Benar kata orang. Akan ada dua kemungkinan setelah pertempuran pertama. Yaitu, entah ia akan menetap, atau hanya sekadar singgah?
***
Hari sabtu telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh seorang Assya untuk melakukan tugas pertamanya. Pagi-pagi sekali ia bersiap diri. Kini, ia tengah menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Memeriksa apakah ada sesuatu yang salah dari penampilannya.
"Baju pramuka oke, atribut oke, jilbab oke, sepatu sama kaos- oh iya, kaos kaki di mana coba?" gerutunya sembari mengangkat beberapa kaos kaki di lemari, yang sayangnya bukan kaos kaki pramuka.
"Bunda, kaos kaki-"
"Ini apa, Kak?" ucap seseorang yang menatap Assya sembari menyilangkan kedua tangan.
Assya sedikit terkejut mendapati ibunya yang sudah berada dalam kamarnya. Tatapannya mengikuti benda yang ditunjuk oleh ibunya dengan dagu. Tepat berada di atas kursi belajarnya. Ia meringis, lalu meraihnya.
"Kan kamu yang naruh di situ, masa lupa, sih?" ujar Zahra dengan tertawa.
"Hehe, lupa, Bunda. Saking semangatnya mau tugas nih, Bun," canda Assya sembari mengenakan kaos kaki dan sepatu pantofelnya.
Zahra mendekati anaknya yang duduk tengah mengenakan sepatunya di atas kasur. Ia turut mendudukkan diri di sebelah Assya. Menatap putrinya yang tampak berbeda setiap kali mengenakan seragam pramuka lengkap dengan atribut. Meskipun bukan hal yang pertama kali ia lihat, namun tetap ada rasa kebanggaan tersendiri melihat putrinya mengenakan pakaian itu. Menjadi saksi bisu setiap perjuangan Assya. Kering, basah, kering, basah lagi.
"Semangat banget sih, anak Bunda. Udah siap tugas nih? Jangan teledor, jangan sampai ceroboh nanti. Jaga nama baik. Harus sopan santun, apalagi sama orang yang lebih tua. Pasti banyak yang ikut kan, Kak?" tanya Zahra mengusap kepala Assya pelan. Assya selesai dengan aktivitasnya, ia menatap ibunya sebentar sebelum memeluk wanita yang sudah mengurusnya sedari kecil.
Assya mengangguk dalam pelukan. "Iya, Bunda. Doain Assya semoga lancar semua," balasnya dengan suara yang sedikit teredam oleh jilbab sang bunda.
"Pasti, Nak. Bunda pasti doain yang terbaik buat anak-anak Bunda."
***
Setelah mengikuti apel pagi, para anggota yang bertugas langsung berpencar, menempatkan dirinya masing-masing. Mereka terdiri dari beberapa gabungan, TNI, Polri, Dishub, Dinkes, Pramuli, serta lainnya. Pada tugas kali ini, dilakukan penyekatan arus mudik di beberapa titik guna menetralisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Kecelakaan akibat mengantuk karena terlalu panjangnya kemacetan, misalnya.
Assya melambaikan tangannya pada Dika yang tengah mengatur lalu lintas. "Semangat, Dika," ucapnya dengan menggerakkan bibir, tanpa bersuara. Dika balas tersenyum dan mengangguk pelan. Ia juga memberi kode untuk Assya segera masuk ke dalam tenda yang telah dibangun.
Assya terkekeh, lalu masuk ke dalam tenda besar yang digunakan untuk tempat peristirahatan bagi mereka yang membutuhkan. Di belakang tenda tersebut, ada pula toko atau kios yang menyediakan beberapa jenis makanan. Memudahkan bagi mereka untuk istirahat sejenak.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi, dan Assya sudah merasa bosan. Pagi tadi, ada beberapa pengunjung, dan sekarang sudah tidak ada. Teman-temannya tidak tahu ke mana. Sepi. Itulah yang menggambarkan suasana tenda kali ini. Beberapa polisi masih melakukan patroli. Dan yang lainnya mungkin sedang di luar, atau bagaimana. Entah, Assya tidak tahu.
Saat sedang menggulir layar ponselnya, suara sepatu yang saling bertubrukan dengan lantai kayu mengalihkan perhatiannya. Seseorang yang mengenakan pakaian dinasnya. Lengkap dengan baju anti peluru serta senjata api yang bertengger di tubuh bagian depan.
Assya langsung menundukkan kepalanya saat tatapan mereka bertubrukan. Bahaya. Mereka hanya berdua. Sedangkan tatapan laki-laki itu mampu membuat matanya tak ingin mengalihkan pandangan. Ia menggelengkan kepalanya beberapa saat, dengan sangat pelan.
"Kamu kenapa?" sapa laki-laki itu dengan meletakkan peralatannya. Membebaskan tubuhnya dari benda-benda yang terasa memberatkan.
"Eh- astagfirullah." Assya mampu meraih handphone-nya yang hampir saja terjatuh. Suara polisi itu terdengar mengalun indah di telinganya. Dan suara berat itu pun yang berhasil membuat Assya berpijak kembali.
"Enggak apa-apa, Pak," jawab Assya dengan menampilkan deretan giginya.
Polisi yang dapat Assya lihat namanya di bagian baju itu hanya mengangguk. "Temen-temennya ke mana?" tanya Shaka, polisi yang berhasil membuat ponselnya hampir terjatuh tadi.
"Assya kurang tau, tadi masih di luar padahal," ucap Assya menghembuskan napas kasar. Bisa-bisanya teman-temannya pergi tanpa dirinya?
"Jalan-jalan mungkin, sini," ujar Shaka sembari menepuk sebelah tempat duduknya. Assya melangkah ragu. Pasalnya, tempat duduk laki-laki itu berada di sofa yang menghadap pada jalan raya, berada di pojok. Sedangkan tempat duduknya tadi adalah sebuah kursi kayu yang berada dekat dengan pintu tengah.
"Enggak papa, saya enggak gigit kok," canda Shaka pada gadis berpakaian pramuka yang baru saja mendaratkan dirinya tepat di sebelahnya. "Saya Shaka, Adishaka Putra Atmajaya. Panggil Shaka aja. Kamu?" ucap Shaka memperkenalkan diri.
Bunda, Assya deg-degan ditatap pak polisi, batin Assya berteriak.
Bukannya menjawab, Assya malah terus menatap manik mata kecoklatan milik laki-laki di sampingnya. "Sya?" ucap Shaka dengan melambaikan tangan kanannya di depan wajah Assya.
"Eh- astagfirullah. Astagfirullah hal'adzim, Assya malu-maluin," ucap Assya dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Hal itu tak luput dari perhatian Shaka, dirinya melengkungkan senyum tipis melihat kelakuan anak SMA di depannya, yang sialnya sudah mencuri perhatiannya sejak mengikuti apel tadi pagi.
"Nama Assya, Assya. Lho- eh, astagfirullah." Shaka tak dapat lagi menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Assya Priayi Az-Zahra. Panggil Assya, udah, gitu," lanjut Assya cepat.
"Bapak kalo ketawa manis, ya. Punya gigi taring gitu, lucu," ucap Assya memajukan wajahnya. Melihat lebih jelas wajah Shaka. Sedangkan Shaka langsung mendatarkan kembali wajahnya. Ia tipikal orang yang sangat jarang tertawa, jangankan tertawa, tersenyum pun ia jarang.
Tapi, kenapa Assya mampu membuatnya melengkungkan bibir dan tertawa? Batin Shaka terheran dengan dirinya sendiri.
"Yah, datar," desah Assya kecewa.
"Kamu dari mana?" tanya Shaka mengalihkan topik.
"Assya dari tadi, Pak," jawab Assya spontan.
Shaka tersenyum. "Maksudnya, asal sekolah mana?" tanyanya lagi.
Assya membuat bibirnya seperti bentuk huruf O. "Dari SMA Bhakti Pertiwi, Pak," jawab Assya berhasil membuat Shaka sedikit terkejut, namun ia menormalkan mimik wajahnya. "Kamu kelas dua belas?" Assya mengangguk.
"Kamu berarti seumuran adik saya, dia juga sekolah di sana. Kelas apa ya, saya lupa. Intinya dia IPS, anggota OSIS," ucap Shaka membuka laptopnya.
Mana Assya tau, Pak. Dikira anak OSIS Cuma satu orang. Anak IPS yang jadi OSIS banyak, ya kali Assya tanya satu-satunya, batin Assya.
"Oh gitu."
"Kamu ada rekomendasi film? Kita nonton aja, yuk," ajak Shaka mulai membuka aplikasi streaming-nya.
"DOTS, Pak. Assya udah sering nonton itu, bagus, ceritanya enggak bikin bosen, bikin baper iya," jawab Assya cengengesan.
Shaka sebenarnya sudah pernah menonton atas dasar paksakan adik perempuannya, tapi perkataan Assya ada benarnya. Film itu tidak memberikan efek bosan kepada penonton, meskipun diputar berkali-kali. "Oke, ayo kita nonton berdua. Sambil nunggu jam makan siang sama yang lain balik ke posko."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...