Tak peduli bagaimana dan seperti apa, akan kupastikan kamu bahagia bersamaku. Menjalani hari dengan penuh bahagia.
***
Adishaka Putra Atmajaya.
Hingga saat ini, aku tak menyangka. Sesosok perempuan yang kutemui saat menjalankan tugas kini aku bisa berbaur dengan baik. Bahkan bersama keluarganya, aku cukup mengenal dengan baik. Ya, sejauh ini.
Aku mengenal Pak Ali karena kita sama-sama dari keluarga kepolisian. Kami juga sama-sama ditugaskan di Polres Semarang. Istrinya yang merupakan seorang dokter di Rumah Sakit Bhayangkari. Lucu memang. Tapi aku juga menginginkan seperti itu.
Kembali ke awal mula. Assya, sosok yang menggemaskan menurutku. Kesan pertamaku saat berinteraksi dengannya, menggemaskan. Bagaimana tidak, ia menyebutkan namanya sendiri. ‘Nama Assya, Assya. Eh—.’
Dari hasil penelitianku, eh pengamatan, ya itu lah intinya. Aku menyukai perempuan berparas elok itu. Bukan Cuma karena panasnya yang cantik, tapi hatinya yang lembut, baik, sopan santunnya terjaga, mungkin karena ia berasal dari keluarga disiplin? Tapi tetap saja, bagiku perempuan yang bisa mengamalkan kedisiplinan dan kemandirian dalam dirinya merupakan seorang idaman.
Entahlah, entah aku yang berlebihan atau bagaimana. Tapi tetap saja. Contohnya seperti ini, kalau dia disiplin, bisa memanfaatkan waktu dengan baik, sederhana, ia pantas dijadikan pasangan. Karena apa? Kalau dia saja bisa untuk memanfaatkan waktu mulai dari bangun tidur, kita juga pasti ikutan juga bukan?
Sejauh ini paham maksudku? Dan ya, perlu kutekankan lagi bahwa ini menurutku.
Assya Priyayi Az-Zahra, nama yang cantik seperti orangnya bukan? Lagi dan lagi, akan kudeskripsikan sebentar mengenai gadis itu. Perempuan yang memiliki mata indah, senyumnya yang manis, kulitnya yang cukup putih bagi perempuan Indonesia. Menggemaskan.
***
Langkah kakiku saling bertubrukan dengan lantai posko, alisku mengernyit saat melihat perempuan yang tengah duduk seorang diri. Kemana teman-temannya yang lain? Kuedarkan pandanganku, dan aku menemukan teman-temannya yang tengah mengobrol di ujung jalan.
Dapat kulihat perempuan di depanku langsung menunduk setelah melihatku. Wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus menandakan ia sedang salah tingkah. Aku tersenyum tipis melihatnya, kembali melanjutkan langkah menuju tempat duduk.
Oh iya, kenapa aku bisa berada di sini karena sudah sedari pagi aku berjaga dan keliling jalanan. Menelusuri jalanan yang mulai munculnya cahaya matahari, menyinari bumi.
Kulihat sekilas perempuan itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Menggemaskan sekali kamu, ucapku dalam hati sembari tersenyum.
“Kamu kenapa?” Oh tidak, bibirku sudah gatal. Tiba-tiba sebuah kalimat terlontar begitu saja. Sembari melepaskan peralatan yang menyesakan badan.
“Eh, astagfirullah.” Hampir saja handphone-nya terjatuh. Saking gugupnya kah perempuan tersebut?
“Teman-teman kamu kemana?” Kalimat yang tidak perlu dijawab pun sebenarnya aku sudah mengetahuinya. Dari pada perempuan itu semakin merasa salah tingkah kan?
“Assya kurang tau, jalan-jalan mungkin?” Dirinya menghembuskan napas kasar seakan tidak terima jika ia ditinggal.
“Jalan-jalan mungkin, sini,” ucapku dengan menepuk tempat duduk pelan. Dengan bujukan akhirnya ia memberanikan diri untuk duduk di sebelahku. Semenyeramkan itu kah aku?
Kuajak dirinya berbincang-bincang ringan. “Saya Adishaka Putra Atmajaya. Panggil Shaka aja. Kamu?” Nah, yang ditunggu-tunggu.
Aku sebenarnya mengenal dirinya. No, sebatas tau nama, tidak lebih. Sosoknya yang seperti tidak asing bagiku. Dan kuberanikan diri untuk bertanya beberapa, mengaitkan satu hal dengan hal lainnya. Jangan lupa, aku mempunyai ingatan yang tajam, cukup lah untuk dimanfaatkan, sangat cukup. Bahkan berkat otakku ini, di usia muda seperti sekarang, aku ditakdirkan menjadi pemimpin di timku.
“Nama Assya, Assya. Lho, eh, astagfirullah.” Dan saat itu lah Shaka tak dapat lagi menahan tawanya. “Assya Priyayi Az-Zahra, panggil Assya.
“Bapak kalo ketawa manis ya, punya gigi taring gitu.” Aku tersadar. Mengapa aku sampai tertawa seperti tadi? Oh god. Seorang Shaka tertawa? Kamu keren Assya, bisa membuat manusia yang dijuluki kulkas berjalan ini tertawa. Aku akui kamu hebat.
***
Pertemuan dan interaksi kedua.
Pagi-pagi sekali aku mulai menelusuri jalanan yang cukup diramaikan oleh para siswa sekolah, orang-orang yang berangkat kerja, pun banyak lainnya. Atensiku tertuju di depan sana, pada sosok perempuan yang sepertinya aku mengenalinya. Sedang apa ia berjongkok di samping motornya? Sepertinya aku paham. Aku pun mendekatinya.
“Motor kamu kenapa?” Bukannya menjawab, gadis itu malah terus memandangiku. Sebegitu tampannya kah aku, sampai-sampai masih menggunakan helm fulface pun ia terpana melihatnya?
“Assya,” kupanggil lagi gadis itu, barulah kesadarannya kembali. Gadis itu mmenceritakan jika ban motornya bocor, ku lihat jam, bagus! Sebentar lagi pasti bel masuk sekolah berbunyi. Tanpa pikir panjang, langsung saja kutitahkan untuk dirinya ikut denganku.
Untuk motornya? Ah, aku ingat, teman-temanku sedang melakukan razia di depan sana, tak jauh dari sini. Kudorong motornya menuju temanku berada, berniat menitipkannya agar ia dapat mengantarkan motor tersebut ke bengkel. Kembali kepada gadis itu dengan berlari. Ia menungguiku seperti anak kecil yang sedang menunggu ibunya. Menggemaskan. Jangan bosan mendengar kata itu dari mulutku, karena memang begitu nyatanya.
Sepanjang perjalanan, tak ayal aku mencuri pandang padanya melalui kaca spion. Meskipun Assya menggunakan masker yang menutupi sebagian wajahnya, tapi aku tau jika ia sedang salah tingkah, lagi. Terbukti dari mukanya yang memerah. Mungkin karena aku tadi menarik tangannya untuk berpegangan pada pinggangku?
“Assya, kamu kelas berapa?” panggilanku di awal tak mendapat respon, hingga akhirnya ia sadar.
“Kelas dua belas, Pak,” jawabnya pelan.
Aku terbelalak, baru menyadari suatu hal. “Saya keliatan tua banget, ya? Sampai kamu panggil ‘Pak-pak' terus,” ujarku, memang benar kan? Kenapa harus dipanggil pak terus, sih?
“Soal Assya yang panggil Bapak dengan sebutan ‘Pak’, ya emang Bapak udah Bapak-bapak, kan? Atau panggil Om aja? Kan abdi negara udah biasa dipanggil Om atau Pak sama masyarakat, bagus juga toh panggilannya. Kalau semisal dipanggil Kak, belum tentu kalian yang lebih tua. Kalau dipanggil Mas, enggak semua orang atau masyarakat bisa terima, misal kaya di mana si ya Assya lupa, panggilan Mas Cuma buat yang udah nikah, masa kita tanya dulu udah nikah belum. Nahh, jadi lebih enak Pak atau Om, toh nantinya bakal jadi bapak-bapak, tau om-om. Hehe.”
Pada benarnya juga. Masuk akal.
“Saya masih terlalu muda buat dipanggil Om. Selisih umur kita juga Cuma tiga atau empat tahunan. Nanti dikira keponakan yang jalan sama Om-nya. Padahal sama pasangannya. Panggil Mas aja.” Bagus. Ia pun menyetujui. Mas Shaka? Lucu banget, Assya denger cetak jantungku enggak ya?
Perjalanan sampai, Assya tampak sedikit membenarkan pakaiannya. “Nanti saja jemput ya?” kutawarkan hal itu padanya, awalnya ia menolak, namun tak urung ia menerima ajakan tersebut. Kubawa helm miliknya sebagai jaminan bahwa nanti aku akan kembali, setelah mengetahui jam kepulangan aku pun menyuruhnya untuk bergegas masuk. Hingga tubuhnya menghilang di balik tembok, aku kembali melajukan motorku, polres, tujuanku saat ini. Di perjalanan pun pikiranku masih tertuju padanya. Sampai di kantor pun, aku masih memikirkannya, hingga tak sadar aku tersenyum. Aku terkejut sendiri saat teman-teman yang lain menyadarkanku. Waw, Shaka tersenyum.
![](https://img.wattpad.com/cover/345332761-288-k937441.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKA
RomanceAssya, seorang anggota pramuka bantara penegak yang melakukan tugasnya demi menjalankan darma yang kedua, kasih sayang sesama manusia. Ia dan beberapa temannya ditugaskan untuk mensosialisasikan terkait pentingnya menaati peraturan lalu lintas saat...