SHAKA • 32

8 0 0
                                    

Tuhan tak pernah salah memberikan cobaan di setiap pundak umatnya. Itu artinya, Tuhan percaya kalau kamu bisa menjalaninya.

***

“Hallo, selamat siang, dengan Mba Assya?” Assya menganggukkan kepalanya.

“Iya betul dengan saya sendiri, gimana ya?”

“Mohon maaf, kami dari pihak kepolisian mau menginformasikan lebih lanjut terkait kasus yang Mba Assya minta kembali angkat. Kasus tersebut sekarang sudah ada perkembangan, Mba. Dan kami sudah menemukan siapa pemilik mobil tersebut, apakah Mba bisa ke kantor sekarang?” ucap seseorang di balik sambungan telepon, membuat Assya memusatkan perhatiannya.

Akhirnya, apa ini jawabannya?

“Baik, Pak. Saya ke sana segera, lima belas menit lagi saya sampai, terima kasih, nggih, Pak.” Sesaat setelah mematikan telepon, Assya yang sedang bersantai di atas kasurnya sembari membaca novel bergegas. Bangkit untuk bersiap-siap.

“Dik, temenin Assya, yuk? Buruan.” Sembari mengenakan sepatunya, ia menginterupsi seseorang yang baru muncul di sebrang.

“Hah? Kemana?”

“Udah, buruan. Assya sampe situ harus udah siap, cepet.” Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Assya bergegas meninggalkan kamarnya.

Rumah tampak sepi, membuat dirinya dengan leluasa melakukan apa saja.

“Emang ada apa, sih?” tanya Dika bingung, mereka dalam perjalanan, yang Dika sendiri tidak tahu mau kemana.

Menggunakan motor sport kebanggaannya, mereka memecah jalanan yang terbilang cukup padat.

“Ke kantor polisi, udah ada perkembangan. Tadi ada yang telepon, katanya udah ditemuin siapa pelakunya. Semoga aja bener.” Dika hanya ber-oh-ria, tak urung ia mempercepat laju kendaraanya.

Sesampainya keduanya di kantor polisi, baik Assya dan Dika terkejut melihat keberadaan Shaka. Yang lebih membuat mereka terkejut, Shaka yang tampak dipegang tangannya kanan dan kiri oleh masing-masing polisi. Sedangkan Shaka yang hanya mengenakan kaos hitam tampak seperti penjahat.

“Lho, Pak? Ini kenapa?” tanya Assya, dirinya buru-buru menghentikan langkah ketiga orang tersebut. Yang sepertinya hendak masuk ke kantor.

Tatapan Shaka dan Assya bertemu untuk beberapa saat. Dika yang hanya menyaksikan, berdiam diri beberapa meter di belakang Assya.

“Jadi begini, Mba. Kami sudah melalukan penyelidikan terkait mobil yang menabrak Nenek, Mba. Dari data-data yang telah kami temukan, semua bukti merujuk pada saudara Shaka. Bahkan saudara Shaka sendiri yang waktu kejadian, mengemudikan mobil tersebut. Lantas langsung meninggalkan tempat, dan menyimpan mobilnya dengan baik di garansi rumahnya. Jadi, dugaan menyebutkan bahwa saudara Shaka-lah yang menjadi penyebab atas kejadian tabrak lari tersebut.”

Assya tampak tak percaya. Napasnya memburu. Dirinya sangat terkejut mengetahui fakta tersebut, sama halnya dengan Dika. Assya tak dapat lagi berkata-kata, tubuhnya seakan lemas, seperti jelly. Kenyataan ini? Mengapa baru ia ketahui sekarang? Setelah dirinya merasa nyaman dengan laki-laki tersebut? Hal yang lucu.

Mengapa Tuhan baru menunjukkannya sekarang, setelah semua perasaannya telah dimiliki sempurna oleh laki-laki di hadapannya? Kenapa? Dirinya terus bertanya-tanya.

“Ayo masuk.”

Assya kembali menghentikan langkah mereka. Air mata membasahi pelupuk matanya, tampak masih tak mempercayai ini semua.

“Mas? Ini enggak bener kan? Bilang ke Assya kalo ini semua boong?” Sayangnya Shaka mengangguk sebagai jawaban.

“Kenapa? Apa yang belum diceritain ke Assya? Ini semua enggak bener kan? Ini pasti prank? Iya kan?” Assya tak dapat menahan air matanya, bulir-bulir air matanya pun turun. Assya menaikan tangannya, menggapai tangan Shaka untuk digenggamnya.

“Jadi bener, Mas yang nabrak Nenek Assya? Kenapa? Apa yang belum diceritain? Kenapa Mas nutup-nutupin?”

“Mas minta maaf, Sya. Bukan maksud Mas buat nutup-nutupin semuanya. Mas ngaku Mas salah, tapi tolong, kamu jangan gini. Ikhlasin Mas, Mas mau tanggungjawab atas semua perbuatan yang udah Mas lakuin.”

“Tapi jujur, Mas enggak inget apa-apa di malem itu, Mas enggak sadar, waktu itu Mas...” Kalimatnya terpotong.

“Mabuk. Iya kan?” Assya semakin menggebu-gebu, benar, kalau Shaka hanya ingat waktu dirinya tidak sadar, berarti benar adanya. Karena mobil tersebut tampak oleng, seperti dikendarai oleh orang mabuk.

Shaka menghembuskan napasnya yang turut tersenggal-senggal. Kenapa dirinya bisa mabuk? Hingga melakukan hal-hal di luar kendalinya.

“Mas waktu itu mabuk kan? Makanya Mas enggak inget apapun. Bahkan Mas enggak inget kalo Mas ngendarain mobil dengan ugal-ugalan. Mas juga enggak inget kalo udah nabrak Nenek Assya yang waktu itu baru selesai dari makam Kakek?” Diamnya Shaka membuat Assya tak mampu lagi menahan, genggamannya pun terlepas. Membuat kedua polisi yang mendampingi samping kanan dan kiri Shaka, langsung menuntun laki-laki tersebut untuk masuk.

“Mas, Mas Shaka kenapa gini?” Setelah kepergian ketiganya, Assya meluruh. Kakinya tak dapat kaki lagi menahan baban tubuhnya. Derai air mata turut membasahi pipinya. Dika mendekat, memeluk Assya dari belakang. Memberikan kata-kata motivasi yang harapannya sedikit melegakan perempuan tersebut.

Shaka menoleh sedikit. Dirinya mendengar kekasihnya memanggil namanya beberapa kali. Ingin rasanya berbalik dan merengkuh tubuh perempuannya yang tampak lemah itu. Namun, itu hanya angannya semata. Dirinya tak bisa melakukan itu. Memasrahkan pada keadaan, entah apa yang akan terjadi untuk selanjutnya.

“Udah yuk? Kita ke warung dekat sini dulu buat nenangin diri kamu, jangan nangis mulu. Enggak baik, nanti air matanya abis. Iya kalo air matanya berubah jadi berlian, lah ini?” gurau Dika, membantu memapah Assya yang masih terlihat lemah.

“Dik? Kenapa kaya gini jalan ceritanya? Bukan ini yang Assya mau. Disaat Assya udah suka sama seseorang, tapi malah kaya gini endingnya? Emang Assya enggak boleh bahagia? Kenapa gini?” Tangis Assya malah makin menjadi setelah keduanya duduk, dengan segera Dika menarik Assya ke dekapannya. Berharap sedikit meredamkan tangisan perempuan berhijilbab maroon di pelukannya.

“Udah, enggak papa. Nangis dulu sepuasnya.”

“Pantesan, kemarin Assya ngerasa aneh. Mas Shaka pake mobil yang disebutkan itu, Assya pikir Cuma kebetulan, ternyata beneran dia pelakunya. Kenapa dari sekian orang yang punya, harus Mas Shaka pelakunya? Hiks,” Assya menjelaskan keluh-kesahnya. Dika hanya mengangguk dan lanjut menepuk pelan pundak Assya. Berharap dapat memberikan ketenangan.

“Enggak papa, berarti Allah lagi negur kamu. Kamu terlalu jauh berharap sama makhluk, makanya Allah tergur, Allah mau kamu kembali fokus ke Sang Pencipta.”

“Tapi kenapa harus Mas Shaka? Assya udah nyaman. Baru kali ini Assya ngerasa nyaman sama lawan jenis setelah Ayah, Rizal, sama Dika. Tapi malah begini akhirnya.”

“Assya masih kurang patuh di mananya? Assya selalu berusaha biar Assya jadi yang lebih baik, ya minimal lebih baik dari Assya yang sebelumnya, Assya selalu jadiin diri Assya yang kemarin itu tolak ukur buat Assya ngejalanin hari kedepannya, tapi kayaknya Assya salah. Harusnya Assya terus ada di jalan Assya sendiri, enggak usah belok-belok, pake acara cinta-cintaan, tau rasa sendiri kan akhirnya.”

“Hust, enggak boleh ngomong gitu, itu tandanya Allah sayang. Gimana kalo Assya tau nya nanti kalo udah nikah? Udah punya anak? Wah, makin sakit hati kan? Jadi, lebih baik tau sekarang dari pada nanti-nanti, sakitnya masih belum seberapa. Inget, harus tetep semangat, pokoknya harus semangat terus! Enggak boleh down Cuma karena masalah kaya gini, paham?”

Assya mengangguk, tangisnya mereda, meskipun masih sesenggukan.

SHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang