SHAKA • 34

4 0 0
                                    

Jangan main hakim sendiri, ksmu enggak tau kehidupan sesungguhnya orang lain itu bagaimana. Bisa jadi lebih baik dari pada kamu.

***

Seorang perempuan berambut pendek sebahu tengah melamun di kamarnya. Suara televisi yang menampilkan sebuah tontonan kesukaannya pun tak lagi menarik minatnya.

Memikirkan bagaimana bisa dan apa penyebabnya? Dirinya adalah seorang adik yang percaya pada kakaknya. Percaya pada sosok laki-laki yang menjadi pelindungnya, disaat ayahnya tak bisa menjadi garda terdepannya.

Ya, perempuan itu adalah Alhena. Setelah kepulangannya dari cafe kemarin, ia terus mengurung diri di kamar. Ingin rasanya ia menemui sang kakak untuk meminta penjelasan, tapi dirinya tak mampu.

Padahal Alhena sangat yakin bahwa bukan kakaknyalah penyebab semua ini. Dan untuk menguatkan feeling-nya, ia harus mencari bukti-bukti.

Di satu sisi, ia tersadar bagaimana polisi bisa menangkap Shaka. Pasti ada bukti yang dengan kuat menyebabkan Shaka menjadi tersangka.

Memantapkan hati untuk memulai mencari bukti, setidaknya sedikit meringankan hukuman kakaknya. Ya, ia harus berusaha. Pasti ada sesuatu yang bisa saja ia gunakan sebagai bahan penguat opininya.

Keadaan rumah sedang sepi, ia memberanikan diri untuk memasuki kamar kakaknya, mencari apa saja. Berkas misalnya. Sekian menit berlalu, semua penjuru ruangan sudah ia geledah.

Dibukanya laci yang terakhir, berisi tumpukan surat-surat. Alhena memindahkan semuanya di kasur. Mengobrak-abrik kertas-kertas tersebut. Nihil, dirinya tidak menemukan apa pun kecuali selembar foto yang mengalihkan perhatiannya.

Foto tersebut merupakan foto kakaknya bersama polisi-polisi yang lain, sekitar kurang lebih seratus orang berjejer rapi untuk berfoto bersama. ‘Pelatihan Skill Menembak Angkatan 2018’.

“Pelatihan di Semarang dari bulan Juli sampe September? Berarti di bulan Agustus, Abang enggak pulang dong? Orang ini pelatihan tiga bulan. Aneh. Masa iya Abang pulang, mana dibolehin,” ujar Alhena mengernyitkan alisnya.

Mungkinkah itu satu bukti yang ia temukan?

“Oke, bawa aja. Kita keep, coba Alhena ayo cari yang lain, pasti dapet,” ujarnya pada diri sendiri.

Lembar lain ia temukan. Lembar berupa sertifikat atas kegiatan tadi yang ia temui. “Nah kan, ini sertifikat pelatihan yang tadi. Di sini tertulis tiga bulan, dari Juli sampe September. Berarti di selang waktu itu, Abang enggak pulang. Gue masih inget dengan jelas kok, Abang tiga bulan enggak pulang di bulan Juli waktu itu, pulang-pulang waktu gue ulang tahun di bulan Septembernya.”

“Oke, bukti satu lagi. Mami kita cari yang lain.” Alhena terus menggeledah berkas-berkas yang ada, hanya beberapa sertifikat pelatihan, piagam kejuaraan, penghargaan atas kenaikan pangkat, dan lain-lain. Ia tak menemukan bukti yang lainnya.

“Di sini Cuma ada surat-surat kendaraan Abang yang lain. Cuma dua motor, sama mobil yang biasa Abang pake, yang merah itu. Udah, enggak ada lagi. Terus kalo bener itu mobil Abang, harusnya ada surat-suratnya dong. Kok enggak ada sih!” gerutunya sembari mengacak-acak rambutnya.

“Atau coba cari di kamar Papi Mami? Kali aja ketemu, kan itu mobil lama. Coba kali ya,” ujar Alhena, ia mulai membereskan kembali kertas-kertas yang tadi telah diobrak-abrik olehnya.

Ia melangkah keluar dengan membawa dua lembar kertas berupa foto dan sertifikat pelatihan sang kakak.

“Bismillah aja deh, semoga ketemu. Lagian Papi Mami masih di luar kota, semoga beneran pulang besok.” Alhena terus menyemangati dirinya sendiri.

Ia mulai mencari bukti-bukti yang sekiranya dibutuhkan. Mulai dari lemari pakaian, laci meja, dan tempat lain yang memungkinkan. Sebelumnya, ia sudah mengunci pintu kamar terlebih dahulu. Jaga-jaga saat pembantu yang bertugas membersihkan kamar itu datang.

Alhena langsung membuka laci, berharap dirinya mendapatkan sesuatu seperti di kamar kakaknya tadi. Dan benar, banyak tumpukan berkas-berkas.

“Nah ini banyak banget!” ujarnya girang.

“Ini berkas perusahaan, perusahaan, toko, rumah, dan... kendaraan. Coba buka yang kendaraan langsung kali ya. Abang pernah bilang, yang punya banyak kendaraan itu Papi, bukan Mami atau pun Abang sendiri.”

Alhena terus mencari, hingga atensinya tertuju pada suatu map. Berkas yang berisikan tentang kendaraan Papinya.

“Mobil, mobil, mobil.” Alhena membaca semua kalimat dengan seksama. Menunjuk kertas itu dengan jarinya agar tak ada satu kata pun yang terlewat.

Dan, boomm.

“What?!”

***

“Bunda, Assya pulang!” teriakan menggelegar seantero rumah. Biasa, sungguh.

Dika yang masih senantiasa berada di samping perempuan tersebut lantas angkat tangan. Seorang perempuan dengan celemek sembari membawa alat masaknya datang menghampiri.

“Kamu ini, salam dulu, Kak. Jangan dibiasain yang buruk-buruk. Enggak baik!” omel wanita paruh baya tersebut.

“Hehe maaf. Udah ah, Assya lagi enggak mood. Bun, Ayah di mana?” Assya lantas mengambil posisi duduknya pada sofa ruang keluarga. Meluruskan kakinya, sedangkan Dika melenggang pergi ke dapur, berniat mengambil minum.

“Enggak mood kenapa emang?”

“Itu, Bun. Soal pelaku kecelakaan Nenek,” jawab Dika kembali dengan kedua tangan yang membawa jus mangga favoritnya.

Zahra terkejut. Menoleh ke arah Dika yang terus berjalan. Menatap kedua anaknya bergantian.

“Kalian...,” ucapnya terpotong.

“Kita udah tau pelakunya, Bun. Polisi juga udah nangkep itu orang,” jawab Assya pelan.

Aziz yang sedari tadi diam di tempat, turut melangkahkan kakinya. Jujur saja, dirinya sama terkejutnya dengan sang istri. Anak perempuannya memang benar-benar tak bisa dianggap remeh.

“Terus siapa pelakunya?” tanya Aziz sembari mendudukan diri di dekat putrinya.

“Laki-laki yang udah bikin Assya nyaman, Yah. Shaka,” jawab Assya lemah. Ia sangaja memelankan kata terakhir.

Meskipun pelan, tetapi hal itu masih bisa didengar baik oleh Aziz maupun Zahra.

“Shaka? Cowok kamu itu, Kak?” Kali ini Zahra bersuara, mendekati ketiganya yang terduduk.

“Kenapa harus dia, Bun, Yah? Disaat Assya udah nyaman, disaat Assya mau kenal sama cowok lebih dalam, disaat Assya udah punya perasaan yang lebih. Kenapa harus kaya gini ujungnya? Kenapa juga kalian nutupin ini semua dari Assya? Mau liat Assya sakit hati? Nangis-nangis terus depresi?” ujar Assya yang tak dapat lagi membendung air matanya.

Zahra menggeleng. “Enggak, kita sama sekali enggak bermaksud gitu, Sya. Kita sayang sama kamu, Ayah Bunda mau yang terbaik buat kamu. Sebelumnya kita udah jelasin, jangan cari tau orangnya, kita udah selesaikan semuanya dengan kekeluargaan, di keluarga besar Bunda juga udah beres, Sya. Makanya Ayah Bunda enggak mau ngungkit-ngungkit luka lama lagi.”

“Dan kita rasa, ada kesalah pahaman di sini. Harus diluruskan, bukan Shaka pelakunya, Sya.”

Assya membolakan matanya, begitu pun dengan Dika. “Mana mungkin? Orang bukti-bukti tertuju ke Mas Shaka, Bun. Assya udah bertekat buat akhiri hubungan.”

“Kamu yakin? Di saat kaya gini, kamu aja masih manggil dia dengan sebutan ‘Mas’. Yakin mau lepas gitu aja, Sya?”

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang