SHAKA • 16

7 1 0
                                    

Kau tau, patah hatinya seorang saudara? Saat ia harus merelakan saudaranya mempunyai pasangan. Itulah yang membuat hatinya sakit, tapi, mau bagaimana lagi?

***

“Dika kapan bangunnya? Lama banget ish, Bunda coba deh tabok bokongnya,” ujar Assya menatap kesal ke arah Dika yang masih terbaring lemah di atas brankar. Lima jam berlalu, dokter sudah menyatakan bahwa Dika telah melewati masa komanya, kini hanya menunggu laki-laki itu sadar. Dika pun sudah dipindahkan ke ruang rawat.

“Sabar, Sayang. Kamu salat asar dulu gih, tinggal kamu, Shaka, sama Bunda Zahra yang belum salat,” ucap Nafisa  mengelus lengan yang berdiri di sebelahnya dengan Assya pelan.

Assya mengangguk. Lalu dirinya mengajak sang ibu juga Shaka yang tengah berbincang-bincang. Bibinya sudah pulang, dan Ayahnya serta Ali sedang berada di kantin rumah sakit.

Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Shaka berada di depan, dengan Zahra dan Assya yang di belakang. “Shaka itu polisi, Kak?” bisik Zahra pada anaknya.

Assya memutar kedua bola matanya. “Bunda bisa liat seragamnya,” jawabnya tak kalah pelan.

“Ya kan kali aja pinjem gitu.”

“Kurang kerjaan banget, Bunda,” jawab Assya frustasi, suaranya sedikit meninggi membuat laki-laki yang diperbincangkan berhenti dan menoleh ke arah keduanya. “Kenapa?”

“Eh ini, Bunda bilang, katanya mau ngitung keramik, perasaan enggak sampai-sampai, gitu,” jawab Assya terkekeh, jawabannya itu mendapat pukulan kecil dari sang ibu.

“Astagfirullah, Bunda. KDRT ini namanya,” ucap Assya terkejut, dibuat-buat.

Mereka kembali melanjutkan langkahnya. Ruangan tempat Dika berada di ujung kiri lantai dua, sedangkan masjid rumah sakit berada di lantai bawah ujung kanan. Rumah sakit ini hanya tersedia dua lantai, meskipun begitu, bangunannya cukup memanjang ke belakang. Ada taman yang cukup luas juga di samping bangunan, yang sering digunakan untuk menghirup udara segar bagi pasien-pasien yang membutuhkan.

***

“Dika belum bangun juga, Bunda?” tanya Assya saat dirinya memasuki ruangan, diikuti Zahra dan Shaka di belakangnya.

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, princess Ayah,” ucap Aziz menatap sinis pada anaknya. Dirinya juga Ali sedang duduk di sofa ruangan, dengan beberapa macam makanan yang telah mereka beli. Sedangkan Nafisa masih duduk di sebelah tempat tidur Dika.

“Hehehe, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ayah, Papa, Bunda,” ulang Assya dengan tertawa, dirinya kembali ke pintu, mengulangi gerakannya. Shaka sangat ingin tertawa, namun sebisa mungkin ia tahan. Alhasil telinga dan wajahnya sedikit memerah.

“Ketawa aja, Mas. Enggak usah ditahan,” sinis Assya sembari mencomot roti bakar yang masih terasa panas.

“Makanya belajar yang baik, enggak Cuma belajar di sekolah, tapi di kehidupan juga, di rumah sering diajarin kan, Kak?”

“Iya, ayam nyosor meri, i'm sorry.

Mereka yang melihat itu tak mampu lagi menahan tawanya. “Kamu yakin mau sama anak kami? Dia bobroknya minta ampun, enggak ada serius-seriusnya sama sekali lho,” goda Zahra menarik Shaka untuk ikut duduk di sofa.

“Bunda jangan buka aib anaknya sendiri dong.” Assya melangkah mendekati ranjang dimana Dika terbaring. “Bunda Nafisa, gantian dong. Assya mau duduk di sini,” lanjutnya dengan menampilkan wajah yang dibuat seimut mungkin.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang