Part 7 - Cerita

238 20 9
                                    

Selamat membaca:)

PART 7 - CERITA

Deva terbangun di sela-sela tidurnya. Ia menoleh dan mendapati jam masih menunjukkan pukul dua dini hari. Matanya beralih menatap Rania yang tidur dengan tenang setelah memastikan bahwa dia benar-benar tidak hamil semalam.

Deva kemudian bangkit dan berjalan pelan menuju pintu. Seperti biasa jika terbangun pada dini hari seperti sekarang, Deva akan pergi mengecek anak-anaknya.

Kamar pertama yang dikunjunginya adalah kamar Abi. Temaram lampu langsung menyambutnya begitu ia melangkah memasuki kamar sang anak. Deva mendekat ke arah ranjang dan melihat Abi yang tidur dengan posisi telentang. Diperhatikannya Abi dengan lekat, dilihatnya perut dan dada Abi yang bergerak naik turun. Deva bernapas lega setelah memastikan bahwa Abi masih bernapas.

Ketika akan beranjak keluar, Deva melihat sebuah foto yang dipajang di nakas, tepatnya sebuah foto yang berada tepat di samping lampu tidur. Sehingga ketika lampu utama tidak menyala sekalipun, Deva masih bisa melihat foto tersebut dengan jelas. Foto itu adalah foto keluarga mereka yang diambil dua tahun yang lalu setelah Abi lulus SMA. Deva kemudian tersenyum karena mengingat kembali momen-momen tersebut. Ia lalu beranjak keluar kamar Abi dan beralih ke kamar Angga.

Kamar Angga hampir sama dengan kamar Abi, hanya saja anak tengahnya itu lebih berantakan daripada sang kakak. Beberapa bukunya berserakan di meja belajar dan sekumpulan medali milik Angga tidak dipajang di tembok atau lemari, melainkan ditaruh didalam laci. Saking tidak muatnya laci tersebut sampai tidak bisa ditutup. Rania sudah sering mengomel tapi Angga hanya iya iya saja dan tidak melakukan apa-apa. Yasudah terserah Angga saja.

Angga terbiasa tidur dengan lampu yang mati total. Hanya lampu dari lorong luar kamar yang menyorot melalui ventilasi diatas pintu yang menjadi satu-satunya sumber cahaya dari kamar tersebut. Ketika masuk lebih dalam, Deva terkejut karena kakinya menendang sesuatu. Ia berdecak kala menyadari bahwa itu adalah bola basket.

"Gue kira pala orang anjir." umpatnya dalam hati.

Deva kemudian beralih memperhatikan Angga yang tidur pulas. Dan setelah memastikan selimut Angga berada pada tempat yang tepat, Deva beranjak menuju kamar milik si bungsu.

Begitu masuk ke dalam, lampu temaram kuning yang lebih terang dari kamar Abi seketika menyambut matanya. Kamar Anin seperti kamar perempuan pada umumnya, beberapa barangnya didominasi warna ungu. Ada satu rak khusus berisi novel dan juga album beberapa boygroup Korea yang disukai Anin.

Deva membetulkan selimut Anin yang hampir saja jatuh ke lantai dan membetulkan posisi kaki sang anak agar terlihat lebih sopan meskipun dalam kondisi tertidur. Ia kemudian beranjak keluar kamar menuju ruang musik di rumahnya.

Deva mendudukkan diri di piano bench yang ada disana. Tangannya dengan lihai menekan tuts piano untuk memunculkan melodi indah yang membawa ketenangan baginya. Tanpa sadar matanya terpejam menikmati alunan musik yang ia ciptakan sendiri. Hingga sebuah tangan yang mengusap bahunya membuat Deva tersadar dan menghentikan gerakan tangannya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Rania disana.

"Kakak ngapain?" cicit Rania mendudukkan diri di pangkuan Deva dan mengalungkan tangannya ke leher sang suami. Membuat Deva secara reflek memegangi pinggang sang istri agar tidak jatuh. Tangannya mengelus pelan pinggang Rania.

"Nggak ngapa-ngapain. Kamu kenapa kesini?"

"Kebangun."

"Kok kebangun? Tumben."

"Ya karena nggak ada kakak." cicit Rania pelan.

Kening Deva mengernyit. Tidak biasanya Rania menjadi semanja ini padanya. Ia menatap Rania dengan heran.

"Kamu akhir-akhir ini jadi lebih sensitif, lebih manja juga, kamu yakin nggak lagi hamil kan Ran?"

Rania menegakkan kepalanya. Ia menatap Deva dengan bibir mengerucut.

"Enggak kak, kan semalem udah cek."

"Ya siapa tau tespeck nya salah."

"Jangan lah, kasian anak-anak udah pada gede." Deva kemudian hanya mengangguk dan mencium pipi Rania sekilas.

"Kakak abis dari kamar anak-anak?" ujar Rania.

"Hemmm." gumam Deva.

"Padahal Abi udah dua puluh tahun, tapi kakak masih tetep kebangun kaya gini." ujar Rania khawatir.

Deva hanya menghela napas dan menatap Rania dengan getir.

"Kakak masih takut? Mau cari psikolog aja?" saran Rania.

Deva kemudian memeluk Rania dan menyembunyikan wajah di ceruk leher sang istri. Ia menggeleng dan mengguman lirih.

"Nggak usah, aku nggak perlu."

Rania hanya menghela napas lalu mengangguk. Tangannya terangkat untuk mengelus rambut sang suami. Trauma Deva akan kepergian Dirga dua puluh tahun yang lalu memunculkan banyak ketakutan dalam benak Deva. Hampir setiap malam ia pasti akan terbangun dan mengecek semua anak-anaknya, memastikan mereka semua masih bernapas di sela tidur lelap mereka. Deva tidak ingin lengah lagi.

Melihat Dirga terbujur kaku disampingnya, padahal sebelumnya mereka baik-baik saja dan berbincang seperti biasa membuat Deva selalu merasa was-was. Ia selalu berandai-andai, kalau saja malam itu Deva tidak tidur terlalu nyenyak, kalau saja malam itu Deva terbangun dan melihat kondisi sang kakak meski hanya sebentar, mungkin Dirga masih hidup hingga sekarang, mungkin Dirga masih sempat mendapatkan pertolongan. Namun pikiran itu segera ia tepis, segala takdir Tuhan telah ditetapkan jauh sebelum dari manusia itu lahir. Mau bagaimanapun, maut tidak akan bisa dihindari.

Maka dari itu Deva masih berusaha keras agar bisa mengikhlaskan kepergian sang kakak. Apalagi beberapa bulan setelahnya, Deva harus kehilangan Eisha, kakak iparnya yang meninggal sesaat setelah melahirkan Abi. Hati yang belum sepenuhnya mengikhlaskan Dirga seketika terluka kembali. Namun Deva harus tetap kuat karena masih ada Abi yang menjadi tanggungjawabnya.

Setelah kepergian Eisha, Deva langsung mengambil alih A' Music karena kondisi Tara yang tidak memungkinkan untuk bekerja lagi. Tara masih sering merasa sedih dan obat dari kesedihannya adalah Abi. Mengurus Abi sedikit banyak mengobati kerinduannya akan Dirga. Maka dari itu ia menyerahkan semua urusan pekerjaan kepada Deva dan memilih untuk pensiun.

Hampir dua tahun setelah Tara pensiun, Deva menikah dengan Rania lalu setelahnya disusul Wina dan juga Nata. Dan setelah Bastian pensiun, Bastian dan Tara memilih untuk pindah ke Bandung. Tempat dimana Bastian sudah menyiapkan rumah untuk masa tuanya bersama sang istri. Pada akhirnya, rumah milik keluarga mereka ditempati oleh Deva dan Rania, karena rumah itu juga dekat dengan rumah Jabar dan Sandra, orang tua Rania. Sedangkan Wina menempati rumah milik Nata yang juga lebih dekat dengan keluarga Nata yang lain.

Sedangkan rumah milik Dirga dan Eisha tidak ditempati oleh siapapun, hanya sesekali dibersihkan oleh jasa kebersihan yang disewa oleh Deva. Rumah itu memang sengaja disiapkan untuk Abi nanti. Deva ataupun Wina tidak ada yang berani menempati rumah itu, kenangan tentang Dirga dan Eisha memenuhi seluruh penjuru rumah itu. Deva dan Wina hanya tidak sanggup.

TBC

Hellooowwww🙌🙌

Selamat membaca gess, semoga suka sama part ini dan jangan lupa tinggalin jejak doonngggsss✨🤍

Love,

Esteh
28 Desember 2023

OUR FAMILY!! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang