mas Shaka terus merapalkan kata penyemangat dengan sesekali mengusap pelangi tangan kiriku yang perpegangan pada pinggangnya. Sedangkan tangan kanan ia gunakan untuk menarik gas.

Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Kepalaku tiba-tiba pusing. Hal yang tidak aku suka ketika sudah menangis. Inilah salah satu alasan yang membuatku tak suka menangis, pasti setelahnya langsung merasakan pusing. Aku berusaha menutup kedua mata. Sedikit menetralkan pusing yang hinggap di kepala.

***

"Dika! Dika mana, Bun, Yah, Pah?" tanya Assya langsung, ia berlari setibanya di rumah sakit hingga ruangan di mana Dika ditempatkan. Di sepanjang lorong pun, keduanya menjadi sorotan. Jangan lupakan Shaka masih mengenakan seragam, dan keduanya berlarian.

"Masih di dalem, lagi ditangani sama dokter," jawab Aziz memeluk putrinya, menyalurkan ketenangan. Zahra, Bibinya, juga kedua orang tua Dika masih dalam posisi duduknya. Zahra yang menangis di pelukan Bibi, dan Nafisa yang menangis di pelukan Ali, suaminya.

"Kok bisa kecelakaan, sih? Gimana ceritanya?" tanya Assya mengurai pelukannya pada sang ayah.

"Ayah, Bunda, Bunda Nafisa, Papa Ali, sama Bibi satu mobil. Sedangkan Dika, dia pakai motornya sendiri. Dia enggak mau ikut satu mobil, mau nikmati suasana, katanya. Dan waktu di pertigaan, ada mobil yang lawan arus, dalam kondisi Dika yang lagi bercanda sama kita. Dan kejadian itu enggak bisa terelakkan," jelas Aziz mengusap air mata Assya yang terus menetes. Assya kembali menubruk badan tegap ayahnya yang berbalut seragam, mereka berempat mengenakan seragam. Dengan Zahra mengenakan seragam persitnya, Nafisa yang mengenakan seragam bhayangkarinya.

"Eh, ini siapa?" Atensi Aziz beralih pada sosok yang berdiam diri di pojokan. Assya lupa!

"Astagfirullah, ini Mas Shaka. Tadi ada tilangan, Assya lupa bawa SIM, huaaa," ucap Assya langsung melakukan dramanya. Aziz terkekeh kecil. "Dasar, putri ayah pikun, masih muda padahal. Gimana nanti kalau udah punya suami," canda Aziz menyubit kedua pipi Assya.

"Kan tadi buru-buru, Ayah," rengek Assya.

"Halah, alasan."

"Kamu jangan mau sama Assya, dia pikun," lanjut Aziz menunjuk ke arah Assya. Ia menginstruksikan Shaka untuk mendekatinya. Tanpa basa-basi, Shaka langsung menuruti. Dan memberikan hormat.

"Pah, masa Ayahnya Assya ngatain Assya pikun coba. Kan emang tadi buru-buru," adu Assya pada Ali yang terkekeh melihat tingkahnya. Assya langsung duduk di sebelah Ali. "Bunda jangan nangis terus, Assya yang liatnya aja cape, masa Bunda enggak?" canda Assya mengusap air mata yang terus menetes di kedua mata Nafisa.

"Iya tuh, Bunda-bunda kamu hobi nangis." Assya terkekeh lalu menuju ibu kandungnya, memeluk wanita yang telah melahirkannya itu dengan erat. "Itu siapa?" tanya Zahra masih sesenggukan.

Assya langsung melepaskan pelukannya. "Yang mana? Itu yang sama Ayah? Bismillah calon suami," ujar Assya keras, disusul gelak tawanya. Shaka langsung terpaku di tempat mendengarnya. Menghadap dua pasang orang tua Assya. Hatinya mantap pada Aziz dan Zahra yang ia rasa merupakan orang tua kandung dari gadis itu.

"Assya," peringat Aziz yang tengah menatapnya.

"Bercanda, Ayah. Lagian kalian nangis mulu, cape Assya liatnya. Kaya Assya dong, ketawa."

"Ketawa, tapi matanya paling merah. Nanti juga kalau sepi pasti langsung nangis," cibir Zahra mengejek putrinya.

"Udah, malu sama tamu. Nak Shaka pasti bingung ya? Orang tua Assya yang mana coba?" tanya Nafisa membenarkan penampilannya, juga posisi duduknya.

"Siap, saya rasa Om sama Tante," ucap Shaka, menunjuk Aziz juga Zahra dengan sopan. "Karena kalau Pak Ali tidak mungkin," lanjut Shaka.

"Pinter kamu. Nanti jangan lupa pushup seratus kali, hadiah dari saya," ujar Ali mengacungkan jempolnya.

"Siap, salah!"

"Santai aja, Shaka. Anggap sebagai salam pertemuan di keluarga. Bukan di instansi."

"Papa kok gitu? Kasian Mas Shakanya," bela Assya menarik ujung lengan baju milik Ali.

"Udah, Sayang. Ayah, Bunda, juga Shaka nggak keberatan. Iya kan, Shaka?"

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang