Tak ada hasil yang mengkhianati perjuangan. Kalau hasilnya kurang memuaskan, hanya ada dua pilihan. Usaha dan doamu yang kurang. Atau perjuanganmu yang masih kalah saing dari banyak orang.
***
"Assya! Bangun, hei. Kamu denger kita, kan?" Dika terus saja mengusap tangan Assya pelan. Mereka tengah berada pada sebuah ruangan yang telah disediakan panitia bagi peserta atau pendamping jika merasa sakit.
Tadi, setelah panitia memberikan pengumuman tersebut, Assya langsung tak sadarkan diri. Jangan lupakan dirinya kelelahan berada dalam ruang ber-AC selama itu, dan perutnya yang tadi pagi hanya diisi beberapa lembar roti.
"Enggh." Assya mengerang mendapati dirinya yang terbaring di atas ranjang. Ada ibunya dan ibu Dika serta Dika yang senantiasa menemani.
Dengan sigap, Dika membantu Assya yang hendak duduk menyenderkan badannya pada kepala ranjang. "Kenapa Assya di sini?" tanyanya sembari menyentuh pelipisnya yang terasa sakit.
"Tadi kamu pingsan, untung pingsannya waktu udah selesai. Jadi Dika enggak terlalu repot," jelas Dika mengambil posisi duduk di sebelah Assya, tangannya pun menggantikan tangan lemah gadis itu, memijat kedua pelipis Assya dengan lembut.
Diam-diam Zahra dan Nafisa menyunggingkan senyumnya, Nafisa pun turut mengarahkan kamera handphone-nya pada kedua anak muda itu, tentunya tanpa sepengetahuan Dika dan Assya. Setelah berhasil, ia menunjukkan pada Zahra. "Bagus enggak?" bisiknya pelan.
Zahra terkekeh kecil. "Bagus, Mbak."
"Bunda ngapain bisik-bisik? Guru-guru ke mana?" tanya Assya dengan nada lemah. Ia masih menikmati jari Dika yang terus memijitnya. Meskipun tangan Dika yang terbilang kasar karena sering olahraga.
"Eh, enggak ada apa-apa kok. Tadi guru kalian izin, ada rapat yang diadakan panitia katanya," jawab Zahra semakin mendekati anaknya, lalu memberikan teh hangat yang tersedia di nakas sebelah tempat tidur.
Assya mengangguk, mengulurkan kedua tangannya entah pada siapa. Ketiganya bingung. "Peluk," ucap Assya masih terdengar lemah.
"Ada Dika tuh, peluk Dika aja enggak papa. Toh kalian sepersusuan, tapi enggak boleh lebih dari sekadar peluk!" ucap Zahra terkekeh kecil melihat ke-absurd-an anaknya.
"Emang iya, Bun?" tanya Dika pada kedua wanita paruh baya di hadapannya.
"Iya, dulu waktu Assya baru lahir, ASI Bunda Zahra belum keluar, jadi Assya minum ASI Bunda, gitu. Baru setelah tujuh hari kalau enggak salah, ASI Bunda Zahra keluar. Kan kasihan kalau Assya enggak minum ASI, apa lagi kalau dikasih susu formula, enggak baik, bayi baru lahir jangan dikasih ASI buatan. Dulu juga, Bunda sempet sakit dua minggu, dan enggak memungkinkan buat ngasih ASI ke Dika, jadi Dika minum ASI Bunda Zahra, deh," jelas Nafisa tertawa pelan jika mengingat peristiwa itu.
"Iya, Mbak. Aku jadi inget dulu. Anak kita berasa tukeran. Aku dulu pengen anak pertama cowok, eh dapetnya alhamdulillah cewek. Dan Mbak yang pengin cewek lagi, malah dapet cowok," balas Zahra memeluk perempuan yang sudah ia anggap kakaknya sendiri.
"OH GITU?!" ucap Assya dan Dika bersamaan. Mereka kemudian berpelukan layaknya seseorang yang baru berjumpa. Terlalu banyak drama.
"Sabar ya, adek. Kakak tau kok rasanya, kakak paham. Sabar ya," ucap Dika mengusap pipi Assya layaknya tengah meneteskan air mata.
"Iya, Kak. Kakak juga sabar, ya. Orang sabar pantatnya lebar," jawab Assya yang juga mengusap pipi Dika.
Tawa Zahra dan Nafisa tak dapat dibendung lagi. Menurut mereka, Assya dan Dika merupakan kakak adik yang sangat apik dalam mendramatisir keadaan. Lihat saja, keduanya dibuat selayaknya orang yang menangis tersedu-sedu. Dan jangan lupa, kasih sayang diantara keduanya sangat kentara.

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomansaAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...