Part 39 - Orang Tua

133 19 0
                                    

Selamat membaca:)

PART 39 - ORANG TUA

Rania memasukkan potongan baju terakhir ke dalam koper yang memuat barang-barang milik Abi. Ia lalu menutup koper dan membiarkan Abi yang menutup resleting dari koper tersebut. Rania mendongak dan menatap Abi dengan senyum lembut.

"Mas buruan tidur, istirahat."

Abi kemudian mengangguk dan berjalan mendekati Rania lalu memeluk sang ibu dengan erat.

"Makasih ya ma."

"Makasih buat apa toh mas, mama nggak ngapa-ngapain."

"Makasih karena udah ngizinin mas."

"Iya sama-sama. Yang penting mas fokus kuliah, jaga kesehatan, dan jangan lupa buat berkabar terus sama mama. Udah yang mama mau itu aja. Yang penting mas seneng."

Abi kemudian mengucap terimakasih dan mengecup pipi Rania. Keduanya melepaskan pelukan dan Rania beranjak menuju kamarnya sendiri.

Begitu masuk ke dalam kamarnya, Rania mendapati Deva yang sedang membuka iPad sambil menyenderkan punggungnya di kepala ranjang. Deva tersenyum ketika Rania berjalan mendekat ke arahnya sambil melepas outer dan menyisakan gaun tidur hitam tanpa lengan berbahan satin. Tangan Deva otomatis terbuka lebar dan menyambut Rania masuk ke dalam pelukan.

"Udah packingnya?"

Rania hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Ia merapatkan tubuhnya dan memeluk Deva dengan erat. Kepalanya mulai mengendus leher sang suami hingga membuat Deva menghentikan kegiatannya. Laki-laki itu menaruh iPadnya ke nakas dan memilih untuk fokus kepada Rania. Deva paham, Rania jika sedang mode manja seperti ini sebenarnya hanya ingin atensi penuh darinya, dan tentu saja Deva bisa memberikan hal tersebut.

"Kenapa sayang?" tanya laki-laki itu lembut.

"Gapapa, kangen kakak aja. Akhir-akhir ini kita sibuk nyiapin keperluan Abi buat ke Aussie."

"Mau pacaran besok abis nganter Abi? Biar abang sama adek ke rumah Wina dulu."

Rania menggeleng pelan. Ia menggeser posisi duduknya menjadi ke pangkuan Deva dengan posisi keduanya saling berhadapan. Rania memeluk Deva dengan erat dan membiarkan Deva mengelus punggungnya dengan lembut.

"Nanti makin sepi kalo adek sama abang nginep di Wina." cicit Rania.

Deva kemudian mengangguk paham dan membiarkan Rania merebahkan tubuh di atasnya.

"Nggak berasa ya anak-anak udah gede." cicit Rania.

"Abi bentar lagi lulus kuliah, tahun depan Angga kuliah, Anin juga nanti pasti bakal merantau. Rumah kita makin sepi." lanjut Rania lirih. Ucapan Rania membuat Deva mengeratkan pelukan keduanya.

"Kan masih ada aku." sahut Deva pelan.

"Aku bakal nemenin kamu terus, aku nggak akan biarin kamu sendirian atau ngerasa kesepian." lanjut laki-laki itu.

Rania yang mendengar ucapan sang suami langsung memberikan jarak antara keduanya. Ia mengalungkan tangannya di leher sang suami. Matanya menatap Deva yang lebih rendah darinya karena ia yang duduk di pangkuan laki-laki itu.

Memori Rania kembali ke masa di mana ia baru saja menikah dengan Deva. Tepatnya setelah akad nikah, pada waktu malam pertama pernikahan keduanya, Deva pernah menjanjikan hal yang sama padanya.

"Rania, gue nggak bisa janji bisa ngasih segalanya buat lo. Tapi satu hal yang pasti, selama gue masih hidup, gue bakal sama lo terus. Gue nggak akan biarin lo sendirian. Jadi, lo siap kan seumur hidup bareng gue?"

Dan bahkan selama masa pernikahan mereka, Deva benar-benar membuktikan ucapannya dan terus bersama Rania dalam keadaan apapun. Deva tidak pernah membiarkan Rania sendirian.

"Makasih ya kak." ucap Rania tulus.

"Hmm?"

"Kamu selalu nepatin janji kamu. Bahkan setelah kita nikah hampir dua puluh tahun, janji kamu tetep sama. Dan kamu nggak pernah ngelanggar janji kamu ke aku."

Deva hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Ia mengelus pinggang Rania dan menatap wajah Rania yang tetap cantik meskipun umur istrinya sudah memasuki kepala empat. Deva tidak akan pernah bosan memandang wajah cantik yang selalu menemaninya setiap hari.

"Cantiknyaaaa." puji Deva sambil mengelus pipi sang istri.

Rania seketika tergelak karena mendengar pujian dari Deva. Wanita itu menepuk pelan pundak Deva dan matanya menatap sang suami dengan kerlingan.

"Dulu Abi jadi sering ngomong gitu juga ke aku gara-gara niruin kamu."

Deva seketika tertawa kala ia teringat bahwa dulu saat awal menikah dan sebelum adanya Angga di antara mereka, Deva memang seringkali memuji Rania cantik dengan nada mendayu yang khas. Abi yang memang pada waktu itu berumur dua menuju tiga tahun seringkali meniru perkataan Deva. Setiap malam sebelum tidur Abi selalu datang ke kamar Deva dan Rania untuk sekedar memuji Rania, mengatakan bahwa wanita itu sangat cantik. Pujian ini selalu dilayangkan Abi untuk Rania bahkan hingga hadirnya Anin di tengah keluarga mereka.

"Abi tuh emang dari kecil kayaknya words of affirmation banget ya kak."

"Hemm, dulu kan mas Dirga kalo sama mbak Eisha juga gitu. Mulutnya manis banget, kalo sama aku sama Wina beda lagi." jawab Deva setengah mengeluh. Rania tertawa kecil mendengar gerutuan laki-laki itu.

"Kalau Angga tuh anaknya peka tapi gengsinyaaa setinggi Burj Khalifa itu." lanjut Deva.

"Ya itu kan kayak kamu kak."

"Mana ada, Angga tuh kamu banget Ran. Dia mirip aku cuma di bagian sama-sama posesif aja kalo sama adek. Selebihnya plek kayak kamu."

Rania hanya meringis dan tersenyum kecil. Deva memang benar, Angga memang mirip dengan Rania ketika wanita itu masih muda dulu. Dengan gengsi setinggi langit beserta mulut pedas ceplas ceplos dan emosi yang mudah disulut dalam waktu beberapa detik, keberadaan Angga sudah membuktikan bahwa pepatah 'buah jatuh tidak jauh dari pohonnya' memang benar adanya.

"Ngomongin soal abang, kamu kasih tau lah si abang jangan galak-galak sama Anin. Jangan terlalu dikekang juga, kasian itu adeknya."

"Enggak dikekang ah, emang gitu perasaan kakak ke adeknya. Selalu khawatir takut kenapa-napa." ujar Deva santai.

"Tapi kadang aku kasian tau kak sama Anin, punya kakak cowok tiga semuanya suka ngelarang ini itu. Aku takutnya dia bohong lagi kaya kemarin." ujar Rania khawatir.

"Enggak akan keulang lagi, adek udah kapok itu. Kamu liat sendiri kan matanya sebengep apa abis ngobrol sama abang?"

"Kamu nggak perlu khawatir, Anin nggak akan kenapa-napa. Aku tau Anin nggak akan ngulang kesalahan yang sama, dia pasti belajar dari kejadian kemarin." lanjut Deva menenangkan Rania.

Rania kemudian mengangguk dan kembali memeluk Deva. Keduanya mengeratkan pelukan dengan Deva sesekali mencium pelipis Rania.

"Temenin aku terus ya kak." cicit Rania pelan.

"Jangan pernah tinggalin aku. Aku mau ditemenin kamu terus, aku butuh kamu buat nemenin aku jagain anak-anak, ngeliat anak-anak gede sampe mereka nemu kehidupan mereka masing-masing. Sama aku terus ya kak." lanjut Rania pelan.

"Aku selalu minta sama Allah biar aku dikasih kekuatan dan kesehatan karena aku nggak mau ninggalin kamu sendirian Ran. Aku mau hidup lebih lama sama kamu. Aku mau sama kamu terus buat liat masa depan anak-anak kita, aku mau sama kamu terus sampe maut nanti yang misahin kita."

Rania mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya. Semoga semesta mengizinkan harapan dan doa mereka menjadi kenyataan. Semoga.

TBC



Haihaihaiiii🤍✨

Part ini khusus pasutri wkwkwkwk. Semoga suka ya, jangan lupa tinggalin jejaaakkk✨🤍


Love,

Esteh
12 Agustus 2024

OUR FAMILY!! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang