SHAKA • 27

7 2 0
                                    

Mau bahagia boleh, sangat boleh. Tapi, jangan sampai kamu ambil kebahagiaan orang lain demi kebahagiaanmu sendiri.

***

Suara knop pintu yang terkunci membuat perempuan yang sedang mencuci piring di dapur menghentikan aktivitasnya. Mendongak ke arah lantai dua, tempat berada di dekat kamarnya.

“Abang mau kemana? Kok tumben pergi pake baju santai gitu.” Dengan kedua tangan yang masih basah, Alhena menghampiri kakaknya yang mulai menuruni tangga dengan kaos maroon berlengan pendek serta celana pendek hitam yang melekat di tubuhnya.

“Mau jalan-jalan sebentar, kenapa, Al?”

“Kemana, Bang?” tanyanya berharap tidak sesuai dalam benaknya.

“Nemenin Assya beli buku di Gramedia, enggak papa, kan, tunggu rumah dulu?” Alhena meringis, melihat kakaknya yang masih membenarkan letak jam tangannya.

“Enggak papa, Al biasa jaga rumah, kan?” Kalimat yang sebenarnya tak ingin ia ucapkan, dari pada menyakiti kakaknya, lebih baik ia memendamnya.

Shaka mengalihkan perhatiannya, hatinya tertegun melihat adiknya, benar juga, Alhena selalu berada di rumah tanpa keluar sama sekali.

“Gimana kalo kamu ikut juga? Maafin Abang ya, kadang enggak bisa jagain kamu di rumah, kamu tau sendiri kalo Papi sibuk, dan Mami akhir-akhir ini punya kesibukannya sendiri. Ngertiin dulu ya?” Shaka hendak mendekati sang adik, sebelum langkahnya terhenti tatkala Alhena menaikan tangannya, mengisyaratkan untuk berhenti melangkah.

“Alhena kurang ngertiin gimana lagi? Masih belum puas bikin Alhena begini? Alhena selalu ngikutin semua kemauan Abang, kemauan Mami Papi, Alhena udah berusaha semaksimal mungkin, tapi emang kalian ngertiin Alhena balik? Enggak. Alhena juga punya perasaan, enggak cuma kalian yang mau dingertiin, Alhena mau!” ujar Alhena dengan napas menggebu-gebu, buih-buih air mata membanjiri pelupuk matanya.

“Alhena cape, dari kecil Alhena harus ini itu, tapi, Alhena masih sabar. Papi sibuk cari uang buat keperluan kita katanya, Alhena terima. Mami selalu nuntut biar Alhena bisa sama derajatnya kaya Abang, Alhena juga terima. Dari kecil Alhena dituntut ini itu, Alhena ikut olimpiade, sampe akhirnya masuk SMA, Alhena mulai cape, dan itu malah tambah parah, Papi Mami makin enggak suka. Cuma Abang yang bisa jadi sandaran Alhena, tapi sekarang? Kemana, Bang? Jawab!” Alhena tak kuasa menahan tangisnya, ia jatuh terduduk di lantai.

Hal memilukan yang membuat Shaka sadar. Cuma dirinya yang Alhena percayai, hanya dirinya tempat Alhena berkeluh kesah. Disaat teman-temannya mengira ia sangat cuek, namun lain hal saat adiknya berkata ‘Abang sibuk? Alhena mau ngobrol bentar boleh?’

Dan kalimat itu sekarang sudah jarang diucapkan.

Ia mendekati sang adik, merengkuhnya dengan erat. Sesekali mencium kepala Alhena.

“Maafin Abang, maaf karena Abang kamu jadi begini. Abang terlalu teledor, enggak mikirin perasaan kamu. Kamu bisa cerita apa pun ke Abang, Alhena adek Abang, Alhena kesayangan Abang, sekarang dan seterusnya. Apa pun yang Alhena butuhin, Abang bakal berusaha sebaik mungkin buat Alhena, biar Alhena bisa senyum. Biar Alhena ngerasa ada Abang yang sayang banget sama Alhena. Maafin Abang, ya?” Alhena mengangguk, napasnya masih tersenggal-senggal setelah menangis.

“Yaudah, sekarang Alhena maunya gimana? Mau Abang tetep di sini nemenin Alhena? Atau gimana?” tawar Shaka, ia masih memeluk sang adik.

Alhena menggeleng. “Abang harus tetep jalan, pasti Assya nungguin. Tapi Alhena minta sesuatu boleh?”

“Mau apa?”

“Alhena ikut, ya? Alhena bosen,” bujuknya membuat Shaka tampak menimang-nimang. Hingga akhirnya ia mengangguk.

“Boleh, yuk? Ganti baju dulu sana.” Alhena tampak tersenyum gembira, dengan segera ia melangkah ke kamarnya.

Setelah kepergian adiknya, Shaka membuka handphone dengan tujuan memberitahu Assya bahwa ia sedikit terlambat, ia juga bilang kalau dirinya mengajak sang adik. Dan Assya tidak keberatan sama sekali.

***

“Abang, Abang. Itu bagus tuh,” ujar Alhena menunjuk bando kelinci yang berjejer rapi.

Mereka sudah berada di sebuah mall, berjalan-jalan sebentar sebelum ke tujuan utama. Assya yang berada di gandengan Alhena mengikuti arah tunjuk sahabatnya. Benar juga, bando yang lucu menurutnya.

Shaka yang berada di belakang keduanya mengangguk, merangkul pundak kedua perempuan itu dan mengajaknya memasuki toko.

Alhena meminta dibelikan dua, yang mana satunya untuk Assya.

Bando kelinci dengan telinga berwarna abu-abu sudah berada di kepala Alhena, sedang Assya menggunakan bando kelinci yang bertelinga pink.

Shaka tersenyum kecil melihat keduanya. Ia berharap semoga adiknya dan kekasihnya bisa akur selamanya. Harapannya.

“Lucu kan?”

“Iya, iya, kalian lucu pake itu. Sekarang mau kemana lagi?” tanya Shaka kembali merangkul kedua perempuan yang berharga di hidupnya, menuntun untuk kembali mengelilingi mall yang sangat luas itu.

“Makan dulu yu?”

“Enggak cari buku dulu? Cari buku pasti bikin cape, nahh abis itu tinggal makan,” saran Assya, bertentangan dengan Alhena.

“Nah makanya makan dulu, baru cari buku. Biar punya tenaga,” sanggah Alhena.

Shaka yang melihat keributan di depannya buru-buru menengahi. “Gimana kalo cari buku dulu? Abis itu makan, mau makan apa nanti terserah kalian deh, Abang yang traktir sepuasnya hari ini.”

Alhena menghembuskan napasnya kasar. “Iya, iya.” Dirinya melangkah dengan lemas.

Abang belain Assya, kenapa enggak belain Alhena? Alhena adek Abang, sedangkan Assya orang baru di hidup Abang, batinnya menggerutu.

“Hihi, nanti dulu ya makannya, keburu kelupaan kalo beli bukunya nantian,” ujar Assya menoel lengan sahabatnya.

“Hm, emang beli buku apaan, sih? Sepenting itu kah?” tanya Alhena mencebikkan bibirnya. Kesal.

“Lho? Lupa, Al? Kita disuruh beli buku mandiri mapel ekonomi akuntansi, soalnya di perpustakaan udah abis stoknya karena pada ilang.” Alhena terbelalak, dirinya melupakan hal tersebut.

“Lupa, Alhena?” Suara berat laki-laki membuyarkan rasa terkejutnya.

“Hehehe, lupa beneran, yaudah yuk, let's go!

Shaka tersenyum mengejek. “Tadi sok-sokan enggak mau, lupa sendiri kan!”

“Yaudah sih, biarin. Namanya juga lupa,” elak Alhena sembari menarik Assya menjauhi sang kakak. Rangkulan Shaka yang semula berada di pundak Assya, terlepas begitu saja.

Shaka menghela napasnya, begini nih kalo ngadepin adik yang cemburuan. Dirinya paham, sangat paham malah, Alhena yang merasa kurang suka dengan hubungannya dengan sahabatnya. Tapi, Alhena berusaha menutupi itu, tetap saja, Shaka bisa membaca gerak-geriknya, dan juga ekspresinya.

Setelah mendapatkan apa yang mereka cari, mereka memutuskan untuk makan sushi. Lebih tepatnya Alhena yang memilih makanan tersebut.

“Mas, Assya ke toilet dulu, ya? Kebelet,” ujar Assya sesaat setelah makanan tiba.

Shaka yang duduk di samping Assya, melihat perempuan itu yang memegang perutnya. “Mas temenin ya? Takut kamu kesasar.”

“Ish, enggak usah, Mas di sini aja. Nanti yang ada orang-orang mikir aneh.”

“Enggak, Mas temenin dari luar pintu toilet, yuk? Dari pada ngompol,” ejek Shaka, mendapat tepukan pelan di tangan.

Assya menyetujuinya. Benar yang dikatakan oleh Shaka, dari pada kesasar dan berujung penyekapan yang kaya di novel-novel, kan bahaya.

“Gue enggak mau perhatian Abang terbagi, Sya. Maaf kali ini emang gue harus egois, lo punya keluarga yang bahagia, sedangkan gue enggak.” Kalimat tersebut dapat Shaka dengar dari earphone yang sedang bertengger manis di telinganya. Earphone yang terhubung pada handphone-nya yang tergeletak di meja. Tanpa sepengetahuan siapa pun.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang