Hal yang paling aku sukai ketika melihatmu tersenyum adalah matamu. Matamu yang mampu membuatku semakin melayang dibuatnya.
***
"Astagfirullah, kenapa ban depan pake acara bocor segala, sih? Mana tinggal beberapa menit masuk. Ya Allah, bantuin Assya," dumel Assya dalam posisi jongkoknya, pasalnya ban motor matic-nya bocor. Perjalanan ke sekolah masih jauh, sedangkan tinggal sepuluh menit lagi kelas akan memulai pelajaran.
Kalau biasanya dia bareng sama Andika tapi, hari ini Dika ada urusan keluarga yang membuat laki-laki itu tak masuk sekolah.
Saat hendak menuntun motornya, sebuah kendaraan berhenti tepat di sebelahnya. Assya menghentikan aktivitasnya yang tengah menyantelkan helm, motor besar khas polisi. Ia menantikan siapa orang tersebut. Hal yang ditunggu Assya pun tiba, orang tersebut membuka helm fullface-nya. Assya membelalakkan matanya terkejut. Selalu tampan, pikirnya.
"Motor kamu kenapa?" tanya laki-laki itu, kemudian turun dari motornya.
"Assya," panggilnya lagi saat gadis berseragam SMA itu hanya memandanginya.
"Eh, ini ban motor Assya kayaknya bocor, mana bentar lagi masuk. Bakal telat lama deh," jawab Assya menghembuskan napasnya kasar.
Laki-laki tersebut menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengambil alih motor Assya, dan membawanya berjalan. Sebelum itu, ia meminggirkan motor besarnya sendiri. "Kamu tunggu sini, jagain motor saya. Saya ke depan, di depan ada razia yang dilakukan teman-teman saya. Bisa saya ambil kunci motornya?" tanya Shaka mengangkat tangan kanannya, meminta kunci. Ya, laki-laki itu adalah Shaka.
Pertemuan ke dua.
Assya menunjukkan letak keberadaan kunci yang masih bergelantungan di tempatnya. Shaka tersenyum malu, lalu mengangguk dan menyerahkan helm milik Assya. Ia mulai melangkahkan diri. Assya pun berjalan menuju motor Shaka yang terparkir. Kira-kira apa yang selanjutnya terjadi? Seperti ini saja jantungnya masih sempat-sempatnya berdetak dengan kencang. Dan jangan lupakan wajahnya yang memerah. Untung pakai masker, tapi kenapa laki-laki itu mengenalinya?
Tak lama kemudian, Shaka kembali dengan sedikit berlari. Mengusap peluh yang menetes di pelipisnya. Masih pagi, dan melihat laki-laki di hadapannya sudah berkeringat, membuat Assya susah hanya sekadar menelan air liurnya.
"Ayo, saya antarkan kamu ke sekolah," ucap Shaka khas dirinya, datar. Ia pun langsung naik dan mengenakan helmnya, lalu mengulurkan tangannya ke belakang. Menjadi tumpuan agar memudahkan Assya untuk naik. "Kamu pakai celana panjang, kan?"
"Assya mah pakai terus," jawab Assya mengacungkan jempolnya. "Buruan naik, atau perlu saya angkat?" Dengan sedikit kesusahan, Assya langsung naik pada motor laki-laki itu, tentunya dengan berpegangan pada tangan Shaka.
Ya Allah, jantung Assya rasanya mau terbang dari tempatnya, batin Assya berteriak.
"Pegangan," ujar Shaka sedikit mengeraskan suaranya. Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Shaka langsung meraih kedua tangan Assya agar melingkar di perutnya. Tarikan gas mengurungkan niatan Assya untuk melepaskan diri. Shaka membawa motornya dengan sedikit cepat, membuatnya mau tak mau harus memeluk laki-laki itu, jika tak mau terjatuh ke aspal.
Semoga dia enggak denger suara jantung Assya yang lagi dangdutan, ya Allah. Ini perutnya keras banget, astagfirullah, sadarkan terus Assya, biar nggak khilaf, batin Assya, lagi.
***
"Assya?" panggil Shaka sembari melirik kaca spionnya yang menampilkan gadis di boncengannya.
Assya yang tengah memejamkan mata sembari menikmati udara sejuk di sekelilingnya, seketika membuka mata perlahan. "Eh, kenapa, Pak?" tanya Assya semakin mendekatkan wajah keduanya, matanya melirik bola mata Shaka dari samping.
Shaka yang merasakan hawa panas dari tubuh Assya seketika meremang. Membuat bulu kuduknya berdiri. "Kamu kelas berapa?" tanyanya mengalihkan rasa gugup.
Gila cuy, ya kali polisi menampakkan gugupnya, bisa jatuh pamornya, batin Shaka.
"Kelas dua belas, Pak," jawab Assya seadanya. Posisi keduanya masih sama.
Shaka mendengus kesal, apakah dirinya setua itu hingga dipanggil bapak. "Saya keliatan tua banget ya? Sampai-sampai kamu panggil saya Pak terus," tanya Shaka mengeraskan suaranya, ia pun turut menoleh ke kanan, hingga tatapan keduanya bertemu.
Assya membelalakan matanya, terkejut. Jujur hatinya sudah tidak bisa dikondisikan, semakin berdebar. "Pak, lampu ijo, Pak! Jalan!" ujar Assya menepuk perut Shaka keras, pasalnya mereka sudah diberi teriakan-teriakan khas ala-ala orang yang mengomentari akibat tak kunjung jalan. Padahal lampu sudah berubah menjadi hijau.
Shaka mendesis pelan, merasakan perutnya yang ditepuk dengan tak manusiawi. "Sakit."
"Hehe, maafin Assya, Pak. Oh iya, soal Assya yang panggil Bapak dengan sebutan 'Pak', ya emang Bapak udah Bapak-bapak, kan? Atau panggil Om aja? Kan abdi negara udah biasa dipanggil Om atau Pak sama masyarakat, bagus juga toh panggilannya," jawab Assya dengan cengirannya. Yang terlihat hanyalah matanya yang semakin menyipit.
"Kalau semisal dipanggil Kak, belum tentu kalian yang lebih tua. Kalau dipanggil Mas, enggak semua orang atau masyarakat bisa terima, misal kaya di mana si ya Assya lupa, panggilan Mas cuma buat yang udah nikah, masa kita tanya dulu udah nikah belum. Nahh, jadi lebih enak Pak atau Om, toh nantinya bakal jadi bapak-bapak, tau om-om. Hehe."
Shaka mengangkat tangan kirinya, ia menggenggam tautan tangan Assya yang berada di perutnya. Mengusapnya dengan pelan. "Saya masih terlalu muda buat dipanggil Om. Selisih umur kita juga cuma tiga atau empat tahunan. Nanti dikira keponakan yang jalan sama Om-nya. Padahal sama pasangannya," ucap Shaka pelan. Perkataannya tersebut berhasil membuat Assya semakin salah tingkah.
Dia ngerasain detak jantung Assya nggak sih? Malu banget, Mama, anakmu dibuat baper masa, batin Assya. Ingin rasanya ia berteriak pada laki-laki di pelukannya ini.
Shaka menyunggingkan bibirnya kala tak mendapat respon apapun. Untung saja dirinya mengenakan helm fullface, yang hanya menampilkan bagian matanya.
"Em, Assya panggil Mas aja gimana? Atau Kak?"
"Mas aja," putus Shaka, ia semakin mengembangkan senyumnya.
"Sampai. Nanti saya jemput mau?" tawar Shaka sembari membantu Assya untuk turun. Gadis itu masih terfokuskan pada penampilannya, ia sedikit menggeser tubuhnya agar dapat melihat pantulan dirinya di kaca spion. "Pinjem kacanya. Em emang enggak papa, Mas?" tanya Assya tanpa mengalihkan atensinya.
"Nanti Assya minta jemput aja, oh kalau enggak sama Dika. Eh tapi Dika enggak berangkat si."
Shaka menarik tangan kanan Assya agar gadis itu menghadap dirinya. Kedua tangannya terulur untuk membenarkan letak jilbab Assya yang sedikit miring. Assya terpaku, lagi. Tatapan keduanya bertemu. "Yaudah, itu enggak jadi masalah, selagi saya bisa," jawab Shaka mengambil alih helm yang berada di tangan kanan Assya.
"Udah, sana masuk. Pintu gerbang mau ditutup itu," lanjut Shaka melirik ke arah gerbang, kedua tangannya sudah siap untuk melajukan motornya. Assya yang tersadar langsung berlari, baru beberapa langkah, ia berbalik kembali. "Makasih, Mas. Assya duluan. Assalamu'alaikum," ucapnya langsung berlari lagi ke arah gerbang.
Shaka hanya bisa tersenyum. "Wa'alaikumsalam." Tak melihat lagi keberadaan Assya yang sudah tertelan tembok, ia pun menyalahkan mesin motornya. Meninggalkan area sekolah.

KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...