Kadang ada hal yang tidak perlu kita ketahui kebenarannya. Bukan karena egois, tali untuk menjaga kesehatan mental.
***
“Sya, kamu ada yang kelupaan dari cerita kemarin?” tanya Nesya memastikan, saat ini mereka tengah berada di kantin.
Beli istirahat telah berbunyi beberapa menit kali, saatnya isoma, alias istirahat, salat zuhur, dan makan.
“Kelupaan gimana?” tanya Assya balik, ia bingung.
“Soal meninggalnya Nenek. Sebenarnya bukan cuma karena depresi, atau terpuruk gitu, tapi, karena hal lain,” pancing Nesya, yang mana malah semakin membuat Alhena dan Assya kebingungan.
“Maksudnya gimana, sih? Kamu tau sesuatu, Nesya?”
“Btw, kamu enggak diceritain sama Bunda sama Ayah kamu, Sya?” tanya Nesya memastikan.
Assya menggeleng yakin. “Enggak ada, kamu tau sesuatu, Nesya? Coba ceritain,” tuntut Assya, ia pun menyingkirkan mangkuk agar sedikit menjauh darinya, diikuti oleh Alhena.
“Kamu jangan marah ya, jangan cari tau juga, semua udah berlalu.”
“Udah, Nes, buruan cerita,” ucap Alhena menimpali.
“Jadi selama keterdiaman Nenek itu, beberapa kali kita atau keluarga yang rumahnya deket Nenek ngajak Nenek ke makam Kakek. Tujuannya ya supaya Nenek mau cerita, Nenek kalo ke makam Kakek pasti mau cerita, beda lagi kalo udah di rumah. Ya meskipun ceritanya cuma sekadar beliau kangen Kakek, gitu doang.”
“Biasanya kita jadwalin tiap dua minggu sekali, atau seminggu sekali.”
“Iya, kalo itu Assya tau, soalnya beberapa kali pas bulan-bulan awal, aku sama keluargaku sempet nemenin. Tapi, di bulan-bulan akhir sebelum Nenek pergi enggak bisa nemenin,” jawab Assya membenarkan.
Ia masih terus memasang telinganya baik-baik.
“Itu di bagian insidennya.”
“Waktu itu udah sekitar tiga atau empat minggu kita enggak jenguk Kakek ke makam. Enggak bisa nemenin Nenek karena memang kita semua bener-bener sibuk. Kamu tau sendiri, Sya. Waktu itu perusahaan Papaku sama sodara yang lain lagi diambang kebangkrutan.”
“Dan ya, waktu itu di rumah Nenek lagi sepi, enggak ada sodara yang biasanya berkunjung sama sekali. Cuma pembantu sama penjaga, penjaga kompleks juga. Waktu itu, tanpa sepengetahuan siapa pun, Nenek pergi ke makam Kakek. Berbekal ingatannya yang dibilang masih cukup bagus buat jalan ke makam.”
“Berhubung makam lokasinya enggak terlalu jauh dari kompleks, Nenek nekat buat ke sana sendirian. Kata penjaga kompleks pun beliau sempet nyapa Nenek, dan Nenek jawab ‘mau jalan-jalan sore' dengan menampilkan wajah yang keliatan fresh gitu, ya penjaga kompleks mah oke-oke aja, walaupun awalnya sempet kaget katanya, soalnya enggak ada yang nemenin Nenek.”
“Dari hasil cctv di makam, kebetulan keknya, eh enggak tau sih, keknya itu takdirnya ada cctv di makam. Ujung sama ujung, tiap pojokan pasti ada cctv.”
“Nenek di makam sekitar satu jam, dari jam tiga sore sampe empat sorean. Di rekaman itu, Nenek memang nangis, ya meluapkan semuanya seperti biasa ke makam Kakek. Terus akhirnya Nenek memutuskan buat pulang. Awal Nenek berdiri pun sempet pegang kepala. Pusing mungkin ya karena nangis terus dalam keadaan duduk terus meluk gundukan tanah.”
“Nah karena makam itu deket jalan raya, jadi ada beberapa mobilnya yang berseliweran.”
Assya mencerna semua kalimat yang keluar, sampai ia merutuki dirinya sendiri karena menduga-duga.
“Jangan bilang kalo...”
“Nenek kecelakaan? Kalo kamu mikir gitu, iya bener.”
“Enggak ada angin enggak ada ujan, tiba-tiba dari arah belakang Nenek ada mobil hitam yang bawanya ugal-ugalan. Nenek yang di cctv itu jelas-jelas jalan di pinggir, malah kena tabrakan dari mobilnya itu, Sya.”
“Nenek langsung tersungkur ke depan, sekitar tiga meteran dari posisi semula. Untung ada beberapa ibu-ibu bapak-bapak yang ngeliat kejadian itu, dan mereka kenal sama Nenek. Terus langsung lah dibawa Nenek ke rumah dulu. Karena enggak terlalu banyak darah gang keluar, cuma luka lecet gitu. Dan sebagian juga ngejar mobil hitam itu, karena si pemilik malah kabar gitu aja.”
“Semuanya yang di rumah belum ngeh kalo Nenek pergi, sampe akhirnya suara ribut-ribut di luar bikin beberapa pembantu termasuk penjaga ke depan, dan ngeliat Nenek yang udah pingsan.”
“Dianter lah Nenek ke kamarnya. Sempet diperiksa juga sama dokter keluarga, dan dinyatakan masih baik-baik aja. Selang satu jam, Nenek bangun, terus minta kita semua termasuk anak cucunya buat ke rumah, buat kumpul. Kan katanya, Nenek minta dirahasiain soal kepergiannya ke makam sendiri itu, termasuk insiden kecelakaan itu. Awalnya pembantu yang jaga enggak mau, tapi karena Nenek sampe mohon gitu, jadi mau enggak mau. Dari pada kena omel sih kayaknya.”
“Sampe abis magrib, kita semua udah kumpul. Nenek kejang-kejang, dan dipanggil lah dokter ke rumah.”
“Tapi belum sempet dokternya sampe ke rumah, Nenek udah berpulang duluan. Denyut nadinya, detak jantungnya, napasnya, semua udah enggak bisa di dengar lagi.”
“Terus sempet ada perbincangan antara dokter sama pembantu yang dikasih amanah Nenek buat enggak bilang ke siapa pun. Dari hasil pengecekan Nenek, ternyata ada dampak dari kecelakaan itu. Benturan yang keras dari belakang, bikin tulang tengah Nenek mengalami retakan, beberapa tulang pelindung badan termasuk tulang rusuk juga retak, malah ada yang mengalami pergeseran.”
“Tapi enggak ada gang berani bilang, Sya! Dokter yang awalnya mau bilang pun takut, ikut tutup mulut karena itu pesan dari Nenek. Nenek enggak mau semuanya berlanjut, cukup diketahui karena depresi dan sejenisnya.”
“Nenek juga takut kalo pada tau soal beliau pergi ke makam, kata pembantunya gitu, Sya.”
“Kamu tau dari kapan?”
“Apanya?”
“Tau cerita ini semua?” Wajah Assya sudah berubah drastis, yang semula biasa saja, sedih, dan kecewa.
“Aku juga baru tau, Sya. Aku baru tau kemarin pas pulang dari sekolah. Aku iseng buka rekaman cctv di rumah utama, di tahun kejadian. Dan sabotase cctv yang ada di makam juga, beruntungnya masih ada. Aku kemarin sempet ngirim pesan juga ke pembantu yang ada, semua aku kirim pesan. Dan begitu fakta yang aku terima. Aku juga mastiin buat datang langsung ke rumah Nenek, tapi terbatas, Sya. Papa Mama kemarin enggak begitu lama ada di Jogja. Dan kebetulan kepentingannya deket rumah Nenek. Pembantu juga masih dipekerjakan.”
“Nes, aku enggak nyangka.” Assya menggelengkan kepalanya, seakan tak percaya.
“Kamu bohong, iya kan? Tapi enggak dengan begini, Nesya. Nenek udah tenang di sana, Nenek meninggal karena depresi, udah gitu aja.” Assya masih menyangkal, napasnya pun memburu membuat Alhena yang berada di sampingnya mengelus bahu Assya perlahan.
“Tenang dulu, Sya. Nesya kamu ada bukti sesuatu gitu, siapa tau buktinya bisa bikin kita yakin,” ucap Alhena menengah.
“Ada, aku ada banyak. Bukti rekaman cctv makam, sampe bukti rekaman percakapan aku sama pembantu. Dan rekaman cctv kamar Nenek.” Nesya menunjukkan semua bukti rekaman, membuat Assya membelalakan matanya.
Rahasia sebesar ini kenapa tidak ada yang memberitahu dirinya?
“Anak-anak Nenek tau?”
“Tau semua, Sya. Beberapa hari setelah Nenek meninggal, pembantu sama dokter ngasih tau kebenarannya, meskipun awalnya ditolak mentah-mentah.”
“Berarti cuma aku yang baru tau? Sama kamu kemarin.”
Nesya mengangguk membenarkan. Sementara pikiran Assya entah kemana, melamun.

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...