SHAKA • 18

6 1 0
                                    

Masa lalu memang pemenangnya, tapi, bukan berarti masa depan tak menjadi dambaan dan impian untuk kehidupan selanjutnya bukan?

***

“Assya, gimana sih ngerjain soal ini?” saup-saup terdengar suara beberapa orang yang tengah berbincang-bincang di ruang keluarga.

“Allahu, gini caranya—.” Seseorang yang dimintai penjelasan mulai menjelaskan apa yang tadi ditanyakan. Hingga penjelasan selesai, ia bertanya, “gimana? Udah paham belum? Masih level gampang ini, lho.”

“Ya kan kamu tau, Sya. Kapasitas otak gue gimana, apalagi kalo soal matematika. Matematika itu rumus yang bikin pusing tau enggak?” Alhena mendumel, ya perempuan yang meminta penjelasan itu Alhena. Saat ini mereka tengah mengerjakan tugas matematika dari gurunya di ruang keluarga milik Alhena. Meskipun terkenal baru masuk di SMA, tapi pelajarannya sudah banyak.

“Enggak juga, ah. Matematika ada rumusnya, kalo kamu tau rumusnya pasti gampang deh,” jawab Assya terkekeh kecil.

“Enggak sama sekali!”

“Makanya jangan mendoktrin pikiran kamu kalo matematika itu susah, Al. Coba bilang ke diri sendiri, cintai dulu matematika, pasti deh, kamu jadi suka pelajarannya, terus ngerasa gampang deh.”

Alhena menghembuskan napasnya kasar. Ada benar nya juga. Tapi, menurutnya matematika emang sesusah itu, lho. Mau dibilang matematika gampang, matematika enggak susah, iya bagi mereka yang paham. Tapi bagi Alhena lain. Matematika itu susah. Masih mending ngerjain bikin puisi, cerita pendek, ngerangkum buku paket sejarah beruluh-puluh lembar, lah ini? Matematika. Alhena angkat tangan kalo soal ini.

Dirinya awalnya memang suka matematika tapi, itu dulu. Waktu masih jaman-jamannya sekolah dasar. Kan masih tergolong mudah, tuh. Di kelas pun Alhena pasti dapat nilai yang bagus, ia pun menggaet rangking satu atau dua di tiap angkatan. Semenjak SMP, motivasinya mengenai matematika menurun. Kenapa ya? Fisika, kimia, biologi masih mending baginya kala itu.

“Eh, Sya. Laper enggak? Makan dulu yuk? Gue laper nih, ngerjain matematika bikin perut keroncongan,” keluh Alhena dengan mengelus perutnya, meyakinkan Assya bahwa ia tengah lapar.

“Hehe, sama, sih. Emang mau makan apa?”

“Bibi tadi pagi udah masak banyak, yuk ke dapur, makan dulu.”

Dan benar saja, sesampainya mereka di dapur, sudah tersedia banyak sekali makanan. Dari beberapa macam sayur seperti kangkung, sop bening, dan jengkol balado, kesukaan sang kakak. Beserta lauk pak dan makanan pencuci mulut seperti buah-buahan.

“Sebanyak ini? Padahal hari sabtu ini kamu cuma sama kakakmu kan?”

“Iya, bibi emang biasa masak banyak walaupun Mami Papi enggak di rumah. Katanya takut kita tiba-tiba laper, kan udah siap tinggal manasin, tok Mami Papi juga enggak masalah. Kalaupun enggak abis, bisa buat barengan sama Bibi, sama Pak Mamat. Tapi pasti abis, sih.” Alhena menjelaskan sembari mengambil nasi dan lauk pauknya. Menyarankan agar Assya mengambil yang banyak. Lumayan kan. Pulang-pulang nanti tinggal tidur, hehehe.

Seseorang sedari tadi melihat interaksi keduanya dari lantai atas. Mulai melangkahkan kaki menuruni tangga, lengkap dengan pakaian serba hitamnya, serta topi hitam dan masker kain hitam yang berada di lehernya. Ia berjalan menuju dapur, berniat mengambil botol minumnya.

“Eh, Abang?” Alhena baru menyadari keberadaan sang kakak yang membelakanginya tengah minum di mini bar.

“Iya,” balas sang kakak seadanya.

“Abang enggak pulang nanti malem, kamu bisa ajak temenmu nginep dulu di sini. Jaga rumah, kunci semua pintu. Kalau ada apa-apa panggil Bibi sama Pak Mamat. Abang berangkat duluan,” lanjutnya kembali melangkahkan kaki, tanpa meminta jawaban dari adiknya ia meninggalkan dapur. Suara sepatu yang beradu mulai menghilang.

“Gimana, Sya?” Sepeninggalan kakaknya, Alhena langsung menanyakan pada Assya.

“Apanya?”

“Itu soal tadi yang Abang bilang, kamu nginep di sini dulu ya? Please, malem ini aja, mumpung malem minggu. Itu pun kalo kamu enggak keberatan, sih,” jawab Alhena sembari menautkan jari-jarinya, memohon.

“Kamu enggak usah gitu, iya aku nginep sini. Bentar aku bilang dulu ke orangtuaku.” Assya mengeluarkan handphone yang berada di saku celananya. Mulai mengetikan sesuatu di layar handphone-nya itu.

“Bentar ya, nunggu jawaban.” Alhena menghembuskan napasnya.

“Dari pada pulang kesorean, Sya. Udah jam empat gini, mending nginep.”

“Eh boleh nih, udah dijawab sama Ayah Bunda, ACC.”

Alhena langsung senyum sumringah. Melakukan selebrasi dengan berjoget-joget ria. Semenyenangkan itu.

“Sya, nonton drakor, ayo?” Malam telah tiba, Assya baru saja melaksanakan salat isya dengan baju tidur milik Alhena yang melekat di tubuhnya.

Alhena sudah membuka laptop di atas tempat tidur. Menunggu Assya bergabung. “Boleh aja, mau nonton apa? Maraton sampe malem, hayuk.”

Alhena tersenyum smirk. “Pasti kalo di rumah kamu enggak bisa nonton sampe malem menjelang pagi, ya?!” todongnya.

Assya meringis. “Haha kan sendiri tau, Al. Udah ayo mau nonton apa.” Keduanya memosisikan tengkurap, dengan laptop yang berada di tengah-tengah keduanya.

“Genre romantis aja ya.” Setelah memutuskan sebuah drama yang ingin ditonton, keduanya mulai memfokuskan diri. Sesekali berbincang-bincang dan mengambil cemilan.

“Eh, Al. Itu tadi kakak kamu?” Alhena mengangguk. Mereka sudah menyelesaikan satu episode.

“Iya, kakakku. Bang Shaka, dia masih seumuran kok, belum terlalu tua, selisih berapa tahun gitu,” jelas Alhena.

“Abang tadi nya enggak ada tugas malem ini. Tapi, enggak tau tuh tiba-tiba. Padahal kemarin bilangnya ke Mami Papi enggak pergi-pergi, jagain aku di rumah. Tapi karena ada kamu, enggak masalah, sih. Hehe.”

“Eh cemilannya mau abis, ambil lagi ayo di dapur, sekalian bikin susu, biar anget.” Assya mengangguk, mengikuti langkah temannya itu menuruni tangga menuju dapur.

“Kamu biasa sepi gini, Al? Emang orangtua kamu kemana?”

“Mereka lagi di rumah kakek nenek di Malang. Mungkin besok baru pulang.” Mereka masih berada di dapur, membuat susu coklat kesukaan keduanya.

“Kamu juga pasti ditinggal kan sama orangtua? Ya entah itu lama atau enggak, kan Ayah kamu tentara,” lanjut Alhena sembari mengambil kue kering ke dalam mulutnya.

“Iya, kita sama kok. Kadang kalo Ayah sama Bunda ada kegiatan di kesatuan, ya aku cuma sama adikku. Mau gimana lagi, ya kan?”

“Eh emang kamu sama kakakmu enggak ikut nih? Ke rumah Nenek Kakek, lho.”

“Enggak, udah biasa kita enggak mau ikut, cape di jalan. Ambil cemilan yang banyak, Sya. Sekalian botol minumnya.”

Assya mengangguk dan menyimpan cemilan di keranjang kecil, saran dari Alhena. Supaya muat banyak katanya. Keduanya kembali ke kamar, sebelum itu ditemani Assya, Alhena kembali memastikan jika pintu dan jendela sudah terkunci rapat. Bibi pasti sudah kembali ke kamarnya.

Seseorang mengamati keduanya dari cctv, cctv itu tersambung pada layar handphone miliknya. Memastikan sang adik dan temannya aman berada di rumah. Seseorang itu Shaka. Ia seharusnya tidak ke kantor malam ini, tetapi dikarenakan ada tugas dari komandannya, mau tidak mau.

Kilas balik beberapa tahun lalu saat adiknya masih duduk di bangku kelas sepuluh. Shaka tersenyum kala mengingat bahwa itu merupakan pertemuan pertamanya dengan teman adiknya.

Halloww, masih ada nungguin kah?

-rosseevanaa.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang