SHAKA • 37

6 0 0
                                    

Pernah mendengar filosofi kupu-kupu? Jadi lah seperti dirinya, yang terus terbang belas ke samudera luas. Membentang memberikan keindahan, meskipun badannya sakit tak tertahan.

***

Di dalam kamar, aku masih bergelung dengan pikiranku sendiri. Aku masih terus memikirkan hal yang membuatku merasa sangat kecewa. Kali ini, sudah berapa banyak kali aku dibohongi?

Sudah berapa banyak air mata yang kutetesi hanya karena masalah ini? Tak peduli mau dia sahabatku, mau dia kekasihku. Sungguh, aku tak memperdulikannya. Aku juga perlu menyenangkan diriku sendiri bukan? Aku juga berhak bahagia dengan menentukan pilihanku sendiri bukan? Kali ini, tolong restui aku.

Terdengar ketukan pintu, seseorang masuk dari balik benda itu. Bunda, buru-buru kuhapus air mata yang masih tersisa. Tangisku tak lagi semenyihkan sebelumnya. Lebih lega, meskipun sesekali terasa berat saat menarik dan juga menghembuskan napas.

“Bunda masuk, ya?” izin Bunda dengan suara teduhnya. Suara yang selalu membuatku tenang tatkala mendengarnya.

Aku berusaha tersenyum menanggapi. “Iya, Bunda. Masuk,” jawabku sembari berusaha membenarkan posisi yang semula tengkurap menjadi bersila, memeluk boneka beruang coklat kesukaanku.

Biar kujelaskan. Aku memang mempunyai beberapa boneka, tetapi boneka beruang coklat inilah satu-satunya yang paling aku suka. Boneka pemberian Nenek dan Kakek saat merayakan umurku yang ke tujuh belas tahun.

Bunda berjalan menghampiriku, ia duduk di pinggiran kasur. Sembari memasang senyum, ia berkata, “Assya kenapa? Ada yang ganggu pikiran Assya? Sini cerita sama Bunda, cerita sepuas Assya. Mau sampe berjam-jam pun Bunda siap buat dengerin. Mau ya, cerita ke Bunda?” Aku mengangguk menimpali.

“Tadi Assya ketemu sama Alhena,” ucapku, Bunda tampak menautkan alisnya.

“Alhena sahabat kamu, kan? Terus kenapa pulang-pulang malah nangis? Harusnya seneng dong, abis ketemu temen,” ujar Bunda sesekali mengelus rambutku perlahan.

Aku tersenyum getir. “Bunda tau? Biar Assya cerita dari kejadian kemarin-kemarin, ya.”

“Bunda tau kan? Soal Assya yang buka kembali kasus Nenek. Terus polisi udah nangkep pelakunya. Dan ternyata Mas Shaka. Tapi setelah Ayah sama Bunda bilang kalo bukan Mas Shaka pelakunya, Assya langsung ke tempat. Bunda inget kan?”

“Nah, di kejadian itu, Assya sama Mas Shaka saling maaf-maafan. Assya ngerasa bersalah karena udah bikin Mas Shaka dipenjara. Tapi, hal itu bukan sepenuhnya salah Assya kan, Bun? Mas Shaka yang katanya nyerahin diri ke polisi. Kita udah saling ungkapin rasa bahagia, sedih, pokoknya campursari aduk.”

“Terus tadi, kenapa Assya pulang dalam keadaan nangis abis ketemu sahabat Assya. Ternyata yang jadi pelaku tabrak lari itu ayahnya Mas Shaka, Papinya Alhena, sahabat Assya. Bun, awalnya Assya udah bahagia denger kenyataan kalo bukan Mas Shaka pelakunya. Jadi enggak ada alasan buat Assya benci sama Mas Shaka, kan? Tapi tadi secara tiba-tiba, kebahagiaan itu seakan sirna. Ternyata emang bukan Mas Shaka, tapi Papinya. Dan Mas Shaka udah tau hal itu semua, buktinya dia sampe nyerahin diri. Bunda paham kan yang Assya rasain?” tangisku tak dapat lagi terbendung sejak kalimat-kalimat awal. Bunda memahaminya dengan menarikku ke dalam pelukannya.

“Iya, Bunda paham maksud kamu, Sayang. Bunda ngerti perasaan kamu. Maafin Bunda sama Ayah juga yang selama ini nutupin semuanya dari kamu. Bunda sama Ayah enggak bermaksud lain, tujuannya ya supaya kamu enggak kepikiran aja. Tapi ternyata salah. Maafin kita ya, Kak?” ujar Bunda ikut mengeluarkan air matanya. Dapat kurasakan Bunda yang juga sedih, tampak menyesali perbuatannya.

“Bun? Salah enggak kalo Assya jadi kurang respek ke Mas Shaka?” tanyaku tiba-tiba. Bunda pun melepaskan pelukan kami, menatapku lekat-lekat.

“Kenapa kamu bilang gitu?”

“Iya gimana, Bunda tau kan? Kalo Assya paling enggak suka dibohongi. Ayah dan Bunda paham itu. Assya enggak Cuma nyalahin Mas Shaka dan Papinya, tapi Ayah dan Bunda juga sama. Assya ngerasa kecewa karena udah dibohongi. Terlebih lagi sama orang-orang yang Assya sayang,” ucapku mantap. Aku susah memutuskan sesuatu hal, sudah kupikirkan juga matang-matang.

“Kamu belum maafin kita, Kak?” tanya Bunda dengan raut kecewanya.

“Bukan masalah itu. Assya juga perlu bikin hati Assya kembali membaik setelah dibohongi kalian. Assya perlu hal itu kan? Dan Assya udah mutusin satu hal...,” ucapku menggantung. Kutatap manik mata Bunda lamat-lamat.

“Apa, Nak?”

“Bunda janji bakal turutin kemauan Assya?” ucapku dengan mangangkat tangan kanan. Mengantisipasi agar Bunda tak berubah pikiran.

Bunda tampak menimbang-nimbang. Tak ayal dirinya turut mengangkat tangan, menautkan kedua tangan kami. “Insyaallah kalo kita bisa turutin,” jawab Bunda.

“Assya mau kuliah di luar negeri.” Satu kalimat yang berhasil membuat tangan Bunda yang masih bertaut lemas seketika.

Hehe, maaf Ayah, Bunda. Assya enggak bermaksud, Assya juga mau Ayah Bunda ngerasain akibatnya. Enggak semata-mata karena Assya balas dendam, tapi salah satu impian Assya buat kuliah di luar negeri, batinku.

“Kenapa harus di luar? Kamu masih belum bisa maafin Ayah Bunda? Kenapa, Kak?” Bunda kembali menangis. Kali ini dirinya beranjak keluar kamar, berteriak memanggil Ayah.

Hadehhh, Bunda kan orangnya panikan, mana dibawa perasaan banget, pikirku dalam hati.

Setelah panggilan keras yang berulang-ulang itu, Ayah hadir dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa?”

Bunda menarik Ayah untuk mendekati kasurku. “Ini, Assya mau kuliah katanya.”

“Ya bagus dong. Jangan dilarang, anak pilih jalan yang bagus harus di dukung, Bunda,” jawab Ayah enteng.

“Masalahnya kuliah di luar negeri, Yah. Kalo di dalem mah Bunda setuju banget, tapi ini?” Ayah mematung sedetik setelah mendengarnya.

Hehe, maaf Ayah, anak perempuanmu ini mau terbang bebas, berkelana ke samudra luas, asekkk, batinku terkekeh geli.

“Bener, Kak? Di luar negeri?” Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Yaudah, mau gimana lagi,” jawab Ayah pasrah. “Emang apa alasan kamu kuliah jauh? Banyak kok univ dalam negeri yang bagus-bagus, mau masuk kedokteran di swasta juga Ayah sanggup bayarin.”

Aku tersenyum kecil. “Ayah, dari dulu Assya selalu bareng Ayah sama Bunda. Bagi kalian, Assya ini masih anak kecil kan? Kali ini tolong biarin Assya memilih jalan sesuai dengan keinginan Assya sendiri. Biasanya kan Ayah Bunda bantu berkontribusi di pilihan Assya, kali ini aja, Yah? Bun? Assya juga perlu berdamai sama diri Assya sendiri. Ayah sosok yang paling tau soal Assya. Hal yang paling Assya enggak suka adalah kebohongan, Ayah enggak lupa kan? Tapi kenapa kalian malah bohongin Assya? Kenapa enggak langsung cerita waktu Assya tanya soal Nenek, yang malah bikin Assya cari tau sendiri,” jelasku tenang, Ayah seakan mencerna semua kalimat yang terlontar dari mulutku.

“Kalo itu udah jadi keputusan kamu, Ayah sama Bunda izinin. Ayah juga enggak mungkin ngelarang kamu buat nentuin pilihan setelah ini. Kita rasa, kamu udah cukup dewasa buat nentuin semua hal yang kamu mau. Selagi itu baik bagi kamu dan enggak ngerugiin orang, Ayah sama Bunda setuju dengan keputusan kamu.”

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang