SHAKA • 12

8 1 0
                                    

Jangan menilai dari luar. Seperti setiap mawar yang indah memiliki duri. Semakin seseorang tampak bagus di luar, semakin kamu harus meragukannya di dalam.

***

Sesuai dengan yang direncanakan, sabtu sorenya Assya sudah berada di rumah sahabatnya, Alhena. Tugasnya tadi pagi hanya sampai jam makan siang. Dan karena itu pula, ia terpaksa harus rela berpisah dengan pak polisi yang tadi bersenda gurau bersamanya, yah, Shaka.

Shaka mempunyai manik mata kecoklatan yang tajam, alisnya hitam serta tebal. Bulu matanya pun lentik, padahal ia laki-laki. Dirinya saja yang perempuan tidak selentik itu. Rambut yang dipotong sesuai aturan. Oh, jangan lupa. Badannya yang nampak sangat pelukable bagi Assya. Mungkin laki-laki itu sering melakukan olahraga, terbukti dari bentuk tubuhnya yang terlihat begitu keren.

Assya lupa, mana mungkin seorang abdi negara jarang melakukan olahraga, memangnya dirinya? Tidur, makan, sekolah, main, makan, tidur lagi. Gitu aja terus.

"Woi, mikirin apa hayo?" ledek Alhena menggoyangkan tubuh Assya yang tengah duduk di atas kasur queen size miliknya, dengan kedua kaki menjadi tumpuan dagunya dan senyum yang si dari tadi mengembang.

Assya langsung mengerjapkan matanya. "Enggak, ishh. Enggak mikirin apa-apa, serius," jawab Assya dengan jari terangkat membentuk peace.

Alhena turut mendudukkan badannya di sebelah Assya, memangku laptopnya yang sedang mendownload sebuah film. "Iya, deh, iya. Percayaaa," ucap Alhena pada akhirnya, meskipun sebenarnya ia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Assya.

"Tadi aku tugas bareng pak polisi lho, dia baik, ganteng, badannya pelukable banget, bahunya tadi melambai-lambai minta disandarin masa," jawab Assya sembari membayangkan Shaka. Senyuman itu. "Senyumnya bikin jantung rasanya enggak aman."

"Nah, tuh kan, ngaku juga lo," ucap Alhena terkekeh.

"Hehe, eh iya, katanya kamu punya kakak laki-laki, polisi juga. Kok Assya enggak pernah liat?" ucap Assya membenarkan posisi duduknya. Tatapannya kini menuntut jawaban dari sahabatnya.

Alhena kembali mengalihkan atensinya pada layar laptop. "Iya, kakak aku polisi. Sering tidur di asrama, jadi ya gitu, jarang pulang. Sering dinas juga, karena dia salah satu pemimpin, walaupun masih muda. Dan karena prestasinya juga, dia jadi tokoh yang dibanding-bandingin sama aku, ya gitu deh, wkwk," jawab Alhena tertawa, tatapannya sesekali mencuri pada Assya.

Assya mengangguk paham. "Kamu- dibanding-bandingin? Serius?" tanyanya dengan wajah tak percaya.

Alhena kembali tertawa. "Kenapa? Enggak percaya? Emang itu faktanya. Di rumah ini, aku kaya anak tiri tau enggak, Sya? Apa-apa Abang. Apa-apa yang disanjung, pasti Abang. Aku mah cuma remahan rengginang. Mau aku gini gitu pun salah. Bingung aku lho," jawab Alhena selesai dengan kegiatannya mendownload film.

"Kamu udah coba buat berusaha jadi yang orangtua kamu mau?" tanya Assya terus menatap sahabatnya.

Alhena tersenyum kecut dan menggeleng. "Udah sering, dari dulu malah. Dan hasilnya enggak pernah mereka hargai. Mau aku sepinter apa, mau aku berbuat kaya Abang, tetep aja hasilnya nol di mata mereka. Ikut organisasi kaya Abang? Udah aku lakuin. Jadi salah satu peraih rangking tiga besar? Udah juga aku lakuin. Beres-beres, enggak pernah nolak keinginan mereka. Udah semua. Dan hasilnya sama. Aku ya aku. Aku bukan Abang. Aku perempuan. Wajar kalo Abang bisa ini itu, dia kuat, dia laki-laki," jawab Alhena meletakkan laptopnya di kasur. Tubuhnya ia posisikan agar menghadap sepenuhnya pada Assya.

"Aku kadang bingung. Suka tanya-tanya sama diri aku sendiri. Apa yang belum aku lakuin? Dan ternyata, emang begitu dari dulu. Makanya aku jarang ikut olimpiade, ya gitu, aku cape, dari zaman masih duduk di bangku sekolah dasar, aku selalu harus ikut olimpiade. Sampai SMP. Dan semenjak masuk SMA, aku sadar, mau sebanyak apapun medali yang aku raih, itu enggak bakal cukup buat Mami sama Papi," lanjut Alhena.

"Al, aku enggak nyangka. Sumpah. Yang aku liat keluarga kamu baik-baik aja," ucap Assya menjelaskan keterkejutannya.

"Enggak, Sya. Enggak semua yang kita liat luarnya, sesuai sama dalamnya juga. Mami Papi sering perlakuin aku dengan baik di depan orang, beda lagi kalo lagi di rumah, dan Abang pulang, wahhh semaleman itu mah. Mami sering bilang gini, 'coba jadi kaya Abang, dia bisa semua, jadi polisi pun dia bisa, bahkan baru beberapa tahun dia di kepolisian, dia udah bisa jadi pemimpin di timnya,' gitu aja terus. Coba sih, aku yang digituin, pasti bahagia banget," ucap Alhena sembari tertawa sumbang.

"Lho? Emang Abang kamu umur berapa?"

"Baru otw dua puluh dua tahun, Sya. Lahiran tahun 1998."

"Berarti cuma selisih tiga tahun sama kamu? Kamu kan 2001," ucap Assya menganggukkan kepala. "Iya, jadi, bisa dong nih, jadi calon kakak iparku," goda Alhena menarik turunkan alisnya.

Kedua pipi Assya memerah. "Ishh, enggak boleh gitu. Bisa jadi Abang kamu udah punya calonnya," jawab Assya tetep mempertahankan mimik wajahnya agar tak terlalu kentara.

"Belum ada, ihh pipinya merah. Haha, Assya blushing!" tawa Alhena kembali pecah, ia lalu mengarahkan kamera handphone-nya. "Sahabat gue blushing, guys."

"Alhena!!" Dan pada akhirnya terjadilah aksi kejar-kejaran. Saat tengah asik dengan kegiatannya, pintu kamar Alhena berbunyi. Sosok wanita paruh baya muncul dibaliknya setelah Alhena membukakan pintu.

"Makan dulu, dek. Ajak Assya sekalian. Udah Mami siapin semuanya di bawah, ayo, turun," ujar wanita tersebut, Dinda.

"Aaaaa, Mami. Makasih ya udah dimasakin, oke-oke, kita turun. Ayo, Sya, makan dulu," ucap Alhena sembari memeluk ibunya dari samping. Assya mengerjapkan matanya. "Eh, enggak usah, tadi Assya udah makan kok," jawabnya menunduk sopan pada Dinda.

"Kan tadi siang, Sya. Sekarang udah malam, ayo makan, nak. Nanti Mami sedih lho, dan kamu enggak boleh ke sini lagi kalo enggak mau makan," ancam Dinda mengusap lengan anaknya yang melingkar di perutnya.

"Nah lho, ayo makan. Cuma kita bertiga, Papi sama Abang lagi kerja," ucap Alhena berjalan menuju sahabatnya, lalu menarik tangan Assya tanpa rasa bersalah.

"Masa harus ditarik dulu, Sya."

***

"Kalian udah lama temenan?" tanya Dinda sembari memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Saat ini mereka tengah berada di meja makan. Sesuai dengan perkataan Alhena, ayahnya serta kakaknya yang sama-sama polisi sedang melakukan tugasnya sampai malam. Dan kemungkinan pulang pagi, atau bahkan tidak pulang.

"Hehe, iya, Tante. Sejak kelas sepuluh," jawab Assya sopan.

"Kok kamu mau temenan sama Alhena ini? Padahal dia begonya minta ampun, nge-lag mulu, heran," ucap Dinda meledek putrinya.

Hal itu jelas membuat Alhena tak terima. "Astagfirullah, Mami. Enggak gitu juga kali. Malu-maluin," kesal Alhena menatap sinis ibunya. Sedangkan Dinda hanya tertawa.

"Haha, nge-lag," imbuh Assya tertawa.

"Heh, lo juga sering nge-lag, ya. Jan ngadi-ngadi," cibir Alhena.

Halloww, next bab siap?

-rosseevanaa

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang